Awal Mula

1864 Words
Kesalahan terbesar Rania ialah mengambil keputusan sesat di saat waktu yang tidak tepat. Meski ia sudah memikirkan matang-matang keputusannya dan segala konsekuensi yang akan ia terima. Namun, sepertinya keputusan yang Rania ambil merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Alih-alih bisa terlepas dari kesengsaraan, justru bisa jadi berpotensi semakin sengsara. Rania berdiri kaku di depan pintu, matanya tak sedetik pun berani berkedip ketika sorot mata lelaki yang membayar keperawanannya tengah menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Terlalu misterius, tapi juga mampu memikat. Bohong kalau Rania tak terpesona oleh sosok lelaki yang tak lain bosnya sendiri. Namun, Rania juga tak bisa memungkiri kalau dirinya menyesal telah melangkahkan kaki memasuki kamar ini. Seandainya waktu bisa diputar, Rania ingin kembali pada beberapa waktu yang lalu. Di mana ia belum nekat mengambil keputusan sesat ini. Pikiran Raina kembali pada hari-hari sebelum ini, memunculkan berbagai perandaian dalam benaknya. Seandainya saja utang piutang itu tidak pernah ada! Seandainya saja gajinya cukup untuk melunasi semua utang-utang mendiang orangtuanya! Seandainya saja pemikiran sesat itu tak pernah terbesit di pikirannya! Seandainya saja .... Memori Rania berputar mundur pada dua hari sebelum ini. Di mana pagi itu ia terbangun oleh suara gedoran pintu yang memekakkan telinga, memaksa kelopak matanya terbuka. Rania menggeliat, menguncek-ngucek matanya sembari melihat ke arah jam dinding di kamar kecilnya. Suara gedoran pintu semakin jelas terdengar, menggebu-gebu, tak sabaran. Dengan langkah malas, Rania berjalan sempoyongan keluar kamar. Rasa kantuk masih mendominasi, tapi suara gedoran pintu seakan menarik paksa dirinya. Rania mengembuskan napas kasar, mengutuk orang di balik pintu rumahnya yang membuat keributan di pagi hari. Masih jam enam pagi, tapi orang tersebut menggedor-gedor pintu rumahnya seolah ingin menagih utang. "Iya, sabar!" teriak Rania, mempercepat langkahnya menuju pintu. Namun, sepertinya orang di luar tidak mengerti kata sabar. Alih-alih berhenti menggedor, orang itu malah semakin menggedor pintu dengan tempo cepat tak berjeda. Astaga! Rania bersumpah akan menggeprek orang di balik pintu rumahnya. Namun, ketika ia membuka pintu, Rania menarik kembali sumpahnya. "Selamat pagi Neng Rania, baru bangun?" Suara berat bernada khas aki-aki yang sangat dihindari oleh pendengaran Rania. "Pak Jarwo, apa yang Bapak lakukan di sini pagi-pagi?" Rania berusaha tetap sopan, meski dalam benaknya ingin sekali mengumpati bapak-bapak bau tanah yang saat ini berdiri angkuh di depannya. Berlagak layaknya bos mafia, di mana di kanan kiri dan belakang terdapat lelaki berkulit gelap dengan badan bengkak. Ya, mereka tukang pukul yang biasa mengawal si aki-aki tua atau disebut juga rentenir bau tanah. Rania memang hobi membuat julukan pada orang, terutama orang-orang yang menyebalkan  seperti pak Jarwo. "Menurut kamu, ngapain saya ke sini pagi-pagi?" Bukannya menjawab, pak Jarwo malah bertanya balik sembari memberikan tatapan aneh pada Rania. Rania merasa begitu risi dengan cara pak Jarwo menatapnya. Seakan sorot mata lelaki tua itu tengah mengintai sesuatu di balik piyama satin yang ia kenakan, lalu perlahan menelanjanginya. Jijik! Rania menggaruk kepalanya yang tidak gatal, matanya bergerak gelisah menghindari sorot mata pak Jarwo dan anak buahnya. Rasanya Rania sangat berhasrat untuk mencongkel satu per satu bola mata orang-orang di depannya itu. Sayangnya Rania bukan psikopat, nggak sengaja nginjak semut aja ia nangis. Selembut itu hati Rania. "Maaf Pak, sepertinya saya sudah bayar cicilan utang bulan ini 'kan, ya? Terus maksud kedatangan Pak Jarwo ke sini buat apa lagi, ya?" Rania terlihat ragu-ragu saat mengatakannya, pasalnya tatapan anak buah pak Jarwo begitu mengintimidasi dan membuatnya ketakutan. "Memang benar, tapi sepertinya kamu melupakan sesuatu," kata pak Jarwo. Rania menaikkan sebelah alisnya, bingung. "Sesuatu?" Apa? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Adakah yang ia lewatkan dari pertemuan minggu lalu? Sepertinya tidak ada, Rania yakin kalau minggu lalu ia membayar cicilan utangnya. Melihat Rania terdiam, pak Jarwo berdehem keras. Menarik atensi Rania kembali pada dirinya. "Minggu lalu saya bilang kamu harus melunasi sisanya, saya kasih waktu satu minggu dan sekarang sudah seminggu. Harusnya kamu membayar sisa utang orangtua kamu," cetus pak Jarwo, mengingatkan Rania pada ucapan lelaki itu seminggu yang lalu. "Rania, saya bosan kalau harus menagih tiap bulan. Kenapa kamu tidak terima saja tawaran saya, dengan begitu kamu tidak perlu perlu pusing-pusing melunasi utang orangtua kamu. Kamu juga bisa hidup berkecukupan, nggak perlu capek-capek bekerja, semua kebutuhan kamu akan terjamin jika menjadi istri saya." Dan jawaban Rania waktu itu adalah tidak. Tidak sudi lebih tepatnya. Mana mau ia menikah dengan lelaki yang lebih pantas menjadi kakeknya, bahkan ia hendak dijadikan istri kelima. Bisa gila mendadak Rania. Tapi ia juga ingat, kata-kata pedas yang dilontarkan oleh pak Jarwo kala mendengar penolakannya. "Dikasih hati nggak tahu diri! Kamu dibaikin malah makin kurang ajar. Kalau begitu bayar lunas utangmu, saya tunggu sampai minggu depan. Kalau kamu tetap nggak bisa bayar, mau nggak mau kamu harus mau menikah dengan saya!" Bahkan lelaki tua itu tak mau mendengarkan protes Rania, pergi begitu saja membawa kemarahannya. Rania pikir itu hanya gertakan, tapi tak disangka si tua bangka itu benar-benar merealisasikan ucapannya dengan berdiri di depannya pagi ini. "Bagaimana, kamu sudah ingat? Jadi sekarang mana uangnya?" Pak Jarwo menagih uang pelunasan yang dimintanya seminggu yang lalu. "Atau kamu mau memilih opsi lain?" Jelas opsi yang dimaksud ialah menikah siri dengannya dan jadi istri kelima. Rania spontan menggeleng. Ia tak mau merelakan masa depannya jadi suram hanya karena menerima pinangan pak Jarwo. Selain ia tak cinta, bagaimana nanti pandangan para tetangga. Mereka pasti akan menggunjingkan Rania dan mengatai dirinya w************n gila harta, karena mau-maunya menjadi istri dari lelaki yang sebentar lagi mungkin akan mati. Walau kalau dilihat tubuh pak Jarwo masih terlihat bugar dengan perut buncitnya dan rambut yang sengaja dicat hitam. Namun, hal tersebut tak lantas membuat Rania berubah pikiran. Ia tetap tidak mau. "Pak, maaf beribu maaf. Tapi saya tetap tidak bisa———" "Kalau begitu menikahlah dengan saya," sergah pak Jarwo. "Itu juga saya nggak bisa," cicit Rania. "Pilihan kamu cuma dua Rania, menikah dengan saya atau lunasi utang kamu sekarang juga!" tegas pak Jarwo, final. Rania yang panik, langsung bersimpuh di kaki pak Jarwo. Memohon belas kasihan, agar diberi keringanan waktu. "Saya mohon Pak, beri saya waktu untuk melunasi. Tiga hari," cetus Rania tanpa berpikir. "Beri saya waktu tiga hari." Ia nampak begitu mantap mengatakannya. Melihat keseriusan Rania, pak Jarwo pun setuju. "Baik, tiga hari saya beri kamu waktu untuk melunasi. Kalau dalam tiga hari kamu nggak bisa melunasi, maka kamu harus mau menjadi istri saya. Mengerti Rania sayang." Rania merasa jijik ketika pak Jarwo tanpa segan menoel dagunya. Setelah itu pergi meninggalkan Rania yang masih bersimpuh di depan pintu rumahnya. Rania terdiam, bengong. Menatap kosong ke depan dengan pikiran berkecamuk, sepertinya ia baru tersadar akan apa yang ia ucapkan sebelumnya pada pak Jarwo. Rania tersenyum getir, menertawakan dirinya sendiri. "Rania bego, duit dari mana coba," gumamnya, frustrasi. Karena memikirkan hal itu, Rania jadi bengong di kantor. Bahkan ia tak menggubris temannya yang sedang bercerita mengenai bos baru di kantornya. Rania memang sudah mendengar sebelumnya kalau kantornya sudah diakuisisi oleh perusahaan besar dan sudah dipastikan kalau kepemilikannya berubah. Tapi Rania tak begitu penasaran dengan bos barunya, baginya sama saja. Siapa pun bosnya tak akan bisa merubah kehidupan Rania yang malang. "Ran, kamu dengerin aku ngomong nggak si?" Mia menyikut lengan Rania yang sedang menatap layar monitor. Rania yang melamun sontak terkejut dan sadar, spontan ia menoleh. Memberikan tatapan bertanya pada Mia, teman kantornya. Mia yang tahu kalau sejak tadi Rania tak mendengarkan dirinya bercerita lantas berdecak kesal. "Jadi beneran kamu nggak dengerin aku ngomong?" Rania menyengir, merasa tidak enak hati karena tidak mendengarkan cerita Mia. "Maaf." Mia mendengkus pelan, memicingkan matanya penuh selidik. "Kamu kenapa si? Pagi-pagi udah melamun. Lagi mikirin apa? Utang?" Siapa kira jika tuduhan Mia tepat sasaran, tapi tetap Rania berusaha menyembunyikan kebenarannya. Rania tak mau Mia tahu kalau dirinya terlilit utang, mengingat Mia suka bergosip dan ceplas-ceplos, ia tak bisa mempercayakan aibnya untuk diketahui Mia. Terlalu beresiko. Ia takut kalau wanita itu akan keceplosan dan membuat seluruh karyawan tahu, Rania tidak mau digosipkan karena hal tersebut. Ia juga takut kalau seandainya mereka semua akan mengucilkan, karena kasus-kasus sebelumnya seperti itu. "Enggak kok, aku———" Ucapan Rania tersela oleh suara seorang wanita yang merupakan manager HRD di kantornya, Bu Vela. "Pagi semua." Suara Vela selaku manager HRD menginterupsi seluruh karyawan yang berada di kubikelnya masing-masing. "Pagi, Bu." Semua orang nampak antusias ketika melihat Vela datang dengan seseorang di belakangnya. Tak terkecuali Mia yang tengah heboh seolah melihat dewa jatuh dari kayangan. "Gila ganteng banget. Jangan-jangan dia bos baru kita," bisik Mia pada Rania. Rania menoleh ke sumber yang sedang dibicarakan oleh Mia. Melihat sosok lelaki jangkung yang berdiri di belakang bu Vela, Rania tak memungkiri kalau lelaki itu memang ganteng. Tapi ia tak cukup berminat untuk memandangi lebih lama, tidak seperti wanita-wanita lain yang secara terang-terangan memuji ketampanan lelaki itu yang ternyata bos baru di kantornya. Bu Vela memperkenalkan nama dan jabatan beliau. "Jadi mulai hari ini Pak Rehan yang akan mengambil alih semua tugas-tugas pak Bimo. Otomatis beliau membutuhkan seorang sekretaris untuk membantu pekerjaannya. Saya sudah memasukkan beberapa di antara kalian sebagai kandidatnya, dan nantinya Pak Rehan sendiri yang akan menentukan siapa kandidat terpilih untuk menjadi sekretarisnya. Untuk itu, saya harapkan kalian bisa menunjukkan kinerja dan totalitas yang baik dalam bekerja agar bisa terpilih nantinya. Itu saja dari saya, mungkin Pak Rehan ingin menambahkan?" tanya Vela pada lelaki yang berdiri di sampingnya sekarang. Rehan menggeleng. "Cukup itu saja," katanya. Mendengar pengumuman bu Vela, Mia langsung mencondongkan tubuhnya mendekat ke Rania. "Ran, kira-kira aku termasuk nggak ya? Pasti enak banget kalau bisa jadi sekretarisnya Pak Rehan. Gila, bisa mandangin wajah gantengnya setiap saat. Mau banget!" Rania mendengkus pelan, mengabaikan ocehan Mia. Ia tidak peduli, bahkan dengan pengumuman bu Vela. Rania sama sekali tidak minat, karena menurutnya mustahil karyawan biasa seperti dirinya bisa terpilih. Ia juga tak berharap akan hal itu. Lagipula hubungannya dengan lelaki itu hanya sebatas formalitas di tempat kerja, untuk apa juga Rania sibuk membicarakannya. Toh belum tentu lelaki itu akan mengenalinya dari banyaknya karyawan di kantor ini. Namun, Rania salah. Karena pada kenyataannya lelaki itu mengenalinya. Bahkan mengingat dengan jelas namanya. Sosok yang saat ini tengah menatapnya dengan ekspresi berbeda. "Boss?" Satu kata yang berhasil Rania ucapkan saat sosok itu menunjukkan wajahnya. Ya, lelaki yang membeli keperawanannya ialah bosnya sendiri. Rehan Dirgantara. "Hai, saya tak menyangka akan melihat kamu dalam penampilan yang sangat-sangat berbeda, Rania Isabella," ucap Rehan. Rania menegang di tempat. Entah sebagai bentuk pujian atau sindiran kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Rehan. Namun, yang pasti Rania merasa tertekan saat ini. Dalam pikirannya banyak hal berseliweran, pikiran-pikiran negatif dan ketakutan yang menekan mentalnya kian jatuh. "Come here, Rania." Panggilan Rehan bagaikan panggilan kematian. Seakan mendorongnya pada sebuah jurang tak bertepi dan entah apa yang sedang menantinya di bawah sana. Kesenangan, kepuasan atau malah kehancuran? Raina tak bergerak, tangannya semakin kuat mencengkram dress tipis yang ia kenakan. Perasaannya mulai meragu, keinginan untuk mundur semakin besar. Tekad yang sebelumnya bulat, kini hilang tak bersisa. Alih-alih melangkah maju menghampiri Rehan, Rania malah mundur perlahan. "Maaf Pak, sepertinya saya salah kamar." Rania langsung berbalik, tanpa menunggu respon dari Rehan. Ia berubah pikiran, tak jadi menjual keperawanannya pada lelaki itu. Namun, belum sempat Rania menarik gagang pintu, suara Rehan berhasil menginterupsi dirinya. "Kamu pikir bisa mundur, Rania?" Kata-kata Rehan bagaikan cambuk yang membuat Rania tak mampu berkutik. Mundur? Bisakah ia mundur sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD