Theo mengurungkan niatnya untuk pergi ke café, cowok dengan lesung pipi itu sedang mencoba membuat sesuatu yang bisa dimakan. Beberapa bahan makanan yang ditinggalkan Emma, ia gunakan untuk membuat omlet.
“Kayaknya ada yang kurang, apa ya?” gumam Theo sembari memegang Teflon.
Akhirnya Theo meraih ponsel dan mencari di pencarian google.
“Bahan buat omlet,” ucap Theo.
Seketika ada banyak sekali tampilan resep untuk membuat makanan itu. dan Theo kembali pusing saat ada beberapa bahan yang tidak tersedia di apartemennya.
“Yaelah, kudu keluar ini mah!” gerutu Theo.
Kesal karena tidak bisa membuat makanan, Theo meletakkan Teflon dan memesan secara online.
“Kasihan warung dimari kalo gue jago masak, beli aja deh,” ujar Theo sembari menekan pesanan.
Sembari menunggu makanan pesanan itu datang, Theo memilih bermain game dengan ponsel di tangannya. Seperti yang biasa, ia selalu memainkan game cacing yang sudah trending sejak ia SMA. Hanya saja, Theo kali ini lebih mahir dari sebelumnya.
“Minggir gebleek! Cacing gue mau lewat!” seru Theo sembari tubuhnya bergerak kekanan dan kekiri.
Ting …
Tong …
“Makanan gue dateng tuh,” gumam Theo.
Ia pun berjalan menuju ke pintu.
Ceklek
“Malem The,” sapa Emma yang ternyata ada di sana.
“Buset dah, gue kirain babang anter makanan,” ucap Theo.
“Lah, gue mau masak! Ngapa pesen makan?”
“Gue udah laper, lagian gue pesen banyak, lu bisa ikut makan kok,” ujar Theo masih fokus dengan ponselnya.
“Main apaan sih?” tanya Emma yang penasaran.
“Game. Dah masuk gih!”
Emma pun melangkah masuk ke dalam apartemen milik Theo dan meletakkan bahan makanan yang akan ia gunakan di dapur.
“Astaga! Theo! Lu apain dapurnya?” teriak Emma.
“Dia ngamuk gue kagak bisa masak!” jawab Theo dengan suara yang tidak kalah nyaring.
“Ada gitu dapur ngamuk? Yang ada dia yang ngamuk karena gak bisa bikin makanan, g****k emang.”
Akhirnya Emma membersihkan dapur dan mengembalikan semua pada tempatnya. Setelah itu, ia membersihkan meja dan juga beberapa piring kotor. Dari dapur, Emma bisa mendengar seseorang datang membawa makanan pesanan Theo.
“Em, bantu ini pinmdah ke piring ya? Bentar gue kebelet,” ujar Theo dengan berlari ke dalam kamar mandi.
Emma mengambil bungkusan makanan itu, dan menyiapkan semua di atas piring. Setelah beberapa menit, akhirnya Theo keluar dari kamar lalu duduk di meja makan.
“Makan kuy!” ucap Theo.
“The, tadi mau bikin apa?” tanya Emma.
“Omlet.”
“Kan bahannya udah ada, emang apa yang lu kagak bisa?”
“Gue liat di google, tapi banyak banget bahannya, jadi males aja belanja.”
“Lah, kan Cuma telor.”
“Iya, tapi gue mau yang ada isiannya.”
“Owh.”
Mereka pun makan bersama di satu meja. Dengan lahap Theo menghabiskan makanan itu dalam beberapa detik saja.
“The, lu laper, rakus, apa emang suka?” tanya Emma yang terkejut melihat cara makan Theo.
“Gue udah hampir pingsan. Dah … kalo udah kelar, lu tarok aja di sana, entar gue cuci.”
“Yang ada keburu jamuran pas elu cuci. Gue aja yang cuci.”
“Serah elu dah.”
Theo kembali berjalan ke ruang santai, dengan tangan yang masih berkutat pada ponsel. Theo kembali berteriak dan berseru saat game yang ia mainkan hampir saja membuatnya kalah.
“Oi, bancat sih! Jangan disitu! Cacing gue mati!” teriak Theo.
Sampai akhirnya …
“Mati lu! Mati lu!” ucap Theo berkali-kali.
“The, lu waras kan? Lu Theo kan?” tanya Emma yang takut dengan sikap Theo kali ini.
“Eh, sorry … lagi asik aja ma game.”
Emma duduk di samping Theo. Melihat cowok itu sedang bermain game saja sudah membuatnya mabuk. Dalam hati, Emma tidak begitu peduli dengan status, yang paling penting … mereka sedang bersama di dalam apartemen yang sepi itu.
Merasa jika tidak terlalu di hiraukan oleh Theo, Emma juga berkutat dengan ponsel miliknya. Ia mengirim pesan ke beberapa temannya dan juga Yaya. Tanpa Theo sadari, beberapa kali Emma mengambil gambarnya dan mengirim ke Yaya.
“The, masih lama main game-nya?” tanya Emma.
“Kenapa? Lu mau balik?” tanya Theo.
“Iya, gue balik ya?” palit Emma.
“Bentar, gue anter deh. Udah malem,” ujar Theo.
Theo pun beranjak dari duduknya dan menuju ke dalam kamar. Tanpa sadar, Emma mengikuti langkah Theo untuk masuk ke dalam kamar itu. Melihat isi dari kamar yang selama ini menjadi tempat paling dirindukan Theo jika sedang menjalani beberapa mata kuliah dalam sehari.
“Eh, lu ikut masuk?” tanya Theo.
“Gue penasaran ama dekorasi kamar yang bikin lu betah,” ujar Emma.
“Masuk aja, tapi jangan sakit hati aja kalo liat.”
Emma mengangguk, lalu melihat ada foto Vivi yang terpajang di sana.
“Cantik ya? Pantes lu gak bisa lupain dia,” ucap Emma.
“Iya.”
Theo duduk di tepi ranjang sembari melihat Emma yang tengah melihat isi kamarnya.
“Lu suka?” tanya Theo.
“Hmm?”
“Lu suka sama kamar gue?”
“Suka, dekorasinya bagus. Gue juga pengen kalo punya apartemen bakal desain begini,” ujar Emma.
“Lu mau tinggal di sini?” tanya Theo.
“Ha? Lu sadar ngomong begitu?”
“Ya … kalo gak mau –“
“Mau! Mau banget!” jawab Emma.
“Girang banget,” ucap Theo.
Emma terdiam, ia merasa malu dengan sikapnya beberapa detik lalu.
“Inget, kita gak ada hubungan khusus. Anggap aja kita ini saling menguntungkan, gimana? Gue bakal tanggung semua biaya makan lu selama tinggal di sini.”
“O-oke.”
“Lu bilang ke Yaya, tapi inget! Jangan pernah umbar kalo kita ada hubungan.”
“Oke.”
Theo berdiri dari posisinya, lalu mendekati Emma dengan perlahan. Tangannya mulai menyentuh wajah Emma, dan menengadahkannya perlahan. Ke dua mata mereka saling bertemu, Theo perlahan mendekatkan bibirnya dan menghapus ruang diantara mereka.
Saat ke dua bibir itu bertemu, Theo melumatnya dengan perlahan. Merasakan manisnya bibir milik Emma, Theo seperti merindukan kegiatan itu. Tangan yang sudah terlatih memperlakukan wanita itu, kini kembali beraksi dengan mengeratkan ke dua tubuh mereka. Sementara Emma yang mencoba mengimbangi Theo, berusaha untuk tidak terlalu canggung dan kaku saat melakukan kegiatan itu.
“Ehm,” desah Emma tertahan karena ciuman itu.
Tangan Theo dengan nakal menelusup masuk ke dalam pakaian yang dikenakan Emma. Dan perlahan, ia menemukan gundukan kenyal yang membuat gairahnya mulai naik secara cepat.
“Ah,” desah Emma disela ciuman.
“Lu mau lakuin itu sama gue?” tanya Theo.
Malu untuk menjawab, Emma hanya menganggukkan kepala. Dan saat itu juga Theo membantu Emma melucuti pakaiannya satu persatu. Sampai terlihat jelas tubuh mulus milik cewek yang sejak awal sudah mencintai Theo.
“The … pelan-pelan ya?”
“Iya.”