Pertengkaran

1621 Words
Hujan turun sangat deras, Hardy mendengus. Jika hujan tidak segera berhenti, ia takut jualannya kali ini hanya laku sepuluh buah. Uang sebesar itu takkan bisa menutup hutang di Mbok Pah. Berdiri bersandar di dinding, Hardy menggendong kotak dan memeluknya erat. Berteriak dalam hati agar hujan segera berhenti. Bening tertawa riang, andai jualannya sudah habis. Pasti dia bisa main hujan-hujanan. Tetapi apa boleh buat, jajanan itu masih terlalu banyak jadi keinginannya harus ditunda. Bening mengulurkan tangan, menangkap tetesan hujan ke genggaman tangannya. Merasakan dinginnya air menyentuh telapak tangan mungilnya. “Hentikan, Bening! Nanti bajumu basah.” Hardy melirik adiknya, gadis itu seperti tidak punya beban saja. Kehidupan sulit tapi Bening masih saja terlihat ceria. Anak aneh. “Kakak, nanti kalau jualan kita habis. Terus hujan lagi, kita main hujan yuk!” ajak Bening dengan penuh harap. “Aku tidak mau hujan-hujanan.” Hardy kembali melirik sang adik. “Ya ... padahal seru banget loh.” Bening mencebik, ia mendongak, memandang awan gelap sudah mulai memudar. Hujan yang tadinya cukup lebat telah berubah menjadi gerimis. Hardy merebut kantong keresek yang digenggam Bening. Mengambil satu payung dan membukanya. “Ayo kita pergi!” Bening mengambil payung dari dalam kresek lalu membukanya. Setengah berlari ia mengikuti langkah kaki sang kakak. Hujan lebat boleh sebentar, tapi gerimis terus menemani Hardy dan Bening. Membuat mereka berdua mengurungkan niat ke jalan raya. Mengelilingi kampung sepi, rumah-rumah tertutup rapat. Hujan membuat orang-orang enggan keluar rumah. “KUE-KUE.” Hardy berteriak, berharap ada yang menyahut suaranya. “KUE ENAK. MARI BELI.” Bening pun berteriak, harapannya sama. Ingin seseorang memanggil mereka dan memborong kue mereka. Keduanya terus melangkah sembari sesekali berteriak, menjajakan kue dagangan mereka. Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya mereka kembali mendapat pembeli. Meski hanya terjual dua kue lagi. Hardy sangat bersyukur sekali. Hardy dan Bening terus menyusuri jalanan yang sepi. Berteriak menjajakan kue mereka. Membuat tenggorokan Bening terasa kering, ia menghentikan langkah, memandang Hardy penuh harap. “Kakak, haus....” Bening menarik kaos Hardy, meminta perhatiannya. “Bening minum air putih saja ya?” Tidak mengapa jika hanya membeli segelas air mineral seharga lima ratus rupiah. Bening mengangguk, ia hanya ingin melepas dahaga. Tidak masalah jika memang hanya bisa minum air putih. Bening sadar, uang yang dihasilkan hari ini hanya sedikit. “Kita jalan dulu sambil nyari warung! Nanti aku belikan.” Bening tersenyum, tidak apa-apa menahan haus sebentar lagi. Ia tahu tidak jauh dari tempatnya terdapat sebuah warung. Nanti ia bisa beli sambil melepas lelah. Kedua kakak beradik ini kembali melangkah, kembali berteriak menjajakan kue mereka. Tetapi saat mendekati warung, Bening tidak kuasa menahan tangis. Harapannya untuk membeli segelas air telah sirna. Warung ternyata sedang tutup. “Kakak, aku haus....” Hardy menahan napas mendengar rengekan Bening. “Kita cari warung lain,” “Aku sudah tidak tahan, Kak. Aku mau minum sekarang.” Bening berbicara sambil berderai air mata. “Aku tadi kan sudah bilang. Kamu jangan ikut! Sekarang kamu jangan merengek! Salahmu sendiri kan, ikut aku.” Ini yang paling tidak disukainya. Ia juga menyesal, kenapa tadi tidak membawa sebotol air. “Aku haus, Kak. Pokoknya belikan minum!” Bening tidak mau tahu. Ia hanya ingin minum. Ia sudah berbesar hati mau minum air putih bukan es jeruk kesukaannya. Hardy menghela napas, ia mengacak-acak rambutnya karena gemas. Ia memandang jalanan kampung yang sepi. Warung lain jaraknya cukup jauh, ia yakin Bening tidak akan mau pergi dari tempat ini sampai apa yang diinginkannya didapat. Beberapa saat Hardy berpikir, hingga akhirnya sebuah ide tercetus. “Kamu tunggu sini, ya! Aku belikan minum sebentar.” Tanpa menunggu jawaban Bening. Hardy melangkah ke belakang warung. Ia meninggalkan Bening menuju ke sebuah mushola yang berada tidak jauh dari tempat mereka. Hardy telah sampai di sebuah mushola sederhana. Ia segera masuk ke dalam, meletakkan kotak kuenya dan mengambil kantong kresek. Hardy melangkah menuju tempat wudhu. Ia membuka kran, membasuh muka untuk menyegarkan badan letihnya sebelum kemudian ia memasukkan air kran ke dalam tas kresek. Semoga perut Bening baik-baik saja, kata Hardy dalam hati. Setelah memasukkan air kran setengah kantong. Hardy mengikat kresek tersebut, ia memandang kresek bening, memerhatikan isinya. Air itu jernih, tidak ada kotoran yang terlihat, bening seperti adiknya. Hardy tersenyum, ia segera mengambil kotak dan segera keluar dari mushola. Bening memandang kresek berisi air lalu memandang Hardy. Mengernyitkan dahi, heran kenapa air itu disimpan di dalam kresek. Bukan kantong plastik yang biasa dijadikan wadah es atau gelas plastik air kemasan. “Kakak beli dimana sih? Sudah lama dan idih kok tempatnya begitu?” gerutu Bening. “Banyak warung tutup, Bening. Ini aku beli di satu-satunya warung yang buka, tapi plastik mereka habis. Jadi ... sudah minum saja!” Hardy mendorong kresek berisi air ke d**a Bening. Sontak dua tangan Bening menerimanya. Bening cemberut, tapi pada akhirnya ia menggigit ujung kresek tersebut, meneguk air yang terasa menyegarkan. Hardy merebut kresek dan segera membuangnya. Beberapa teguk sudah cukup untuk meredakan dahaga sang adik. Ia tidak ingin Bening terlalu banyak meminum air mentah. Nanti jika ada warung buka, ia janji akan membelikan Bening segelas air. “Ya, Kak. Aku kan masih haus.” Bening mencebik, memandang Hardy dengan dua alis bertaut. “Nanti kita beli lagi. Sudah mau sore ini. Ayo jalan lagi!” Hujan telah berhenti, Hardy menutup payung dan memasukkannya ke dalam tas kresek. Begitu juga dengan Bening, ia menyimpan payungnya ke dalam kresek. Kembali menentengnya sambil berharap hujan lebat kembali turun. Udara masih cukup sejuk namun gerah mulai melanda dua anak yang masih sabar menjajakan kue mereka. Peluh mulai bercucuran kala melangkah namun akan sirna saat mereka berhenti. “KUE-KUE.” Dengan tenggorokan yang mulai kering. Hardy terus berteriak menjajakan kuenya. “KUE ENAK. AYO BELI.” Sesekali Bening ikut berteriak. Tetapi haus kembali datang, ia ingin meminta air tapi ia takut Hardy jadi marah. Kaki Bening mulai lelah, ia mulai merengek minta istirahat. Bening menarik tangan Hardy, mengajaknya duduk di sebuah pos kamling. Ia sudah menahan haus, tapi lapar dan lelah membuatnya ingin duduk dan makan satu atau dua kue dagangannya. Hardy mendecak, ia meremas pegangan kotak kuenya. Membuang rasa sebal dengan sikap Bening. Ia berhenti, memandang Bening yang sedang memohon untuk istirahat. Merasa kasihan dengan Bening, Hardy menuruti keinginan Bening. Keduanya masuk ke pos kamling bercat biru. Tempat itu sangat kotor dan basah, air dan tanah bercampur mengotori lantainya. Tetapi ada sebuah bangku di dalamnya, tidak mengapa jika mereka beristirahat sejenak di dalamnya. Toh Bening tidak mempersoalkan masalah ini. Bening segera melemaskan kedua kaki yang telah menjerit kelelahan. Ia memijat betisnya yang mengeras, berusaha menghilangkan rasa lelahnya. Bunyi perut keroncongan datang bersamaan. Keluar dari perut-perut anak yang lapar. Hardy menyentuh perutnya, ia hanya perlu bertahan sebentar lagi sampai ia pulang ke rumah dan makan apapun yang dimasak ibunya. Namun tidak demikian dengan Bening, bocah tersebut masih belum mampu mengendalikan dirinya lebih lama dari Hardy. Jika haus, ia harus segera minum. Jika lapar, ia harus segera makan. “Kakak. Lapar...” Bening mengusap perutnya, pandangannya tertuju pada kotak yang ada di sebelah Hardy. “Tahan ya, Bening! Kita harus jual kue-kue ini. Paling tidak sepuluh. Nanti kita pulang dan makan enak di rumah.” Perutnya mulai melilit, membayangkan sepiring nasi panas dengan sambal tomat buatan ibu, perut Hardy kembali berbunyi. “Kak. Aku mau kue pastel. Satu ... saja.” Bening menunjuk angka satu dengan telunjuknya. Hardy menarik napas dalam lalu mengembuskannya. Tanpa bicara, ia membuka kotak dan mengambil satu untuk Bening. Rona ceria terpancar dari sorot mata Bening, gadis itu segera merebut kue yang baru saja dikeluarkan. Menggigit kue tersebut, mengunyahnya cepat dan menelannya. Bening tidak terlalu merasakan rasa kue tersebut, ia hanya ingin cepat-cepat menghilangkan laparnya. Kue pastel telah habis dalam lima gigitan tapi perutnya masih butuh sekitar satu kue lagi. “Kakak. Satu lagi ya....” Bening kembali menunjuk angka satu dengan telunjuknya. “Bening. Ini kue dagangan. Kalau kamu makan lagi. Kita rugi.” Hardy mulai sebal, adiknya yang cantik jadi terlihat jelek dari biasanya. “Ya, Kakak. Satu aja mana cukup. Satu lagi ya....” Bening mengedip genit, memamerkan senyum dengan deretan gigi-giginya. Hardy geram, ia merenggut kotak dan memeluknya erat. “Sekali tidak tetap tidak, Bening.” Mata Bening melotot, ia merebut kotak dengan sekuat tenaga. Hardy berusaha mempertahankan kotak itu, jika sampai di tangan Bening maka kue itu bisa habis dimakannya. “Aku cuma minta satu, Kak. Ibu tidak akan marah. Aku yakin.” Bening masih bersikeras, masih berusaha merebut kotak dari tangan Hardy. “Kue kita masih belum banyak yang laku, Bening.” Hardy berhasil merebut kotak dari tangan Bening namun Hardy kembali memeluk keranjang dan merebutnya. “Cuma satu apa susahnya si Kak.” Hardy tetap pada pendiriannya, ia tidak ingin Bening mengambil kue itu walau hanya satu. Keduanya berdiri dengan tangan memeluk keranjang, saling tarik menarik tidak mampu dielakkan hingga akhirnya Bening jatuh telentang sementara itu kotak juga jatuh, kuenya berhamburan keluar, jatuh di atas lantai yang kotor. Kali ini Hardy tidak mampu menahan amarahnya, ia menatap nanar kue-kue yang berceceran di sekitarnya. kotak jatuh dalam kondisi terbalik, ia yakin isi di dalamnya juga ikut kotor. Hardy memandang Bening, gadis itu terkejut, ia belum bangkit dari posisinya. Memandang kue itu dengan mata yang mulai digenangi air mata. Perlahan ia bangkit, membalik kotak dan memunguti kuenya. Memasukkannya kembali ke dalam kotak. “APA YANG KAMU LAKUKAN BENING? DASAR ANAK NAKAL!” Hardy meledak, ia menjewer telinga Bening sampai gadis itu berdiri sambil menjerit kesakitan. “AMPUN KAK. AMPUN!!!” Bening menangis, meski Hardy sudah menarik tangan dari telinganya namun telinganya masih terasa panas. “Aku membencimu, Bening. Jangan ikut aku lagi!” Hardy mengambil kotak, berjalan keluar meninggalkan Bening sendirian. Gadis kecil itu memandang punggung kakaknya menjauh, ia menangis keras, berharap sang kakak datang menjemputnya tapi sampai sekarang pun Hardy tidak datang. Bening menyesal, ia takut menghadapi kemarahan kakaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD