Kesepakatan

1784 Words
Rania terpaku di depan pintu kamar yang masih tertutup, tangannya menggantung di gagang pintu yang tidak jadi ditarik olehnya. Kata-kata yang Rehan ucapkan barusan berhasil menghentikan niatnya untuk keluar dari ruangan ini. "Kamu tidak bisa mundur begitu saja, Rania. Jadi, kemarilah." Suara rendah Rehan berhasil membuat Rania perlahan berbalik menghadap dirinya, meski wanita itu masih bertahan di tempatnya berdiri. "Kamu yakin ingin mundur?" Kali ini Rehan mempertanyakan kembali niat Rania. Rania menelan ludah, lalu memberanikan diri untuk menganggukkan kepala sebagai jawaban dan memperjelas lagi dengan sebuah rangkaian kalimat yang susah payah ia susun. "Sepertinya saya berubah pikiran, saya tidak jadi menjual kepera ...." Spontan Rania mengatupkan bibir ketika akan mengatakan hal yang dianggapnya tabu. "Intinya saya tidak bisa menjualnya, saya mohon maaf. Permisi." Rania kembali berbalik dan bersiap menarik gagang pintu, tapi lagi-lagi suara Rehan berhasil menghentikannya. "Saya tidak suka dengan orang yang ingkar janji, mempermainkan kesepakatan dan tidak bertanggung jawab." Rania menegang di tempat, mencengkram lebih erat gagang pintu saat tangannya mulai gemetaran ketika mendengar ucapan Rehan. "It's okay, saya tidak akan memaksa kamu untuk menjualnya. Tapi apakah kamu akan siap dengan resikonya? Karena kamu baru saja mempermainkan saya dengan kesepakatan yang kamu batalkan secara sepihak itu. Ah, Bisa saja kamu akan kehilangan pekerjaan, karena jujur saya tidak bisa mempekerjakan seseorang yang tidak bertanggung jawab dan tidak konsisten dengan keputusannya sendiri," lanjut Rehan, seolah mengintimidasi Rania lewat kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Rania termenung, memikirkan perkataan Rehan barusan. Apa lelaki itu berniat memecatnya? Hanya karena dirinya tidak jadi menjual keperawanannya? Sungguh? Rania tak habis pikir, padahal kalau diingat-ingat mereka belum melakukan transaksi apalagi kesepakatan. Tapi kenapa bosnya itu begitu menekannya, menganggap dirinya yang tak konsisten sampai mengancam akan memecatnya. Tapi. Rania terdiam membisu, menatap gagang pintu dengan pikiran menerawang. Jika dirinya dipecat, maka ia akan jadi pengangguran dan kehilangan pekerjaan. Lalu kesempatan untuk melunasi utang mendiang orangtuanya pun akan sirna, kemudian pada akhirnya Rania terpaksa harus menikah dengan bos rentenir, menjadi istri siri yang kelima. Yang benar saja! Membayangkannya saja membuat Rania menggigil, seluruh bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri, merinding. "Bagaimana?" Suara Rehan menarik paksa Rania dari lamunannya. "Kamu masih mau membatalkannya?" Rehan tersenyum miring ketika Rania memutar tubuhnya, menghadap dirinya dengan kepala menunduk. "Atau kamu berubah pikiran lagi?" Rania mengangkat wajahnya, beradu tatap dengan mata Rehan yang tengah memandanginya dari atas sampai bawah. Seolah mata lelaki itu tengah menelanjanginya, jujur Rania merasa malu sampai-sampai pipinya serasa memanas. Ia tak tahan lagi, buru-buru memalingkan wajahnya, menghindari tatapan mata Rehan. "Kenapa diam?" Rehan masih terus bertanya, karena Rania tak kunjung merespon. Rania berdeham, melegakan tenggorokan yang merasa tercekik. Lalu kembali menatap Rehan dengan wajah putus asa. "Apa saya punya pilihan lain?" "Tentu, pilihanmu hanya dua. Keluar berarti kamu akan dipecat, jika kamu ingin tetap bekerja maka penuhi kesepakatan kita dan kamu akan mendapatkan bayaran yang kamu inginkan. Bukankah kamu sangat membutuhkan uang ini?" Rehan mengambil amplop putih dari dalam saku jasnya, menunjukkan pada Rania sebelum menggeletakkannya di atas meja. "Di dalamnya ada cek senilai satu milyar, sesuai harga yang kamu tawarkan." Rania meremas kuat dressnya, mengutuk dirinya yang kini berubah jadi w************n hanya untuk mendapatkan uang. Tapi sungguh, jika bukan karena keadaan yang mendesak, Rania tak akan melakukan hal senekat ini. Bahkan ia ragu untuk melakukannya, tapi tuntutan keadaan memaksa Rania tetap melangkahkan kaki ini menuju lubang kehancurannya. "Good." Rehan tersenyum lebar saat Rania melangkah perlahan menuju dirinya. Mata wanita itu tak sedetik pun teralihkan dari pandangannya. "Kamu membuat pilihan yang tepat Rania," ucap Rehan saat Rania berhenti di depannya. "Duduklah." Kemudian Rehan menyuruhnya untuk duduk. "Ya?" Rania mengernyit, bingung. Pasalnya Rehan menyuruhnya duduk di pangkuan lelaki itu. "Why?" Rehan ikut mengerutkan keningnya, sebelum kembali memasang wajah datar yang begitu tampan dan mengesankan. Rania tak memungkiri jika sekali pandang saja ia sudah terpesona akan pahatan sempurna wajah bosnya, terutama bibir sensual milik bosnya yang agak berisi dan sepertinya kenyal kayak squishy .... Oh s**t! Rania! Rania buru-buru menggelengkan kepala, menepis pemikiran kotor yang sempat menguasai otaknya. Bayangan bibir Rehan membuat tubuhnya bereaksi dan sensasi panas seakan membakar sekujur tubuhnya. "Rania, saya bilang duduk." Suara Rehan masih terdengar rendah, tapi kali ini lebih tegas seakan itu sebuah perintah mutlak yang harus Rania lakukan. Rania tak punya pilihan lain, dengan hati-hati memutar tubuhnya dan perlahan mendaratkan bokongnya di atas paha Rehan. Tapi Rehan yang tak sabaran dengan cepat menarik pinggang Rania, alhasil wanita itu terkejut saat bokongnya mendarat kasar di atas paha kokoh yang menjadi tumpuan duduknya saat ini. "Pak Rehan!" pekik Rania. "Kamu terlalu lelet, Rania," bisik Rehan di dekat telinga Rania. Rania menggeliat, merasakan embusan napas Rehan menyapu leher jenjangnya. Hal tersebut sontak membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya merinding disko. Di tambah usapan tangan Rehan di bahunya, Rania nyaris ingin meloncat dari pangkuan lelaki itu. Pasalnya sentuhan tangan bosnya itu seakan menghantarkan sengatan listrik yang memicu jantungnya berdenyut lebih cepat. Apa-apaan ini? "Mari kita mulai kesepakatannya, Rania." Lengan kokoh Rehan terulur mengambil sebuah map yang tergeletak di atas meja, kemudian memberikannya pada Rania. "Kamu tanda tangani ini." "Ini apa Pak?" tanya Rania saat menerima map bewarna cokelat yang barusan diberikan Rehan. "Buka saja, kamu bisa membacanya terlebih dahulu," suruh Rehan. Lantas, Rania membuka map itu dan membaca surat perjanjian di dalamnya. Rania melotot ketika membaca poin-poin yang tertulis di surat kesepakatan tersebut. Ia merasa dirugikan dengan ketentuan yang dituliskan Rehan dan ini tidak sesuai dengan yang ia pikirkan dari awal. "Pak," panggil Rania hati-hati. "Hm." Rehan hanya bergumam, matanya tengah sibuk memperhatikan punggung Rania setelah ia menyibakkan rambut panjang wanita itu ke depan. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini," kata Rania, ragu-ragu saat mengatakannya. Takut jika ucapannya akan menyinggung bosnya itu. "Kesalahpahaman?" Rehan menaikkan sebelah alisnya, memalingkan pandangannya pada Rania yang menoleh kepadanya. Rania menganggukkan kepala. "Iya." Lalu menunjukkan surat perjanjian berisi ketentuan kesepakatan yang diajukan Rehan. "Saya menjual keperawanan ini hanya sekali, bukan untuk berkali-kali. Saya———" "Saya pikir itu sesuai untuk harga yang kamu minta Rania," potong Rehan, menyela ucapan Rania yang belum terselesaikan. "Apa?" Mata Rania berkedut, tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari bosnya. "Tapi ini———" "Ini apa Rania?" Rehan mendekatkan wajahnya ke depan muka Rania, embusan napas berbau mint sukses membuat wanita itu bungkam. "Apa kamu pikir akan ada yang mau membeli keperawananmu dengan harga segitu hanya untuk satu malam?" Rehan menyeringai ketika Rania tak memberikan respon atas pertanyaannya barusan. "Tentu tidak akan ada Rania. Orang bodoh mana yang akan membuang uang segitu banyaknya untuk membeli satu keperawanan, kalau di luaran sana ia bisa membeli puluhan perawan dengan uang segitu banyaknya. Kamu beruntung karena saya mau membelinya, lalu kenapa kamu harus keberatan dengan ketentuan yang saya minta itu, Rania?" Rania menahan napas saat ia merasakan ujung telunjuk Rehan menyentuh bibir Rania. Menyalurkan getaran tak terduga dan memicu detak jantungnya yang kembali memburu. Dadanya pun turut berdebar-debar, seakan tubuhnya begitu menginginkan sentuhan lelaki di depannya. Tidak! Jangan konyol Rania! Rania mengutuk diri sendiri, bagaimana tubuhnya terus melawan perintah otaknya. Seakan reaksi tubuhnya terus memberikan sinyal-sinyal ketertarikan pada Rehan. Astaga, terkutuklah tubuh ini! Ingin sekali Rania menghantamkan kepalanya ke tembok agar kewarasannya kembali. Tapi sial, ia malah dibuat kalang kabut ketika ibu jari Rehan memainkan bibir bawahnya. Sialan! Rania mati kutu. Sekeras apa pun ia melawan, tubuhnya seperti mati rasa dan tak mendengarkan jeritan dari otaknya. Terlalu larut dan terbuai oleh permainan tangan bosnya yang begitu lihai memainkan bibirnya. Usapan ibu jari lelaki itu menciptakan fantasi liar di dalam pikiran Rania. "Jadi, apa kamu masih keberatan dengan permintaan saya?" Rehan kembali bertanya, memastikan kalau Rania tidak akan memprotes semua ketentuan yang tertulis di surat perjanjian. Rania tersadar, menatap gelisah Rehan yang masih berada dekat di depan wajahnya. "Tapi Pak———" "Ssuut!" Rehan menekan bibir Rania yang baru saja terbuka dengan telunjuknya. "Saya tidak mau dengar alasan apa pun, Rania. Kalau kamu setuju, maka kamu harus menandatanganinya. Tapi jika tidak, saya tidak akan memaksa. Namun, saya juga tidak bisa menjamin kamu bisa bekerja lagi di kantor saya." Ancaman lagi. Rania ingin sekali berteriak, merasa dipermainkan oleh Rehan. Bosnya itu seakan memakai kelemahan Rania untuk mendapatkan keinginannya dan sialnya Rania tak bisa mengelak apalagi menolak. Ia tak bisa mundur, jika ingin tetap bertahan hidup di kerasnya kota metropolitan. Rania memandang poin-poin kesepakatan yang tertuang di surat perjanjian. Ia berdecih saat melihat semua poin tersebut, begitu memberatkannya dan menguntungkan bosnya. Bayangkan saja, Rania diminta menuruti semua keinginan Rehan tanpa boleh menolak. Kapan pun lelaki itu ingin, maka Rania harus bersedia melayaninya tanpa membantah  karena semua yang keluar dari mulut Rehan adalah perintah mutlak untuknya. Dan satu hal yang membuat Rania ingin marah pada bosnya. Tidak ada batas waktu kapan perjanjian ini berakhir, karena hanya Rehanlah yang berhak menentukan kapan ia akan mengakhirinya dan di kertas itu tertulis sampai Rehan bosan. Seriously? Jika seperti itu bukankah Rania seperti p*****r? Perempuan simpanan? Gila! Rehan benar-benar memanfaatkan keadaan untuk memerasnya. Memangnya dipikir Rania ini boneka yang bisa dia jamah setiap waktunya? Rania menyesal, tapi penyesalan itu tak berarti apa-apa sekarang. Karena dirinya tak punya pilihan lain, dari pada harus menikah dengan aki-aki bau tanah mungkin lebih baik jadi patner bercinta bosnya. Walau Rania nanti akan memikirkan cara untuk mengakhiri perjanjian gila ini. "Rania, aku tidak suka menunggu." Suara Rehan kembali menyadarkan Rania dari lamunannya. Rania menatap sekilas Rehan, mengamati ekspresi lelaki itu yang tak bisa ia jabarkan dengan kata-kata. Tatapan mata Rehan begitu misterius dan Rania menangkap seulas senyum penuh arti dari senyum yang terukir di wajah tampan itu. "Baiklah, saya akan menandatanganinya. Tapi dengan satu syarat," pinta Rania. "Syarat?" Rehan menaikkan sebelah alisnya, masih menatap Rania dengan ekspresinya yang misterius. "Syarat apa?" "Saya mau kesepakatan ini hanya kita saja yang tahu. Saya tidak mau sampai ada rumor ataupun gosip tentang kita. Jadi saya harap Pak Rehan bisa bersikap seolah tidak mengenal saya waktu berada di kantor," ucap Rania, mengutarakan keinginannya. Ia tidak mau ketentramannya di kantor berubah karena skandal antara dirinya dan bos barunya itu. "Hanya itu saja?" Rehan balik bertanya dan dijawab anggukan kepala oleh Rania. "Oke, berarti kamu sepakat dengan perjanjian itu?" Rania mengangguk, pasrah. Lalu ia membubuhkan tanda tangannya pada kertas berisi perjanjian tersebut. Setelahnya memberikan map itu lagi pada Rehan. "Kamu yakin tidak akan menyesal, Rania?" Rehan tersenyum, dan Rania merasa senyuman itu mengejek dirinya. Rania tak menjawab dan memilih memalingkan wajahnya lagi ke depan. Ia tak tahan jika harus melihat wajah tampan Rehan yang begitu memikat hatinya. Bodoh memang, Rania yang begitu bodoh. Bisa-bisanya ia malah tertarik dengan lelaki yang akan merenggut masa depannya. "Apa kita harus mulai sekarang, Rania?" bisik Rehan, mencium bahu Rania sambil menurunkan tali gaun yang membungkus tubuhnya. Rania menahan napas, memejamkan mata. Berkali-kali memohon ampun untuk apa yang akan ia lakukan. Maafkan aku ayah, ibu. Rania terpaksa melakukannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD