Aku Hancur Kakiku Terluka

1637 Words
Sepatu high heels hitam, ukuran 38.. itu jelas bukan sepatuku. Aku tidak pernah memakai sepatu seperti itu. Dan ukuran sepatuku juga 36 bukan 38.. Rasanya aku ingin masuk dan langsung melihat apa yang Mas Radit lakukan bersama gadis itu. Iya gadis itu. Gadis yang mengangkat panggilan telfon. Perempuan yang membuat Mas Radit berbohong kepada ku tadi. Tangan ini yang gemetaran memutar gagang pintu dan perlahan melangkah masuk ke rumah. Di ruang tamu aku melihat ada dua buah koper. Satu koper kecil yang sangat aku hafal. Itu koper kepunyaan Mas Radit. Dan satu koper lagi bewarna biru. Dia mana punya koper bewarna biru. Berulang kali ia berangkat. Tidak pernah dia memakai koper berwarna biru. Aku memperhatikan sekeliling ruangan ini. Ruang tamu yang tampak sangat berantakan. Sekuat tenaga menahan rasa sakit di hati. Apalagi sewaktu aku berjalan ke arah sofa ruang tamu. Aku melihat pakaian dalam wanita dan baju pria yang asal di buang saja sama pemiliknya. Itu sangat berantakan. Dan di saat aku memungut baju yang jelas sekali itu baju kepunyaan mas Radit, secara tidak sengaja mata ini melihat plastik pembungkus pengaman di bawah lantai. Perut langsung terasa mual yang sangat kuat. Aku tidak bisa menahannya lagi. Seketika aku keluarkan rasa mual di baju mas Radit yang dipegang. Ya allah. Apa yang telah kau lakukan mas di ruangan ini Mas? Tidak ingatkah kau kalau itu perbuatan Dosa? Sungguh tega kau mas!. Aku jatuh terduduk di sofa. Aku menangis dengan suara yang sebisa mungkin tidak di dengar dua orang sejoli itu.Sakit! ini sangat sakit! Jiwa ragaku seperti tertusuk-tusuk pisau yang sangat tajam. Aku menangis terisak sambil memukul-mukul dadaku agar rasa sakitnya bisa berkurang tapi malah semakin bertambah sakit di kala aku melihat kartu tanda pengenal yang ku temukan di atas sofa. Tidak ini tidak mungkin!. Aku sekuat tenaga berdiri dan berjalan pelan menuju kamar tidur yang akan kami tempati setelah menikah nanti. Langkah demi langkah ku ayunkan kaki untuk mendekati pintu kamar ini. Dari celah pintu kamar yang tidak tertutup penuh, aku dengan sangat jelas melihat dua sejoli yang dalam keadaan polos tanpa busana melakukannya. Di depan mataku mereka melakukannya. Dengan sangat sadar aku melihat mas Radit menggendongnya, menciumnya dengan sangat brutal. Aku seketika mual dan muntah di depan kamar. Lalu menjatuhkan baju mereka yang dipegang tadi ke lantai buat menutupi bekas muntahan ku. Aku melihat dengan sangat jelas perbuatan terkutuk mereka. Ya allah dosa apa diriku ini sehingga aku di perlihatkan pengkhianatan tunangan ku di depan mataku. Hatiku hancur!! sehancur- hancurnya!! apa yang akan aku katakan pada keluargaku nanti. Air mataku tidak berhenti mengalir. Mungkin saat ini mataku sudah membengkak gara-gara mataku terus-terusan mengeluarkan air mata. Ingin langsung ku dobrak saja pintu kamar ini dan menampar wajah dua orang yang sedang memadu kasih di dalam kamar itu. Jika di dunia ini membunuh itu tidak berdosa.. mungkin saat ini aku sudah menjadi pembunuh! Membunuh dua orang di kamar itu yang tanpa busana melakukan dosa yang sangat keji!. Kau sangat jahat dan kejam Mas Radit!! Teganya kau hancurkan mimpi-mimpi kita dalam membangun rumah tangga yang telah kita rencanakan dari jauh-jauh hari. Kau melakukannya di kamar yang kau bilang nanti yang akan menjadi kamar kita memadu kasih. Kamar yang penuh dengan hasil lukisan karyaku yang sangat indah malah kau hancurkan dengan memadu kasih dengan perempuan lain. Kau menjadi pembohong dan pengkhianat yang sangat hebat. ..Jika ada perlombaan untuk menyakiti dan membunuh seseorang tanpa menyentuh. Dan kau mengikutinya. Aku sangat yakin Mas Radit. Kau langsung menjadi pemenangnya. Kau benar-benar telah membunuhku, tanpa menyentuhku Mas. Kesetiaan ku kau balas dengan pengkhianatan mu yang sangat kejam ini. Apa salahku mas? Padahal sebentar lagi kita akan menikah. Dan kau sudah berjanji akan meminang ku. Di hadapan kedua keluarga kita kau mengatakannya. Dan sekarang kau malah yang mengingkarinya. Rumah yang akan menjadi surga kita setelah menikah, kau menodainya dengan perbuatan terkutuk. Seharusnya aku yang memberimu kejutan di saat kau pulang nanti. Tapi malah sebaliknya... Kau malah memberikan aku kejutan yang sangat hebat Mas Radit. Sehingga untuk bersuara saja aku tidak bisa. Lukisan indah hasil karyaku , kau balas dengan kelakuan hina mu bersamanya. Sekuat tenaga aku berjalan. Walaupun tadi hampir jatuh. Aku paksakan kaki buat melangkah dan tanpa sengaja menabrak Vas bunga yang ada di ruang tamu. Vas bunga itu jatuh tepat di kakiku. Seketika kaki ini mengeluarkan darah yang sangat banyak. Dan yang anehnya, aku tidak merasakan sakitnya. Lebih terasa lagi sakit luka yang tak terlihat di tubuh ini. Aku terus berjalan, sekuat tenaga akhirnya aku sampai di pintu keluar rumah ini. Sebelum aku menarik gagang pintu keluar. Aku menoleh ke belakang, dan aku melihat bekas telapak kakiku yang penuh darah tercetak jelas di lantai yang ku pijak tadi. Aku memilih pergi. Karena aku tau percuma aku membuang tenaga dengan memukul atau mencaci maki mu. Karena satu yang pasti. kau pasti lebih memilih perempuan itu. Lagian bagiku. Pria sepertimu tidak pantas ku perjuangkan lagi. Aku menutup pintu, Berusaha berjalan dengan kaki yang luka dan berdarah-darah. Sampai di motor, Ku keluarkan kunci motor dan perlahan pergi dari rumah itu. Sepanjang jalan aku menangis menahan sakit di hati. Apalagi jika mengingat perbuatan dosa mereka di hadapan ku, seketika rasa mual itu datang lagi. Berkali-kali motor berhenti di pinggir jalan untuk mengeluarkan rasa mual. Setiap kali aku muntah, ulu hati terasa sakit sekali. Di bandingkan luka di kaki, Luka di hatiku lebih sakit lagi. Tiap singgah di lampu merah, orang-orang semua melihatku. Pasti orang-orang heran melihat ku. Aku hancur, apa yang akan aku beritahu kepada keluargaku. Mau pulang saja aku malu dan takut kepada kedua orang tuaku. Hp ku berbunyi dan bergetar terus. Aku berhenti dan melihat layar hpku. Ternyata telfon dari Mas Radit. Ku biarkan saja hpku berbunyi. dan ku masukkn kembali ke dalam tas. Ku bawa lagi motorku untuk berkeliling. Merasa hpku tidak juga berhenti bergetar. Sekali lagi aku berhenti dan melihat siapa yang menelfon. Ternyata telfon dari abang Devan. "Halo, assalamualaikum dek. Kamu ada di mana sekarang? Kok belum pulang-pulang? Dan lagi, kenapa si Radit menelfon terus dan menanyakan kamu? Apa kalian bertengkar? Apa dia menyakiti kamu dek?" Apa yang harus aku lakukan sekarang. Bisa ngamuk besar abang devan nih. Bisa-bisa mati anak orang di pukulnya. Dan Mas Radit, tidak bakalan menang melawan pemegang sabuk hitam taekwondo. "Halo..Halo.. Dek kamu di mana? Kenapa kamu tidak menjawab juga? Kamu benar lagi bertengkar dengan si Radit?" Aku mengambil tisu dan mengelap hidung dan wajahku. Setelah agak tenang baru aku bersuara dan menjawab telfon abang Devan. "Halo bang. Disha tadi lagi di jalan. Dan sekarang lagi ngumpul bersama teman kuliah. Maaf, Disha tidak memberitahu orang rumah. Sebentar lagi Disha pulang yah bang.. Dan tentang Mas