"Ini sudah hampir larut. Sebaiknya aku pulang sebelum bus terakhir pergi." Ucap Kai berpamitan dengan Jae yang baru saja membersihkan meja makan.
Kai bisa melihat perubahan mood dan raut wajah Jae sejak mereka kembali dari mini market. Wanita itu terlihat pendiam dan kembali melamun seperti sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang Jae pikirkan, tapi bukan meratapi, lamunan itu lebih kegelisahan. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang sedari tadi hanya memangku dan memeluk Joe dengan posesif, seperti takut kehilangan Putra kecilnya.
Joe terbangun karena lapar. Joe juga tidak banyak bicara, mungkin kerena keberadaan Kai. Walaupun sudah seharian penuh mereka bersama, Joe seolah berubah kepribadian menjadi manja jika bersama Jae, dan Kai memahami itu. Kai pun memutuskan untuk kembali ke kantor mengingat tadi siang Sammy kembali menelponnya, dan juga memberi waktu pada Jae yang masih terlihat gelisah.
Ucapan Kai menyadarkan Jae dari lamunannya. "Oh iya, maafkan aku. Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan, mungkin karena kelelahan seharian main bersama." Jae berusaha menunjukkan senyuman walau hanya tipis. Kai tahu itu hanya sebuah alasan agar dirinya tidak khawatir.
Setelah berpamitan, Kai keluar dan menutup pintu. Baru beberapa langkah dari tempat, Kai dikagetkan dengan sosok pria sebayanya yang berdiri di depannya dengan senyum tipis sebagai sapaan.
"Sam?"
***
Emosi yang meningkat drastis membuat kepalanya pening, pikirannya seperti penuh seketika dan ingin mengeluarkan umpatan yang tak berguna. Namun, setelah melihat Joe yang terlelap tenang dengan nafas teratur, marahnya berubah menjadi takut. Kegelisahan kembali melanda hatinya. Ia takut jika Putra satu-satunya yang Jae miliki, akan direbut oleh keluarga Park yang tidak punya hati itu.
Kegelisahan ini sudah lama tidak Jae rasakan semenjak lahirnya Joe ke dunia. Tepat dimana Sungjin membesuk Jae yang baru saja melahirkan keturunan dari pria peruh baya itu. Begitu jelas Jae melihat Sungjin meneteskan air mata, entah itu sedih atau air mata senang melihat sosok bayi yang masih berkulit halus nan merah di dalam box bayi.
Saat itu Sungjin seolah tersentuh dengan bayi yang begitu mirip dengan Putranya. Walaupun masih terlalu kecil tapi seluruh wajah bayi ini seperti cetakan David baru lahir.
Niatan Jae untuk mengusir pun terurung karenanya. Entah malaikat mana yang tiba-tiba merasuki, sehingga Jae memilih berpura-pura tidur karena kelelahan usai melahirkan dengan normal. Padahal hatinya bergerumuh penuh takut bayinya akan diambil, tapi sebagian dari tubuhnya menolak untuk membuka mulut. Seolah memberikan sedikit kesempatan pada Sungjin untuk melihat sang cucu yang baru lahir ke dunia.
Ternyata ketakutan Jae hanya sebatas perasangka. Tak sampai dalam hitungan menit Sungjin pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
Tangan Sungjin begitu ringan ingin menggendong lalu memberikan ciuman di pipi lembut berisi itu. Tapi Kakek dari bayi kecil ini tahu diri sebagaimana perjanjiannya dengan Jae yang masih terbaring lemah seusai melahirkan. Agar wanita itu tidak merasa terganggu yang mungkin sudah tenang tanpa gangguan darinya.
Menurut Sungjin, melihat cucu pertamanya kurang dari 1 menit saja sudah lebih dari cukup mengingat kejahatan yang sudah ia perbuat pada wanita itu dan bayi tidak berdosa ini. Sungjin memanjatkan doanya berulang kali dalam batinnya, demi kebaikan sang cucu. Dengan berat hati ia masuki mobil di kursi belakang. Tanpa memperdulikan supir dan asisten pribadinya yang mungkin saja bisa melihat ia menangis penuh penyesalan melalui pantulan kaca.
*
Setelah kejadian itu Jae berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan membiarkan siapapun mengakui atau merebut Putranya, satu-satunya harta paling berharga yang ia miliki. Membayangkan hal mengerikan itu saja sudah membuat d**a Jae sesak, bagaimana sampai ter—tidak! Itu tidak akan terjadi!
Rasa sesaknya begitu menyakitkan hingga air matanya kembali meruak membasahi pipinya. Ia tidak bisa hidup tanpa Putra kecilnya. Hanya Joe alasan Jae bertahan hingga sekarang menghadapi gejolak kehidupan yang begitu kejam padanya, si batangkara yang menyedihkan.
***
"Ayo kita turun!" ucap semangat Jae menuntun tangan kecil Joe menuruni bus yang baru saja berhenti di depan halte.
Seragam kerja yang dilapisi dengan sebuah mantel biru langit melekat pada tubuh ramping Jae, serta rambut yang diikat kuncir kuda memberikan kesan frees pada wajahnya walau matanya sedikit sembab akibat menangis semalam. Jangan lupakan Joe yang juga menggunakan setelan panjang untuk menghangatkan tubuh kecilnya dengan tas menghiasi punggungnya.
Mereka bergandengan menuju sekolah Joe yang kurang lebih hanya berjarak 100 meter. Sesampai di depan gerbang sekolah, Jae berjongkok menyajarkan pandangan seperti biasa sebelum berpisah untuk beberapa jam kedepan.
Jae memeluk Putranya cukup erat kali ini, Joe merasa ada yang berbeda dari tingkah laku Mommynya yang terus memeluk dan menciuminya hampir setiap jam sejak tadi malam. Bahkan Jae tidur di kamarnya. Bukan tidak suka, hanya membuatnya merasa aneh tapi Joe merasa senang rasa sayang yang ditujukkan sang Mommy padanya.
Sedangkan Jae begitu berat berpisah dengan Joe yang sebentar lagi akan memasuki kelas. Ia masih ingin bersama Putranya mengingat kencan mereka kemarin diganggu oleh Kai. Ya, walaupun Jae cukup menikmatinya yang moodnya tiba-tiba menurun drastis ketika pertemuannya dengan pria b******k—keluarga Park yang sangat ia hindari untuk saling bertemu.
"Apa Mommy baik-baik saja?" tanya Joe khawatir dengan cengkraman tangan kecilnya di ujung baju Jae yang hendak beranjak. Jae kembali berjongkok menatap wajah Putranya dengan alis yang berkerut.
Apa dia bisa merasakan kegelisahanku? Batin Jae. Ia hanya bisa menatap kedua mata Joe bergantian, cukup lama hingga Jae merasakan tangan kecil mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata.
"Kenapa Mommy menangis, apa Joe melakukan kesalahan?" Ucap Joe bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Astaga aku menangis lagi? Jae tak menyangka sudah meluarkan airmata tanpa ia sadari. Bisa-bisanya ia menangis didepan Joe? Jae merutuki dirinya sendiri akan hal ini. Dengan cepat Jae menggeleng lalu memeluk putranya kembali.
"Tidak, sayang. Mommy hanya bersyukur, kau terlahir untuk Mommy."
***
"Selamat pagi, Tuan." Kai membungkukkan badannya sebagai sapaan.
"Duduklah," David yang sudah duduk di single sofa mempersilahkan Kai untuk duduk di sofa panjang di sampingnya.
"Sudah berapa lama kau dipindahkan ke negara ini?" tanya to the point David pada lawan bicaranya.
Mereka sekarang berada di suit room hotel David, lebih tepatnya hotel milik Sungjin—ayahnya sendiri. Kamar yang begitu luas nan elegan yang dicampuri sedikit interior klasik dibagian gorden memberi kesan mewah. Kamar ini dibuat khusus untuk David dari sang Ayah sejak hotel ini pertama kali dibangun.
"Hampir 5 tahun saya ditugaskan di negara ini, Tuan." Jawab Kai dengan tenang.
Percayalah, itu hanya dari luar karena keprofesionalannya dalam bekerja. Jangan tanya jantung Kai yang sudah jelas berdetak dengan cepat. Entahlah, kenapa ia bisa segugup ini berhadapan dengan David. Mungkin ini awal tanda dimana ia akan berpisa—tidak, lebih tepatnya Jae yang akan menjauhi dirinya. Sungguh Kai belum siap wanita itu memandang dirinya tidak suka, atau mungkin menjadi benci nantinya.
David menyerahkan sebuah map biru pada Kai. Ia pun membukanya tanpa ragu. Tak ada ekspresi terkejut atau apapun, Kai hanya memperlihatkan wajah datar seolah tidak terpengaruh dengan isi map yang ada di tangannya. Kai sudah memperkirakan ini akan terjadi,cepat atau lambat David pasti akan mengetahuinya.
"Kau mengenal mereka, bukan?"
"Iya, saya mengenal mereka."
"Karena aku tidak ingin berbasa-basi, tolong jelaskan semua apa yang terjadi, dan apa yang sudah Ayah sembunyikan selama ini. Aku perlu penjelasan yang lebih rinci darimu. Aku harap kau mengatakan semuanya dengan jujur tanpa ada yang ditutupi." David menatap serius wajah Kai yang masih terlihat tenang.
"Jika benar dia adalah anakku... aku merasa seperti pria b******k yang tidak bertanggung jawab." Sambung pelan David yang masih bisa terdengar oleh Kai. David menghela nafas lalu perlahan menurunkan padangan.
David belum mendengar penjelasan apapun dari Kai, namun entah mengapa hatinya mengatakan kalau anak laki-laki yang bernama Joevanca itu adalah darah dagingnya sendiri.
Apa ini yang dinamakan firasat orangtua pada anaknya?
***
"Anak-anak, tulis nama lengkap kalian dan nama kedua orang tua beserta pekerjaanya yaa! Tulis di kertas yang akan Mam Desy bagikan, okay?" Desy mulai membagikan kertas pada anak-anak didiknya yang berada di kelas.
"YES, MAM!" Ucap para anak-anak serempak.
"Hallo, aku Ariana Lancaster. Nama Papa aku Alvino Lancaster, dia bekerja sebagai pemadam kebakaran. Aku merasa bersemangat setiap kali melihat Papa bergegas memenuhi panggilan tugasnya. Aku bangga karena Papa menolong orang-orang, seperti Super hero!" Senyum bangga anak perempuan ini menunjukkan pada temen-teman yang memperhatikannya di depan kelas.
"Kalau Mama hanya di rumah membuat baju dengan mesin jahitnya. Kadang Mama juga membuatkanku baju yang cantik, tapi lebih sering membuat baju orang-orang yang meminta Mama membuatkan untuknya. Oh iya! Aku hampir lupa menyebutkan nama Mama, Hazelyn Water. Thank you!" Sambung Ariana dengan senyum nada centilnya di akhir kalimat.
Inilah tujuan Desy memerintahkan anak-anak muridnya untuk merasa bangga menceritakan tentang kedua orangtua mereka yang sudah berjuang demi membahagiakan sang buah hati.
"Okay Ariana, terima kasih sudah menceritakan tentang orang tuamu, ya sayang. Sekarang Ariana boleh duduk," Ucap Desy dengan senyum manisnya. "Ayo selanjutnya, Joevanca." Sambungnya.
Tanpa ragu ataupun malu, Joe berdiri lalu berjalan ke depan kelas menghadap teman-teman kelasnya dengan wajah andalannya, tanpa ekspresi. Joe memang jarang menunjukan emosionalnya kepada orang lain, ia tergolong anak yang pendiam dan itu membuat dirinya tidak banyak memiliki teman sebayanya. Dia hanya akan berekspresi dengan orang yang ia kenal, terutama pada Mommynya.
Teman kelasnya hanya satu, yaitu Ariana yang baru saja maju ke depan menceritakan keluarga kecilnya tadi. Mereka mempunyai nasib yang sama, tidak kaya seperti teman kelasnya yang lain, penuh dengan fasilitas mewah.
"Namaku Joevanca. Nama Mommy-ku adalah Jaevyna. Dia bekerja menjadi seorang koki di salah satu restaurant pizza dekat taman kota. Mommy selalu membawakan makanan kesukaanku saat dia pulang bekerja. Walaupun wajah Mommy terlihat begitu lelah sehabis bekerja, dia selalu menyempatkan untuk bermain bersamaku dimalam hari. Aku sangat senang dan bersyukur aku adalah anak Mommy. Love you Mommy." Joe tersenyum, walaupun tipis terlihat jelas bahwa ia cukup puas dengan cerita singkatnya.
Joe tidak suka basa-basi. Dia menjelaskan semuanya dengan lancar. Teman-teman yang memperhatikannya cukup aneh melihat Joe tersenyum yang sangat jarang ia tunjukan. Ucapan Jaevyna tadi pagi juga berlaku untuk dirinya. Bersyukur telah lahir dari sebagai anak Jae. Terlihat bangga dengan ceritanya yang begitu tulus dan sesederhana itu Joe berceritakan tentang Jae.
Desy ikut tersenyum hangat membuat matanya berkaca-kaca. Tak lama setelahnya Joe menyucapkan terima kasih sebagai penutup. "Hey, Joevanca sayang. Kamu belum menceritakan Daddy-mu."
"Daddy?" Joe terdiam berpikir sejenak, 'daddy' kata itu cukup asing di telinganya.
Ia tidak mempunyai siapapun lagi selain Mommynya. Joe hanya tahu Jae satu-satunya keluarga yang ia miliki, selama ini mereka hanya hidup berdua. Tidak pernah sekalipun Jae menyinggung apapun yang berbau tentang 'daddy' pada Joe. Walau hati dan mulut kecil Joe mempunyai niatan untuk bertanya.
***
David terdiam dengan berbagai macam pikiran memenuhi kepalanya. Pandangan matanya tidak lepas dari map biru yang terbuka sejak mendengar penjelasan dari Kai, satu jam yang lalu. David masih setia duduk di single sofanya.
Selama mendengarkan, David tidak bisa menutupi rasa terkejut dan kecewanya yang bercampur menjadi satu terhadap sang Ayah melakukan kekejaman dibelakangnya selama ini. Menutupi semuanya dengan alasan untuk kebahagiaan dirinya. Itu memang terdengar mengharukan. Tapi tidak dengan cara Sungjin yang tak punya hati.
David masih tak percaya Ayah yang selalu ia banggakan selama ini menutupi kecerobohan dirinya dengan cara yang begitu kejam memindahkan seorang wanita hamil keluar negeri. Padahal yang dikandung wanita itu adalah keturunannya sendiri—cucu Sungjin sendiri. David tidak habis pikir, apa yang ada di dalam kepala Ayahnya, sampai melakukan hal setega itu.
Apa hati Ayahnya memang sekeras batu selama ini, atau tak punya sama sekali? Kenapa baru sekarang Sungjin memberi tahu hal serius ini padanya?
David pikir, apapun keputusan Sungjin adalah suatu yang benar dan harus ia turuti. Mengingat sang Ayah bersikeras menjodohkannya agar David tidak terjatuh lebih dalam lagi pada Yasmine—yang sudah membutakannya akan cinta. Dan membuat David cepat berpindah hati pada istrinya—Yura.
Kebingungan masih melanda David, apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui semuanya? Yang jelas David harus bertanggungjawab menjadi seorang Ayah. Ya, fakta yang baru ia ketahui adalah dirinya seorang Ayah. Memiliki seorang anak yang begitu mirip dengannya secara fisik. David akan berusaha menjadi seorang Ayah yang baik, setelah kebrengsekan yang ia perbuat pada Putranya, hingga tidak mengetahui bagian dari dirinya hidup di negara orang.
Jangan lupakan rasa bersalah David akan hal ini. Ia merutuki dirinya sendiri betapa bodohnya bisa lupa setelah meniduri seorang wanita, dan itu semua karena alkohol. Oh ya Tuhan! David bersumpah tidak akan mengonsumsi minuman beralkohol lebih dari satu botol. Lebih dari itu, ia akan melupakan semuanya. David akan kehilangan kesadaran secara total dan melupakan semua yang terjadi semalam tanpa tersisa ketika bangun dipagi hari.
Ting ting!
David tersentak mengembalikan kesadarannya dari perdebatan di kepalanya. Ternyata ia masih duduk di suit roomnya sejak tadi. David menatap layar yang menyala pada benda tipis persegi panjang itu diatas meja, menandakan sebuah pesan masuk. Dengan malas David meraih benda itu untuk meliat isinya.
From: +1082-6868-4067
Chanyeol.. apa kau sudah berada di New York?
David mengertutkan kening ketika melihat isi pesannya. Nomor itu memang terlihat tak asing bagi David, namun tidak ada alasan untuk ia simpan karena David memang lupa siapa pemiliknya.
Tiba-tiba ia teringat pada wanita pilihan Sungjin yang beberapa akhir ini selalu menghubunginya, sang Ayah seperti berniat menjodohkan dirinya lagi. Semoga saja dirinya salah menebak. Sudah terlalu sering David menolak wanita-wanita pilihan Sungjin, dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk menghandle perusahaan. Lebih tepatnya menyibukkan diri setelah kepergian sang istri beserta calon anaknya.
David mengacuhkan pesan itu dan kembali pada map biru yang diraihnya. Ia menghela nafas, "Aku akan berusaha melakukan yang terbaik, sebagai orangtua." Gumamnya yakin sambil menatap selembar foto anak laki-laki ditangannya sambil mengamati.
Ia bertekad akan menjaga Putranya, tapi tidak seperti cara sang Ayah padanya. David berharap tidak akan merasakan kehilangan lagi.
Ya, David rasa ini adalah kesempatan kedua dari Tuhan. Menjadi seorang Ayah yang tertunda sebelumnya.