1. Kepulangan Gissel ke Indonesia
Sebuah pesawat baru saja landing di airport Internasional Soekarno-Hatta. Gissel baru saja keluar sambil menarik koper miliknya. Kacamata hitam, rambut tergerai, jaket dan mini dress beserta sepatu boots hitam menambah daya tarik baginya.
Suasana airport begitu ramai, Gissel hanya melihat sekelilingnya.
“Non Gigi.” Sebuah suara pria memanggilnya. Gissel melirik ke asal suara.
Pria itu melihat Gissel sesaat, ia terpaku melihat gadis di hadapannya. Rambutnya terlihat diwarnai merah pudar, telinga ditindik tiga, membuat pria yang menjemputnya agak terkejut dengan perubahan nona mudanya itu.
“Hello, Pak Amin,” kata Gissel. “Bunda tidak datang?”
Pria tua itu merasa bingung dengan segala perubahan yang terjadi pada Gissel, gadis yang dulunya begitu polos, dan sopan berubah menjadi gadis tidak dikenal olehnya lagi.
“Kenapa, Pak? Apa ada yang salah–”
“Nona benar-benar berbeda dari Nona Gigi yang Bapak kenal dulu?”
“Bukankah aku tambah cantik?”
Pak Amin tidak bisa mengatakan apa-apa lagi dengan perubahan Gissel, dia hanya segera membawa barang-barang Gissel masuk ke mobil.
“Huh. Menyebalkan sekali, padahal aku tidak ingin pulang. Aku kembali ke negara ini setelah sekian lama,” gerutu Gissel sambil menuju ke dalam mobil.
Jika bukan karena sang ayah memergokinya pulang dengan mabuk mungkin dia masih berada di Amerika.
Gissel tengah mabuk, dan diantar oleh beberapa teman pria dan dua orang wanita ke apartemen. Pakaian minim, rambut yang di cat, dan juga tiga tindik di telinganya.
Jalannya sempoyongan.
Seorang pria paruh baya duduk di sofa, menyilangkan tangannya di d**a menunggu kehadiran Gissel.
Clek!
Gissel kembali dengan keadaan mabuk, apalagi dengan beberapa pria, membuat pria itu menatap tajam ke arah pria yang mengantarkan Gissel.
“Keluar!” teriak pria itu.
Gissel yang setengah mabuk mengenali wajah itu.
“Ayah,” kata Gissel.
Pria yang dipanggil ayah oleh Gissel segera mengipas-ngipas di udara, bau alkohol dari putrinya sungguh sangat bau.
Pria itu menarik paksa anaknya dan menyeret tubuh putrinya itu ke kamar mandi, dinyalakannya shower membuat tubuh Gissel menggigil kedinginan. Dia menyadari jika dia terlalu memanjakan putri satu-satunya, dan membiarkan putrinya tinggal di Amerika.
Kartu kredit yang diberikan olehnya, selalu saja begitu besar pengeluaran, membuatnya datang segera mengecek apa yang dilakukan oleh anaknya dengan begitu banyak uang.
Sangat menyakitkan hatinya mengetahui jika anaknya tidak pernah masuk kampus, dan menghabiskan uang dengan bersenang-senang.
Gissel memakai selimut, tubuhnya menggigil.
“Pulang ke Indonesia, besok!” tegasnya.
“Ayah...”
“Kau mengkhianati kepercayaan Ayah Gissel. Jadi sebagai hukumannya, tidak ada lagi kuliah atau liburan ke luar negeri, kau harus kembali dan kuliah di Indonesia,” katanya lagi.
“Tapi—”
“Tidak ada tapi-tapian, jika ayah bilang pulang, harus pulang. Jangan karena ayah memanjakanmu, kau bisa seenaknya berbuat sesuka hatimu. Kau ini perempuan, tapi malah keluar dan diantar oleh banyak pria dan mabuk-mabukan.”
“Apa ini? Kau bahkan bertindik tiga,” kata ayah Gissel sambil menarik anting yang dipakai oleh Gissel dengan kasar.
“Aw... Aw... Ayah... sakit,” ringis Gissel
“Sakit? Kau bilang ini sakit? Kau bertindik, apa tidak sakit, Huh? Hati Ayah lebih sakit Gissel, kau putri ayah satu-satunya, jika bunda tahu apa yang kau lakukan, ayah harus jawab apa nanti?”
“Besok ikut ayah ke rumah sakit.”
“Untuk apa?”
“Untuk memeriksa kondisimu, apa kau memakai n*****a atau kau tidak perawan lagi.”
Degh!
Gissel terkejut dengan perkataan ayahnya itu, segitu tidak percayanya ayahnya sampai ingin memeriksa dirinya ke rumah sakit.
Dia sering pergi keluar dan bersenang-senang, tapi dia tidak pernah menggunakan atau berhubungan intim dengan pria manapun, dia masih menjaga dirinya.
“Ayah aku–”
“Tidak ada alasan... ikut saja!”
Gissel hanya diam, dia pergi ke luar negeri karena menghindari pria yang membuat hatinya patah. Dan sekarang dia akan kembali ke rumah yang telah ditinggalkannya beberapa tahun terakhir.
Di rumah, ibu Gissel—Wina tengah mempersiapkan makanan untuk kedatangan putri satu-satunya karena mendapatkan kabar dari suaminya jika Gissel akan pindah kuliah di jakarta.
“Nyonya bahagia sekali,” kata pembantunya.
“Tentu dong, anak itu tidak pulang beberapa tahun dan hanya bermain-main di sana,” kata Wina. “Setelah dia kembali, aku harus membuatkannya makanan enak!”
Tit!
Suara klakson mobil terdengar di halaman rumah.
“Oh, itu pasti Gigi,” seru Wina sambil segera mengeluarkan puding dari dalam kulkas.
“Mom... Mom...” panggil Gissel.
“Gigi,” pekik Wina ketika melihat kedatangan anaknya dan segera memeluk putrinya itu. “Bunda sangat rindu denganmu,” kata Wina.
“Gigi juga bun...”
Wina memeluk anaknya itu, “Kau rindu denganku? Tapi tidak pernah pulang.”
“Sorry,” Gigi membuat bundanya langsung memukulnya lagi.
“Apa ini? Kayaknya enak, aku lapar!” Gissel sambil duduk dan menikmati makanan itu. “Eeemmm, aku rindu masakan Indonesia,” ucap Gissel.
Di saat Gissel tengah menikmati makanan yang telah lama tidak pernah dimakan.
Penampilan Gavin berubah, rambut agak panjang memakai kacamata dipadukan dengan jaket kain berwarna hitam. Ia tengah kuliah jurusan Ekonomi tengah melangsungkan kuliah pascasarjana di kampus Universitas Indonesia. Seorang Gavin yang pandai dalam matematika, dan sering memenangkan perlombaan saat SMA memilih untuk kuliah jurusan Ekonomi.
“Hallo kak.”
“Boleh minta foto bareng?”
“Kakak mau jadi pacarku nggak?”
Itulah, Gavin Narendra saat ini, pria dengan begitu banyak penggemar wanita, walaupun dia begitu dingin. Selalu menerima hadiah, menerima bunga, mendapatkan pernyataan cinta.
Dan... 100% mereka ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Gavin pria Es masih menjadi julukannya sampai saat ini.
“Hai bro ...”
Seorang pria dengan tindik di telinganya, rambut pendek, serta seorang gadis tengah bersama dengannya. Febrian menyapa Gavin dengan gaya khas pria itu sejak dulu, tentunya gadis yang berada di sampingnya adalah sahabat Gavin—Ambar.
“Lu pada mau ke mana?”
tanya Gavin pada dua orang sejoli yang ditemuinya itu.
“Biasa bro... pacaran... emang kaya Lu jomblo...” Gavin hanya bisa tersenyum kecut mendengar ejekan Kevin padanya.
“Feb...” Ambar menyiku pacarnya itu, untuk tidak menyinggung Gavin lagi.
“Ops. Sorry!” kata Febrian. “Lu, serius nggak ketemu dengan dia di Amerika?” tanya Febrian penasaran.
Gavin hanya menggelengkan kepalanya. “Lu jawab jujur, lu kaga nanya ke orang tua Gissel ‘kan, dia pindah ke mana?” tanya Febrian. Pria itu juga menggelengkan kepalanya.
Gavin tidak mungkin bertanya tentang Gissel ke orang tuanya langsung, alasan gadis itu pergi adalah dia. Menyakiti hati Gissel membuatnya segan untuk bertemu dengan orang tua Gissel.
“Huh! Lu g****k banget sih. Amerika besar woi, lu nyari dia di sana kaga bakalan nemu, kalau lu kaga punya alamatnya, atau sekolahnya,” kata Febrian.
Tiba-tiba Febrian teringat sesuatu. “Jangan-jangan lu, nyari dia di seluruh sekolah di New York dan California?”
Gavin hanya menganggukkan kepalanya, pertanda dia melakukannya selama dia kuliah S1 di Amerika.
“Bwahahahaha... Lu benar-benar bikin gue nggak berhenti ketawa,” kata Febrian.
“Awww... Ambar, apa-apan sih,”
“Febrian, lu keterlaluan tahu.” Ambar sambil mencubit pacarnya itu.
“Sumpah, gue nggak bisa nahan ketawa gue, Sayang,” kata Febrian.
Bagi Febrian, itu adalah hal bodoh, gila, dan g****k untuk dilakukan. Tapi, mengejar Gissel ke Amerika dan menjelaskan yang sebenarnya adalah tujuannya. Gadis itu, tidak pernah membalas chatnya sama sekali, dia bahkan menonaktifkan Ponselnya.
Ting! Ting! Ting!
Gavin melihat ponselnya yang berbunyi terus sejak tadi, matanya membulat ketika melihat apa yang membuat ponselnya itu terus-terusan berbunyi.
Ting!
“Pesan anda terkirim ke Gissel Alexandra”