Ting! Ting! Ting!
Gavin melihat ponselnya yang berbunyi terus sejak tadi, matanya membulat ketika melihat apa yang membuat ponselnya itu terus-terusan berbunyi.
“Pesan anda terkirim pada Gissel Alexandra”
Gavin masih dalam keadaan bingung melihat notifikasi yang begitu banyak itu, diam dan menelan salivanya.
Mata Gavin terus melihat layar ponselnya, ia membeku. “Apa aku tidak salah lihat? Apa benar-benar pesanku terkirim?”
“Vin, lu kenapa planga plongo kayak orang bodoh gitu?”
“Feb, gue nggak salah lihat ‘kan? Ini beneran terkirim ‘kan?” tanya Gavin sambil memperlihatkan ponselnya yang masih saja mendapatkan notifikasi pesan terkirim.
Gavin ingin menyakinkan jika pesannya benar-benar terkirim.
“Gila, lu, Vin, masih nyimpan nomor Gissel? But, emang lu nggak salah liat kok, itu pesan terkirim ke Gissel,” kata Febrian.
“Serius?” tanya Ambar yang ikut penasaran. “Iya benar terkirim,” imbuh Ambar.
Entah perasaan Gavin bagaimana, antara bingung dan bahagia, ketika mengetahui jika pesannya terkirim.
Di lain tempat, ruang kamar Gissel. Gadis itu, mengaktifkan ponsel lamanya, walaupun sudah lama dia tidak memakai ponselnya, tapi dia masih memperpanjang masa aktif kartunya.
Pesan Gavin begitu banyak, tapi gadis itu tidak menanggapinya, membacanya pun tidak, dan memilih untuk mengarsipkannya.
Gavin yang melihat itu, masih berharap jika Gissel membaca pesannya, tapi nyatanya nihil. Gissel langsung menyimpan ponselnya itu. Sahabatnya Zoya pun mengirim pesan padanya, tidak dibalas sama sekali.
Ada rasa sakit, di hatinya kembali timbul. Mengingat bagaimana sahabatnya Zoya itu berpacaran dengan Gavin.
Dia pergi agar tidak melihat kedua orang itu bermesraan di depannya. Dia tidak sanggup untuk melihat kemesraan yang diperlihatkan padanya.
Tring!
“Gissel Alexandra mengupload foto baru”
Notifikasi Gavin, Ambar, Febrian, dan Zoya secara bersamaan berbunyi.
Mereka hanya bisa mengaga melihatnya.
Gissel mengupload foto ruang kamarnya, dengan caption. “Masa lalu telah pergi, dan aku kembali. Namun kenangan masih tersisa, di sini.”
Gissel mengupload beberapa foto di i********: miliknya. Ruang kamar, foto Ponselnya, beserta kopernya. Untuk pertama kalinya, setelah tahun itu, Gissel mengupload foto di i********: miliknya. Dia menjauh dari segala yang berhubungan dengan Gavin, termasuk Febrian dan Ambar.
“Sial... Gissel menonaktifkan komentarnya.” Febrian mengumpat.
Dia mencoba untuk mengirim DM ke Gissel, tapi dibaca pun tidak ada oleh gadis itu.
Febrian hanya melihat Gavin yang menatap foto terbaru yang di upload Gissel.
Dia berharap, setidaknya ada foto gadis itu yang di upload, agar dia bisa mengobati rindunya setelah sekian lama.
Bagi keempat orang itu, mereka sudah lama tidak pernah mendapatkan kabar dari gadis itu. Sama sekali tidak pernah, gadis itu seperti buih di lautan yang tiba-tiba lenyap tanpa kabar. Bahkan Gavin atau Febrian yang ingin bertemu dengan orang tua Gissel pun begitu segan, mereka adalah dua pria yang menghancurkan hati gadis itu. Tentu merasa tidak enak hati untuk bertanya.
“Gigi, bangun Sayang. Bunda sudah buatkan sarapan nih,” kata Wina mengetuk pintu kamar putri tunggalnya itu.
“Dikit lagi, Bun!” teriak Gissel dari dalam kamar.
“Gissel!” teriak Rendra. “Apa ingin Ayah yang membawamu ke kamar mandi?” Suara Rendra membuat Gissel segera beranjak dari tempat tidurnya.
Rendra Alexandra, pria pengusaha yang super sibuk karena urusan perusahaannya. Terkadang jarang di rumah, namun selalu memperhatikan putrinya satu-satu.
“I-iya, sudah bangun kok, Yah,” teriak Gissel sambil mengambil baju mandinya, dan masuk ke kamar mandi.
Ayahnya tidak bisa di ajaknya bermanja lagi, atau meminta sesuatu. Ayahnya bukanlah ayahnya yang dulu, menuruti segala yang dia inginkan. Dan, dirinya pun tahu jika dia bukanlah Gissel yang dulu, dia sadar tidak sepolos dulu. Dia bahkan menghisap rokok, dan meminum alkohol.
“Sayang... jangan begitu, dia putri kita satu-satunya.”
“Ini... nih, yang buat dia manja. Bunda selalu manjain dia,” tegus Rendra pada sang istri. “Dia itu sudah keterlaluan, dan membuatku marah,” kata Rendra sambil menikmati s**u yang telah disiapkan oleh istrinya itu.
Beberapa menit, Gissel belum juga turun, membuat Rendra berteriak memanggil putrinya lagi.
“Iya... iya...” kata Gissel sambil turun.
Wina melihat pakaian yang dipakai oleh anaknya itu seketika membulatkan matanya.
“Pakaian apa yang kau pakai, Gigi, huh? Perut kelihatan, kau ingin jadi perempuan nakal di luar sana? Ganti... mau ditaruh di mana muka Ayah, kau pakai pakaian seperti itu, di pikir ayah kehabisan uang tidak membelikanmu pakaian.”
“Ini model pakaian yang sedang trend, Yah.
“Ayah bilang, ganti, ya ganti, Gigi!” Rendra berkata dengan tegas membuat Gigi menghentakan kakinya ke lantai. Ia kembali ke kamar dan mengganti pakaiannya.
Wina melihat suaminya itu, hanya bisa menelan saliva, Rendra tidak pernah marah sebelumnya. Namun ketika kembali dari Amerika emosinya selalu saja meluap-luap.
Tidak ada yang ingin, anaknya menjadi gadis yang tidak benar. Untuk seorang Ayah yang hanya memiliki putri tunggal, menginginkan sang putri menjadi gadis baik-baik.
Gissel kembali naik ke kamarnya dan mengganti pakaiannya dengan celana jeans, baju kaos, serta baju kemeja yang di lilitkan di pinggangnya.
“Ikut Ayah. Hari ini ayah akan menemanimu pergi mendaftar kuliah di kampus baru,” kata Rendra pada anaknya.
Pergaulan di Amerika membuat akhlak anaknya itu rusak. Untung saja, Gissel tidak terjerumus pada seks, jika tidak dia pasti telah memukul wajah Gissel karena mencoba-coba sebelum pernikahan.
Wina hanya bisa diam, dia tidak berani membantah apa yang dikatakan oleh suami, karena dia baru pertama kali melihat suaminya begitu marah. Biasanya suaminya selalu menyetujui apa yang dikatakan oleh Gissel, kali ini suaminya malah selalu meninggikan suaranya ketika berbicara dengan putrinya.
Rendra menemani anaknya itu, wajah Gissel yang begitu cantik membuat begitu banyak pria melihat langsung ke arahnya ketika dia baru saja turun dari mobil.
“Pak Rendra, apa kabar?” tanya seorang pria saat Rendra Alexandra masuk di belakangnya mengikuti putrinya, Gissel.
“Seperti pembicaraan kita semalam, aku ingin anakku kuliah di tempat ini.”
“Mengapa?”
“Amerika tidak cocok untuknya!”
“Aha, pasti karena dia merindukan kalian, ya.”
“Ya begitu lah.” Rendra hanya bisa menutupi kebohongan dengan kalimat yang dikeluarkannya.
“Pergilah masuk ke kelasmu,” kata Rendra pada Gissel.
Setelah mendapatkan petunjuk Gissel segera masuk, jika dia tidak masuk kelas, bisa-bisa ayahnya mungkin akan mengirimkannya ke Pasantren, itu lebih membuatnya menjadi lebih buruk daripada pindah ke Indonesia.
Gissel berlari ke arah kelas, karena dia telah terlambat karena baru pertama kali masuk. Mendengar apa yang dikatakan teman ayahnya itu, jika yang memberikan materi sangat tidak suka dengan mahasiswi yang terlambat.
Brak!
Gissel segera mendorong pintu dengan sangat kuat, membuat seluruh perhatian tertuju padanya.
Nnafasnya tersengal-sengal setelah berlari menuju kelas itu.
Seorang pria mengenakan kaos, serta kemeja yang terlilit di pinggangnya melihat ke arah Gissel itu.
“Maaf, A-aku terlambat,” seru Gissel dengan terbata-bata.
Di saat yang bersamaan, Rendra bertanya tentang mahasiswa terbaik untuk mengajari anaknya.
Ketika mengatur nafasnya dengan benar, Gissel berdiri dengan tegak, matanya tertuju pada pria yang tengah memberikan materi, berdiri sekitar dua meter darinya.
Tatapan pria itu pun terkejut, melihat gadis yang baru saja masuk itu. Bahkan, dia melepaskan spidolnya karena terkejut.
“Gavin Nerendra,” kata teman Rendra dan Gissel secara bersamaan, di waktu yang sama dan di tempat yang berbeda.