Radit, kami baik-baik saja bang. Selepas ini Disha akan menelfonnya." "Kamu yakin dek? kamu tidak berbohong kan?" "Iyah bang. Disha tidak berbohong. Sudah yah bang. Disha lagi di panggil sama teman. Dah bang, Assalamualaikum." Setelah abang Devan menutup telfonnya. Aku menangis lagi. Ku lihat ada sepuluh panggilan dari Mas Radit. Pria jahat! Pengkhianat! Berperilaku mengalahkan binatang! Ingin aku menelfonnya, dan mengatakan cacian makiku seperti itu kepada mereka yang telah melakukan perbuatan dosa, perbuatan Laknat!. Apa yang akan aku lakukan sekarang ini. Jika aku pulang dalam keadaaan kaki yang luka. Mata yang bengkak, hidung merah-merah. Pasti dengan sangat cepat abang Devan bisa menebak jika ada yang tidak beres dalam hubungan kami. Jadi yang harus aku lakukan sekarang adalah mengobati kaki ku yang terluka. Duhh.. Duh.. Kok baru terasa sakitnya sekarang yah.. Aku memberhentikan motorku dan berjalan pelan masuk ke apotik. Membeli obat antiseptik dan perban. Pramuniaganya sampai kaget melihatku. Mungkin dia kaget melihatku yang seperti orang gila ini. Sudah jalan pelan sambil kaki di seret-seret. Niatnya ingin menghindari anak-anak yang berlarian masuk apotik, malah ketiban sial lagi aku. Aku menabrak punggung keras yang ada di hadapanku. Alhasil obat lukaku berhamburan jatuh ke lantai depan apotik. Duhh...kenapa aku benar-benar sial. Sudah melihat pengkhianatan tunangan, kaki terluka dan di tambah tatapan aneh orang-orang yang melihatku. Sekarang orang di depanku lagi. Nih orang punggung nya keras amat! Aku perlahan memungut obat luka ku. "Maaf pak, saya tidak sengaja." Setelah meminta maaf. Aku berjalan pelan sambil membawa obat lukaku. "Tunggu dulu!! Ayudisha kan?" Kok seperti suara Dosen killer itu..Aku menoleh ke belakang dan benar. Dia, si dosen killer. Penyebab aku lambat di wisuda! "Eh pak Kenzo..he..he.. Apa kabar pak?" "Kaki kamu kenapa?? Kaki terluka kok kamu tidak bawa ke dokter! Malah berkeliaran di jalan?" Dasar dosen killer. Lama tidak bertemu mantan mahasiswanya, coba kek kasih salam dan kata-kata yang baik dan suara yang lembut! ini tidak. Main marah saja. Aku tanya kabar pun tidak di jawab. "Ini juga baru mau di obati pak. Nih baru beli obat di apotik ini. Kalau bapak ingin masuk ke apotik, Silakan masuk saja. saya permisi pak." "TUNGGU! KAMU TUNGGU SAYA DI SINI DULU!" Ada apa sih dengan dosen killer ini. Buat apa dia suruh aku menunggunya. Ku lihat dia masuk ke apotik dan membeli obat luka juga. Setelah itu, dia keluar dan langsung menyuruh ku untuk mengikuti mobilnya dari belakang. Ternyata mobilnya singgah di sebuah taman. "Pak saya pulang yah. Saya mau obati kaki saya dulu." "Kamu ikuti saya duduk di kursi taman itu sekarang, atau kamu mau saya bawa ke UGD rumah sakit sekarang?" "Saya pilih yang pertama saja deh Pak!" Aku langsung berjalan pelan ke kursi taman. Kami duduk bersama di kursi taman. Dan pelan-pelan dia mengangkat kakiku ke atas. Tapi yang buat aku kaget dia langsung mengangkat kakiku ke atas pahanya. "Pak, turunkan kaki saya pak!! Nanti celana bapak kotor terkena darah luka di kaki saya." Dosen killer ini hanya diam dan terus mengobati luka di kakiku. Tidak dia pedulikan celananya yang bakalan kotor terkena darah luka di kakiku. Tidak juga dia pedulikan kata-kata ku untuk menurunkan kakiku. "Pak, mengobatinya pelan-pelan yah. Ini sangat sakit." Bukannya menjawab dia malah melihatku dengan pandangan matanya yang tajam. Lalu dia menunduk dan terus mengobati luka di kaki ku lagi secara perlahan. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD