Di sisi lain, seorang cewek dengan berkacak pinggang menunggu kedatangan seseorang di depan rumahnya. Ia terlihat seperti sedang tersulut emosi karena satu hal. Tidak hanya itu, wajahnya pun terlihat memerah.
Tidak lama kemudian sebuah mobil sport berwarne hitam memasuki halaman rumah itu, dan kini seorang cowok keluar dari dalam mobil dan mengangkat tangannya untuk menyapa cewek yang sedang menunggu di depan pintu.
“Kakak ngapain?” tanya cowok itu tanpa rasa bersalah.
Cewek itu melangkah maju lalu mengulurkan tangannya untuk menarik telinga cowok itu. Sontak hal itu membuat si cowok berteriak kesakitan karena ulahnya.
“Kak, sakit! Apaan sih main jewer!” protesnya.
“Lu ngapain bolos?” tanya cewek itu.
“Sorry deh … cuman mampir ke Indo bentar, kak.”
“Apa! Siapa suruh lu ke Indo? Ngapain juga dari Aussy jauh-jauh ke Indo?” tanya cewek itu dengan nada tinggi.
“Vio cuman mau tau, Yaya kuliah di mana. Kakak kan tau sendiri, Vio cinta mati ama Yaya,” ujar Vio berterus terang.
“Ish! Yaya di Oxford! Lagian lu ngapain sampek ke sana? Lu kan bisa tanya ke gue!”
“Kak Vivi emang mau kasih tau Vio? Yakin? Yang ada itu pentungan bisbol kakak pukulin ke Vio.”
“He, anak kangguru! Lu tu ya, jangan bikin kepala sekolah telepon Mama dong! Kalo mau telepon suruh ke gue aja napa sih!”
“Ya … kan emang mintanya wali murid, Kak.”
“Bodo ah, tauk lah. Serah lu! Gue mau kuliah dulu,” ujar Vivi sembari melangkah menuju mobil yang kini sudah berdiri seorang supir pribadinya.
“Kakak gak mau Vio anter?” tanya cowok tinggi dengan senyuman lebar.
“Ogah! Yang ada entar mereka ganggu gue Cuma buat nanya elu siapa!” jawab Vivi sambil menutup pintu mobil.
Vio terlihat tertawa mendengar perkataan sang kakak. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah dan memilih untuk beristirahat setelah semalaman di Jakarta.
Sementara Vivi kini berada di universitas yang ia pilih untuk melanjutkan pendidikannya. Ia memilih jurusan bisnis, dan juga desain. Ya, Vivi mengambil dua jurusan sekaligus, dan ia sangat pandai untuk membagi waktu diantara ke dua mata kuliah itu.
Mobil yang ia tumpangi berhenti di halaman universitas, lebih tepatnya di depan gedung fakultas. Vivi keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju ke kelas. Ia sudah berpesan pada sang supir untuk menunggu di depan atau area parkir. Karena mata kuliah hari ini tidak terlalu lama.
Saat berjalan masuk, Vivi bertemu dengan seseorang yang kini menjadi temannya. Mereka saling menyapa, dan Vivi berjalan bersamanya.
“Vi, apa kamu sudah tahu jika esok ada mata kuliah tambahan?” tanya cewek dengan wajah bule khas orang Australia.
“Iya, aku tahu. Sepertinya besok aku harus membawa beberapa buku tambahan, karena untuk mata kuliah itu perlu banyak buku mengenai bisnis bukan?” sahut Vivi.
“Ya, kau benar sekali. Apa kau ada kelas desain hari ini? karena sepertinya aku tidak melihat ada anak desain sejak beberapa menit lalu,” ujarnya.
“Tidak ada, Lim.”
Chalim adalah seorang cewek yang mulai berteman dengan Vivi sejak masuk di universitas itu. Mereka terlihat akrab karena Vivi yang lebih banyak diam sejak masuk kuliah. Chalim lah yang membuat Vivi kembali ceria dengan gurauan dan juga beberapa perilaku anehnya.
Semenjak meninggalkan Theo, Vivi cenderung lebih banyak diam daripada bicara. Ia yang memutuskan semua itu, dan ia harus menjalaninya saat ini. Meski hatinya terasa berat, tetapi Vivi selalu mencoba untuk tetap kuat.
“Vi, hari ini mau pergi ke café bersama?” tanya Chalim.
“Tidak, aku akan ke dokter setelah selesai mata kuliah ini. Sepertinya beberapa hari ini aku mengalami pusing dan tiba-tiba saja tubuhku lemas, meski dokter sudah memberikan vitamin dan obat-obatan, tetapi … entahlah,” keluh Vivi.
“Vivi, semoga kau selalu kuat dan sehat kembali. Aku sungguh tidak tahu jika rasanya seperti itu,” ujar Chalim.
“Tidak apa, terima kasih karena kau selalu ada di sampingku.”
“Ya, kau orang baik, Vivi. semoga pria itu tidak mengkhianatimu saat bertemu lagi.”
“Entahlah … aku yakin ia sudah memiliki pengganti saat ini.”
“Sudah berapa bulan?” tanya Chalim.
“Hmm … masuk bulan ke enam jika aku tidak salah, karena … waktu itu kita sudah tidak lagi bertemu sebelum acara kelulusan,” jelas Vivi.
“Wow, aku harap ia akan kembali padamu, Vivi.”
“Aku juga berharap dia masih mau menerima aku, Chalim.”
Perbincangan itu terpotong karena ada seorang dosen yang masuk ke dalam kelas. Mereka mengikuti sesi kuliah hari itu dengan baik, dan Vivi juga bisa menangkap setiap mata kuliah yang ia jalani.
Memiliki dua jurusan dalam satu universitas memang tidak mudah, Vivi selalu merundingkan setiap mata kuliah bersama dosen yang bersangkutan, dan mengganti jam kuliah jika bertabrakan. Sampai dua jam berlalu, Vivi dan Chalim ber jalan keluar dari kelas menuju area parkir.
“Aku pergi dulu ya? Kau bisa datang ke rumah mala mini, karena aku tidak bisa pergi,” ujar Vivi.
“Baiklah … aku akan membawa banyak makanan untukmu, semoga pemeriksaan dokter membuahkan hasil yang baik.”
“Amin … terima kasih.”
Vivi pun masuk ke dalam mobil dan sang supir melajukan mobil itu menuju ke sebuah rumah sakit. Saat di dalam perjalanan, ponsel Vivi berdering, dan ada nama sang ibu tertera pada layar ponsel itu.
“Ada apa, Ma?” tanya Vivi.
“Kamu udah marahin Vio?” tanya ibunya.
“Sudah, Vio ada di rumah kok kalo Mama mau mampir,” ujar Vivi.
“Nggak bisa, Mama ada perlu ke New Zeland.”
“Oke.”
“Kamu di mana?” tanya sang ibu.
“Mau ke rumah sakit, Ma.”
“Kenapa? sakit lagi?” tanya ibunya lagi.
“Gak juga sih, Cuma keluhan dikit aja,” ujar Vivi,
“Ya udah, jaga kesehatan. Minum vitamin dan jangan lupa istirahat yang cukup, kurangi dulu mata kuliahnya, kamu itu terlalu lelah kuliah.”
“Iya, Ma.”
Setelah perbincangan singkat itu, tanpa terasa mobil itu telah memasuki area parkir rumah sakit. Vivi berjalan masuk seorang diri ke dalam sana. Dan ia langsung menuju ke ruangan dokter yang dituju.
“Siang, Dok,” sapa Vivi.
“Hai, cantik … masuk.”
“Jangan sering-sering panggil cantik, entar dokter bisa suka beneran sama aku loh,” goda Vivi.
“Hahaha, kalo beneran juga gapapa? Kamunya single kan?”
“Hufh … dokter mah, ganjen.”
“Hahaha, sini baring, aku periksa kondisi kamu. Ada keluhan apa?” tanya sang dokter.
Dokter dengan name tag August adalah seorang dokter yang berasal dari Indonesia, ia sudah bekerja di rumah sakit itu sejak lulus dari kuliah kedokterannya beberapa tahun lalu. Dan kini, dokter muda itu sedang berusaha untuk mendapatkan hati seorang Vivi yang masih belum bisa menerima orang lain selain Theo.
“Kamu kurang makan sayur, sama terlalu banyak makan ice cream atau yang manis-manis kan?” tanya sang dokter.
“Hehehe, makanan wajib sih. Lidah aku pahit kalo gak makan itu,” ujar Vivi beralasan.
“Jangan alasan deh, awas aja kalo masih kamu langgar, aku kirim penjaga buat awasin kamu.”
“Ish … dokter posesif ih.”
“Bukan posesif, Viana … ini semua demi kesehatan kamu juga.”
“Hmm, iya-iya.”
Setelah pemeriksaan itu selesai, Vivi berpamitan dan kembali ke rumahnya.