Chapter 2

1148 Words
Akhirnya Theo mengantarkan Emma sampai di apartemen, tempat tinggalnya bersama Lia. Hanya sampai di lobby apartemen, Theo menghentikan mobil dan membiarkan Emma keluar dari sana. Tetapi, sebelum mereka berpisah, dan Emma keluar dari mobil itu. Theo mengatakan sesuatu yang membuat Emma sedikit terkejut. “Kalo lu mau nunggu gue, gue bakal hargain itu. Sorry kalo udah bikin kesabaran lu habis,” ujar Theo dengan tersenyum. “Gue tau kok, The. Gue bakalan sabar buat nungguin elu.” Emma pun keluar dari mobil Theo dan berjalan masuk dengan langkah yang ringan. Sedangkan Theo sendiri langsung mengemudikan mobilnya menuju apartemen miliknya sendiri. Meski satu universitas, tetapi untuk tempat tinggal memang berbeda. Di sana menyediakan apartemen atau tempat tinggal lain yang sesuai dengan isi kantong para mahasiswa. Saat sampai di dalam apartemennya, Theo terlihat tersenyum saat melihat sebuah foto seorang cewek yang terpasang di dinding kamarnya. “Yang, gue udah balik. Lu lagi ngapain?” gumam Theo dengan berjalan mendekati foto itu. Tangannya menyentuh foto yang berada di dalam frame berukuran 60x80 cm. wajah cewek itu terlihat begitu bahagia saat di dalam foto.  Ya, dia adalah Viana … kekasih yang menghilang begitu saja dari kehidupannya. “Gue minta maaf karena gak bisa move on dari elu.” Selama berada di Inggris, Theo tidak pernah sekalipun meninggalkan Viana dari hatinya. Ia juga tidak pernah mengusir nama dan wajah cewek itu dari ingatannya. Beberapa kali ia selalu salah melihat orang, ia mengira … jika Viana akan mengambil study di Oxford seperti janji mereka sebelum ini. “Gue masih berharap, kalo kita bisa bersama lagi, Yang. Seperti jaman kita putus SMP dulu, lu inget kan? Kita putus beberapa bulan, bahkan sampai kita hampir masuk SMA. Tapi akhirnya semua terungkap dan lu balik lagi jadi milik gue.” Kalimat demi kalimat terucap dari mulut theo. Ia sedang melimpahkan isi hatinya karena takut ada yang bisa menggantikan cewek itu di sana. Setiap merindukan Viana, Theo akan langsung menghubungi seseorang yang pasti bisa ia minta keterangan. Theo mengambil ponselnya dan melakukan sambungan telepon ke luar negeri. Hingga dering ponsel itu berhenti, dan suara cewek dari seberang telepon terdengar begitu akrab di telinganya. “La, ada yang bisa lu infoin kagak?” tanya Theo. “Kak, ikhlasin aja lah … jangan terlalu berharap sama hubungan kali ini. mungkin Kak Vivi benar-benar lepasin lu.” “La, gue masih percaya kalo dia bakal balik lagi,” bantah Theo. “Iya, tapi kapan, Kak? Lu gak mau kan selamanya nunggu kepastian?” “La, gue mohon … bantu gue!” “Kak, sejak kepergian kak Vivi, gue selalu bantu elu. Bahkan Niel juga.” “Lu udah sering dateng ke rmahnya yang ada di komplek elit itu?” “Masih kak, seperti yang kakak suruh. Gue masih lakuin hal itu.” “Makasih ya, La.” “Sama-sama, Kak. Kakak baik-baik ya di sana, please … jangan bikin Lala khawatir.” “Iya, gue baik-baik aja kok.” “Cari cewek lain aja lah kak! Biar lo kagak begini.” “Gue udah tolak lima cewek, La. Semenjak gue datang di Inggris, mulai dari bule sampek yang lokal ada semua.” “Buset!” “Udah lah! Males gue ama cewek begitu, mereka juga Cuma liatin dompet aja.” “Siapa tahu aja mereka sama kayak Kak Vivi.” “Gak ada.” “Ada.” “Gak ada!” “Terserah deh, Kak.” Sambungan telepon itu akhirnya terputus, dan Theo melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Setelah itu, ia memilih untuk masuk  ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. *** Malam ini, Theo ingin pergi berbelanja kebutuhan di dalam apartemennya. Seperti bahan makanan yang instan, dan beberapa minuman untuk temannya membaca dan menonton. Theo sudah siap dengan pakaian casualnya, dan kini ia meraih dompet juga kunci mobilnya. Saat membuka pintu apartemen, Theo dikejutkan dengan kehadiran Emma. “Lu ngapain di sini?” tanya Theo. “Lu mau keluar?” tanya Emma. “Iya, kenapa?” “Ehm, gue kirain lu kagak ada acara.” “Ada apa?” tanya Theo. “Ini, tadi gue bikin makanan ama Yaya,” ujar Emma sembari memberikan sebungkus makanan. “Oh, ya udah … masuk dulu aja,” ajak Theo. Ke duanya masuk ke dalam apartemen, lalu Theo meletakkan makanan itu di atas meja yang ada di dapur. Sedangkan Emma mengikuti langkah Theo hingga sampai di sana juga. “Lu ngapain ikutin gue?” tanya Theo. “Ehm … gue mau siapin makanannya, biar lu bisa makan.” “Emang apaan?” “Kayak makanan Jepang gitu tapi ini koreaan lah.” “Owh, ya udah. Lu siapin aja.” Theo kini memilih duduk di kursi meja makan. Lalu ia mengeluarkan ponselnya dan melihat-lihat social media miliknya. “Ini.” Emma meletakkan sepiring kimbab untuk Theo makan. “Owh ini … thanks.” “Iya,” ucap Emma dengan menarik kursi di samping Theo. “Lu termasuk bertahan juga ya? Padahal gue udah nolak lu secara langsung.” Emma mantap Theo saat mendengar ucapannya. “The, gue tahu kok gimana rasanya sakit hati ditinggalin pasangan, lu cuma ditinggal dan itu cewek masih hidup.” “Iya, sih. Gue denger dari Yaya … kisah lu lebih tragis ya?” “Iya. Cowok gue meninggal gara-gara kecelakaan pas di jalan mau ke acara wisuda sekolah.” “Gue ikutan sedih, tapi … gue salut liu bisa move on.” “Itu udah dari SMP kali, The. Lagian udah empat tahun dia ninggalin gue, dan gue udah jomblo selama itu. Gue perlu waktu lama untuk bangkit.” “Owh, sorry … gue kira itu kisah SMA.” “Gapapa.” “Gue mau belanja, lu mau temenin?” tanya Theo. “Kemana?” “Supermarket.” “Boleh.” Senyum Emma merekah, dan akhirnya mereka pergi bersama menuju pusat perbelanjaan. Theo mengemudikan mobilnya hingga sampai di parkiran supermarket. Lalu mereka turun dari mobil dan berjalan bersama . “Gue ambil keranjang ya?” tanya Emma. “Pake yang itu aja.” Tangan mereka tidak sengaja saling bersentuhan, dan membuat Emma sedikit merasa berbunga-bunga. Theo segera menghindari tatapan mata Emma, dan memilih berjalan untuk memulai kegiatan belanjanya. “Mau beli apaan?” tanya Emma. “Ehm, yang jelas makanan instan, minuman, camilan, roti gitu itu, daging ham, terus … apa lagi ya?” “Gak sehat banget sih, emang lu kagak bisa masak?” “Kagak lah! Kasihan resto ama warung dimari! Entar mereka kagak laku kalo gue bisa masak.” “Jiah … gue bantu deh! Gue yang masakin kalo jam kuliah selesai.” “Eh … lu apaan sih, udah di bilang gue kagak mau.” “Udah diem! Lu itu perlu makanan sehat! Lu mau itu perut kotak jadi buncit?” “Kan gue bisa gym, Bhambang!” “Gym gak bisa jamin ,Manap!” “Buset! Sejak kapan nama bagus Theo jadi Manap?” “Sejak lu panggil gue Bhambang dengan mudahnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD