Chapter 5

1168 Words
Vivi sedang membaca beberapa buku novel, seperti biasa … ia sangat suka karya dari penulis bernama Agatha Christie. Di tepi kolam renang, dengan camilan dan minuman jus buah segar tersedia di meja kecil yang ada di samping kursi santai. Satu persatu makanan itu masuk ke dalam mulut Vivi, hingga ia menyadari sesuatu saat itu. “Astaga! Nape gue lupa buat bilang ke dosen soal tugas kemarin yak?” gerutu Vivi yang langsung mengambil langkah pergi dari area kolam renang di rumahnya. Vivi berjalan ke dalam ruang belajar miliknya, dan mengambil beberapa lembar tugas, lalu menghubungi professor yang mengajar di kelasnya. “Halo, Prof?” sapa Vivi dari telepon. “Ya, ada apa?” “Maaf, untuk tugas akhir yang saya berikan, apa sudah diterima?” tanya Vivi. “Sudah, tugas punya kamu selalu buat saya puas.” “Perasaan Cuma tugas, bisa bikin puas ya Prof?” “Apa?” “Nggak kok, Prof. Becanda. Hehehe.” Ucap Vivi yang memilih mengakhiri sambungan telepon itu. Vivi kembali meletakkan lembaran kertas yang ada di tangannya, lalu ia kembali berjalan ke tepi kolam. “Loh makanan gue mana?” gerutu Vivi sembari celingukan mencari makanannya. “Nyari apa?” tanya Vio yang entah sejak kapan duduk di kursi santai itu. “Eh, ada kecoak dimari! Balikin makanan gue!” seru Vivi. “Males, ini udah punya Vio.” “Gue aduin ke Mama lu! Urus maskapai sana!” “Kak, ada pertemuan sama maskapai tetangga, kakak gak mau gantiin aku?” tanya Vio dengan wajah memelas. “Ogah! Males banget gantiin lu!” “Yaelah, pelit amit.” “Bodo!” Vivi mengambil segelas jus miliknya, lalu berjalan menuju ke dapur. “Bik, tolong simpen di lemari es ya?” “Baik, Non.” Vivi berjalan masuk ke dalam kamar. Langkahnya terasa sangat berat, mengingat kondisi tubuhnya yang tidak begitu baik saat ini. “Bengek hyung … ni badan berat amat sih,” gumam Vivi. Ia pun kembali duduk di sofa yang ada di sudut kamar, lalu kembali meraih sebuah album foto. Terlihat jelas di sana, ada banyak sekali kumpulan foto Vivi saat masih bersama Theo. Foto itu diambil sejak mereka berada di bangku SMP, hingga hari terakhir saat Vivi akan pergi meninggalkan Theo. Ia tidak menyangka telah mengambil langkah yang begitu berbahaya untuk meninggalkan cowok yang selama ini selalu ada untuknya. Beberapa potongan kenangan bersama Theo muncul di kepala Vivi. tiba-tiba airmatanya mengalir tanpa permisi. Dan membuatnya sesegukan memikirkan perasaan Theo saat itu. “Yang … gue kangen.” “Kalo kangen datengin aja napa sih! ribet ama hidup Kakak,” sahut Vio yang kembali mengganggu Vivi. “Apaan sih lo! Pergi sana!” usir Vivi. “Theo kuliah di Inggris kan? Sama Yaya tuh, aku juga mau ke sana ah, biar ketemu Yaya,” tambah Vio yang mendapatkan lemparan sebuah bantalan. “Kak, yakin di sana Theo gak akan selingkuh ama Yaya?” tanya Vio. “Bodo amat!” “Serius bodo amat? Yakin lepasin cowok itu?” “Lu ya! Minta gue kepret!” Vio berlari pergi dari kamar itu. Sementara Vivi masih memandangi album foto yang ada di tangannya. *** Di sisi lain … Theo sedang fokus dengan mata kuliah hari ini. Beberapa kali ia merasa seperti ada yang sedang merindukannya. Tetapi sayangnya, cowok dengan tinggi 180 cm itu tidak begitu peduli dengan perasaan saat ini. “The, balik ini mau ke mana?” tanya Emma. “Mau ke kamar.” “Ngapain?” “Ngerjain lu.” “Ha?” “Kalian yang ada di sana, jika tidak bisa tenang, silakan pergi dari kelas saya!” ujar seorang dosen yang tengah mengajar. “Maaf, Pak.” Mereka memilih untuk diam dan mengikuti kelas sampai selesai. Setelah itu, Emma kembali bertanya pada Theo mengenai rencana sepulang dari kuliah. Tetapi … lagi-lagi Theo menjawab dengan kalimat yang sama. Bingung dengan perkataan Theo, Emma memilih menghubungi Yaya dan pergi terlebih dahulu. Theo yang kini seorang diri di kursi taman, membaca beberapa lembaran yang menawarkan kerja part time. Saat itu, dari belakang seseorang menepuk pundaknya dan duduk tepat di samping Theo. “Lu mau kerja?” tanya orang itu. “Dari pada gue nggak ngapa-ngapain,” jawab Theo. “Iya juga sih, lebih ada manfaatnya kan?” “Iya.” “Lu gak jadian sama Emma? Biar ada temen di apart gitu.” “Nggak, tapi kalo dia mau jadi TTM, gua gak masalah sih.” “Dasar buaya.” “Buaya kalo gak dikasih lobang juga gak akan masuk. Dia sendiri yang kasih buka itu lubang, gimana dong?” “Beruntung lu, udah cakep, tajir, banyak cewek yang suka.” “Gak enak juga sih, dikejar banyak cewek begitu.” “Tapi lu nikmatin semua juga.” “Hahaha … sa ae bhambang!” Theo beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ke arah parkiran. “Mau balik?” tanya temannya. “Yoi.” Theo mengangkat satu tangan. Cowok dengan body atletis itu masuk ke dalam mobil sport miliknya. Dan saat ia akan melajukan mobil itu, terlihat Emma yang mengetuk jendela. “Ada apa?” tanya Theo. “Nebeng boleh gak?” tanya Emma. “Yaya ke mana?” tanya Theo. “Ada urusan ama Dosen.” “Ya udah, masuk gih!” Akhirnya Emma pun masuk ke dalam mobil milik Theo. Selama perjalanan ke apartemen milik Emma, Theo hanya terdiam dan enggan bertanya maupun membahas sesuatu. Akan tetapi tidak dengan Emma yang akhirnya memecahkan keheningan diantara mereka. “The, malem ini mau makan apa? Gue mau masak nih,” ujar Emma menawarkan. “Gak perlu, gue ada janji ama temen.” “Ow.” “Em … gue gak enak gimana ngomongnya.” “Apaan?” “Gue kayaknya nggak akan bisa nerima elu buat jadi pacar. Tapi … kalo lu mau TTM an ama gue, gapapa sih.” “Gue mau!” jawab Emma dengan tegas. “Gue gak mau kasih harapan palsu ke elu, jadi kalo TTM kan kita saling menguntungkan aja.” “Iya deh, gapapa. Asal bisa deke tama lu.” “Secinta itu sama gue?” “Iya, bahkan tanpa adanya hubungan lu mau apa aja dari gue, gue bakal kasih kok.” “Ngeri banget sih.” “Ya mungkin buat lu gue keliatan muraahan, tapi … jujur cuma sama elu aja gue begini.” “Oke lah.” Akhirnya mereka sampai di apartemen Emma, dan cewek itu turun dengan wajah ceria. Theo hanya melambaikan tangannya pada Emma dan kembali mengemudikan mobilnya untuk bisa sampai di apartemen miliknya sendiri. Sampai di apartemen, Theo meletakkan tas di atas nakas. Lalu ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Theo menatap foto yang berukuran besar dengan wajah Vivi di sana. Dengan berat hati, Theo berkata,”maafin gue kalo jajan di luar.” Rasa rindunya sudah tidak bisa lagi ia tahan. Kesepian dan rasa hampa dalam hati Theo membuatnya sangat sulit untuk menerima wajah lain selain Vivi. “Yang, mau sampek kapan lu sembunyi?” tanya Theo pada foto Vivi yang ada di dalam kamar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD