Menyembunyikan Dari Keluarga

1620 Words
Jika di lihat dosen killer ini sangat ganteng. Tinggi putih, hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh dan badannya yang pastinya kotak-kotak enam susun. Apa dia sudah menikah? Kalau dia benar-benar sudah menikah, bisa dimaki aku sama istrinya. Bukannya melabrak, tapi aku yang dilabrak. Tragis banget hidup ku kalau sampai begitu. Tidak terasa luka di kaki ku sudah di obati dan di perbannya. Sangat rapi sekali perbannya di lilitkan di kaki ku. "Apa kamu sudah puas memandang wajah saya! Dan lagi perlu kamu tau, Saya belum menikah! Jadi saya belum mempunyai istri!" "Ishh siapa yang bilang bapak sudah menikah. Bertanya saja saya tidak ada kan. Bapak nih main tuduh saja." "Isi otak kamu tuh mudah di tebak Ayudisha. Nih di jidat kamu!! Sudah ada tulisannya kamu berkata dan bertanya apa saya sudah menikah apa belum. Dan saya belum menikah!" Duh main menunjuk-nunjuk jidat lagi. Tiba-tiba hp berbunyi. Dan yang menelfon adalah Mas Radit. Aku langsung menoleh melihat Dosen killer itu. Dia cuma diam melihat ku mengangkat telfon yang berbunyi. Tapi sebelum mengangkat telfon dari Mas Radit, aku menarik nafas panjang dan perlahan-lahan membuangnya. Ada rasa sesak dan perlahan rasa mual kembali lagi. Dengan sekuat tenaga aku menahan rasa mual. "Halo, assalamualaikum Mas Radit. Apa kabar?" "Waalaikumsalam. Kamu lagi di mana sayang. Kok telfon Mas tidak kamu angkat dari tadi siang? Apa kamu tau betapa susahnya Mas mencari jaringan sinyal?" Mendengar dia memanggilku dengan sebutan sayang membuatku sangat-sangat jijik. "Ohh. Disha lagi ngumpul bersama teman tadi. Maaf Mas Radit. Disha tidak mendengar suara hp tadi. Ada apa Mas menelfon Disha berkali-kali?" "Ohh. Cuma mau tanya itu, sayang hari nih ada ke rumah impian kita ga?" Ingin ku mengatakan padanya, iya! aku ada ke sana dan melihat perbuatan laknat kalian. Tapi tenang Mas Radit. Aku sudah menyiapkan sebuah permainan untuk kalian. Ketawa dan berbahagialah kalian selagi masih bisa. "Tidak ada! Kan Mas sendiri melarang Disha ke sana. Katanya tunggu Mas Radit pulang dan kita sama-sama pergi ke rumah itu. Jadi sepulang dari ngajar di sekolah, Disha langsung ikut ngumpul-ngumpul sama teman kuliah Disha." "Oh, teman kuliah kamu siapa namanya sayang? ingat jangan pulang malam-malam yah. Tapi kamu yakin kan tidak ada ke rumah itu?" "Yakinlah.. Sangat yakin malah! Teman kuliahku banyak Mas. Mana mungkin harus aku sebut satu-satu. Yah sudah Mas Radit istirahatlah, Assalamualaikum." Setelah menutup telfonnya, aku langsung berdiri dan secepatnya mencari tempat di pinggir kursi taman. Lalu perlahan duduk menunduk dan mengeluarkan rasa mual yang dari tadi ditahan. Aku benar-benar mual, sangat membencinya mendengar dia berkata-kata manis, menunjukkan rasa pedulinya dan memanggil dengan sebutan sayang. Semua itu bohong. Aku menangis. Satu hari ini, tidak tau sudah berapa kali aku menangisi nya. Dasar pembohong!! pengkhianat!. Aku melihat ke depan, ada yang memberikan tisu. Diri ini mengambilnya lalu mengelap wajah dan hidung. Masih sambil terisak-isak. Perlahan duduk kembali di kursi taman. Setelah melihat aku menangis dan muntah. Aku mengira dosen killer ini akan bertanya kepadaku. Ternyata tidak! dia hanya diam dan duduk di samping. Benar-benar seperti robot. Memberikan air minum juga, wajahnya tanpa ada ekspresi apa pun. Hanya diam dan menatap wajahku. Tidak ada senyuman, atau ekspresi apapun di wajah itu... benar-benar datar dan kaku. Setelah sedikit tenang. Aku menghapus semua foto Mas Radit. "DASAR PEMBOHONG! DASAR SETAN! DASAR PENGKHIANAT! PERILAKU MELEBIHI BINATANG! AKU AKAN BALAS PERLAKUAN KALIAN KEPADAKU NANTI! LIHAT SAJA NANTI!" Setelah mengatakan begitu sambil menghapus semua foto Mas Radit aku sedikit tenang. Dan lagi-lagi aku di buat heran sama dosen killer ini. Dia hanya diam dan menatapku dengan tatapan matanya yang tajam itu. "Maaf pak.. Kalau bapak ingin pulang silakan saja. Sebentar lagi saya bisa pulang sendiri kok. Terimakasih banyak yah pak, sudah menolong mengobati luka di kaki saya." "Saya tidak akan pulang sebelum memastikan kamu pulang dengan selamat. Jika sampai kamu kenapa-kenapa, saya pasti akan di tuduh sebagai pembunuh. Karena pasti ada orang di taman ini yang melihat kita duduk berdua." Akhirnya dia bersuara!! Kirain dia nih robot! Lihat tuh, sesudah mengatakan begitu. Dia menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. "Kita pulang sekarang saja pak. Saya sudah agak baik kan kok." "Jangan menangisi pria b******k seperti itu. Atau kamu ingin saya membantumu melenyapkan dia?" Wuihh.. melenyapkan!! Aku saja mau balas dendam tapi tidak sampai pakai kekerasan begitu. ngeri juga dosen killer ini. "Tidak usah pak. Saya sudah punya rencana sendiri kok. Saya akan pastikan mereka memohon ampun kepada saya. Terimakasih sekali lagi pak. Maaf, bapak harus melihat tangisan dan mual saya tadi. Saya pulang duluan yah pak. Soalnya orang rumah saya sudah mencari saya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku berjalan pelan ke tempat motorku di parkir, aku mengeluarkan kunci motor. Dan pelan-pelan membawa motorku meninggalkan taman. Aku melihat dosen killer itu belum juga beranjak dari kursi taman itu. Sepanjang jalan pulang aku sudah menyusun rencana balas dendam ku buat mereka. Tunggu saja Mas Radit. Nikmatilah waktu indah kalian berdua. Aku pulang ke rumah tepat jam enam sore. Ku parkir motorku dan perlahan membuka pintu dan masuk ke rumah. Ku melihat kedua orang tua dan abang Devan lagi ada di ruang tamu. "Assalamualaikum.. Disha pulang." Baru aku mau naik ke kamar. Tapi suara abang Devan memanggilku membuatku berjalan pelan ke ruang tamu. Ibu langsung berdiri, kaget melihat kakiku yang di bungkus perban. "Astagfirullah, Disha. Kamu kenapa? apa yang sudah terjadi? kamu jatuh dari motor? Nanti bagaimana lah jika ada keluarga Radit datang dan melihat kondisi kamu begini? Ibu tuh punya anak gadis satu saja, tapi susah banget di kasih tau.. Seharian jalan, pulang-pulang kaki kamu luka sampai di perban lagi." "Ishh, Ibu nih. Disha itu tidak apa-apa. Cuma kecelakaan kecil saja. Disha naik ke kamar dulu yah. Disha capek mau istirahat." Aku pelan-pelan naik ke kamarku. Setelah membersihkan badan. Lalu duduk berkaca sambil bersisir. Terus berpikir. Bagaimana caranya untuk memberitahu kedua orang tuaku kalau pertunangan ini harus di batalkan. Mengingat pertunangan akan di batalkan, rasa sesak muncul lagi di dadaku.. Rasa sakit di khianati itu benar-benar sakit. Sangat sakit!. Pintu kamar ada yang membukanya. Aku cepat-cepat mengelap wajah yang basah agar tidak ada yang melihatnya. Ternyata abang Devan yang masuk ke dalam kamarku. "Kamu dari mana dek? Tadi katanya ngumpul sama teman. Tapi kok kaki kamu bisa terluka begitu? Kamu tidak lagi berbohong kan dek?" "Disha benaran tadi ngumpul sama teman-teman bang. Tapi pas mau pulang Disha tidak sengaja terinjak kaca gelas yang jatuh gara-gara teman Disha tidak sengaja menjatuhkannya. Lukanya kecil saja kok bang." Abang Devan memicingkan matanya melihatku. Dahinya berkerut, itu tandanya dia pasti lagi berpikir, sebelum dia berpikir kemana-mana. Bagus aku mengusirnya keluar kamar dengan segera. Jangan sampai dia tau tentang apa yang aku alami seharian ini. Aku menarik tangannya abang Devan dan mendorong, menyuruhnya keluar dari kamarku. Bisa bahaya kalau sampai dia curiga dan bertanya macam-macam. Saat ini cukup aku yang tau pengkhianatan Mas Radit. Setelah membalas dendam baru memberitahu keluargaku. "Disha tidak bohong bang. Sudah-sudah abang keluar deh. Disha mau tidur dulu. oke bang." "Tapi Disha." Ku tutup pintu kamar dan tidak lupa menguncinya. Lalu duduk di ranjang sambil berpikir dan terus berpikir. Keinginan hanya ingin punya pasangan yang setia sampai tua bersama. Ingin menikah dengan orang yang ku cintai bukan dengan di jodohkan. Sudah berharap, dan bermimpi. Sudah ku susun semua rencana bersamanya jika kami menikah nanti. Siang malam, berharap dia kembali pulang secepatnya dari dinas luar kotanya. Agar kami bisa langsung mengadakan pernikahan. Tapi yang terjadi malah dia dengan tega berkhianat dengan berbuat maksiat lagi di rumah impian kami bersama. Kenapa juga air mata ini mengalir terus. Coba berhenti kek. Aku menangisi pria b******k, pengkhianat !! Mengingat kelakuan bejatnya seketika membuat ku mual lagi. Dasar kelakuan setan j*****m. Awas kalian berdua!Akan ku buat kau menyesalinya mas Radit!. Sudah cukup air mata mengalir.. Seharian aku seperti orang gila bawa motor dengan kaki terluka. Ada untungnya juga ketemu dosen killer itu..Dia yang telah mengobati dan mengikatkan perban di luka kaki ku Membayangkan wajahnya terus ingat tatapan matanya yang dingin. Ih.. Aku langsung merasa kedinginan sendiri jika mengingatnya. Tapi di balik kejadian ini aku sangat-sangat bersyukur juga. Apalagi kami belum menikah, baru tunangan. Kalau sampai sudah menikah lalu dia berkhianat begitu. Tidak tau apa aku kuat untuk bertahan. Bisa saja mungkin bunuh diri. Nggak terima pengkhianatan yang di berikan kepadaku. Ku hapus air mata. Dan menyusun rencana satu persatu. Besok aku akan membalaskan sakit hati ini pada, Mas Radit. Nikmatilah perbuatan laknat kalian berdua di rumah itu. Malam ini harus istirahat dan tidur. Karena besok aku akan membuat kalian benar-benar malu dan menyesalinya. Oleh karena pintu kamar semalam dikunci. Pagi ini abang Devan membangunkan dengan cara gedor-gedor pintu kamarku. "Disha, Bangun dek. Kamu tidak pergi kerja k? Dis.. Kenapa juga pintu kamar harus di kunci!" Abang Devan itu benar-benar sangat sayang padaku. Takut betul adiknya kenapa-kenapa di dalam kamar. Aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah lengkap. "Disha sudah bangun bang. Nggak perlu teriak nyuruh ibu datang bawakan kunci serep lagi." Abang Devan melongo melihatku. "Adek kebo Abang nih tidak apa-apa kan? Apa karena sakit di kaki, membuat kamu langsung bisa berubah menjadi orang yang tepat waktu dek? Dek, biar abang saja yang hantar ke tempat kerja hari ini. Kasihan, Kaki kamu pasti masih sakit kan?" "Iya Dis, biarkan abang kamu saja yang mengantar kamu ke tempat kerja." Duh, Kalau abang Devan yang mengantarku bisa rusak semua rencana yang sudah ku susun .. nanti belum apa-apa dia sudah ngamuk-ngamuk. "Tidak usah bu, abang juga! Disha tuh cuma luka kecil saja. Bukannya besar. Masih bisa bawa motor. Kalau tadi kaki Disha nih lukanya besar ga mungkinlah Disha tidak minta libur. Sudah-sudah..Disha turun kerja dulu. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku perhatikan kaca spion motor. Mobil abang Devan berbelok ke arah jalan menuju kantornya..Merasa sudah aman. Perlahan aku memutar motor dan berbelok arah menuju rumah tempat Mas Radit dan wanitanya berada. Tidak sabar rasanya ingin memberi pelajaran pada dua orang pengkhianat itu..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD