Orang yang Selalu Ada

1109 Words
Sementara itu, di tempat lain yang tentunya jauh dari FISIP, Fakultas Kedokteran (FK) UI sedang menjalankan agenda OSPEK-nya sendiri. Area kampus FK UI tidak kalah sibuk, dipenuhi mahasiswa baru yang mengenakan seragam khas mereka. Panitia yang terlihat sibuk memberi arahan, suasana yang penuh semangat dan ketegangan ini menjadi hal yang lumrah untuk hari pertama orientasi. Di antara keramaian itu, seorang pemuda berdiri sedikit terpisah dari kelompoknya. Aldo, mahasiswa baru jurusan Kedokteran Umum, terlihat menatap layar ponselnya dengan raut wajah penuh konsentrasi. Jarinya bergerak cepat di atas layar, mengetik pesan untuk seseorang yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Adel. Pesannya singkat, penuh perhatian, namun mencerminkan kegelisahannya: Del, kamu di mana sekarang? Gimana hari pertama OSPEK-nya? Ada masalah? Namun, setelah beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Aldo menghela napas, menatap layar ponselnya dengan cemas. Ia tahu Adel adalah orang yang kuat, tetapi ia juga tahu bahwa hari ini pasti tidak akan mudah baginya. Dengan segala gosip dan stigma yang menempel pada namanya, Aldo khawatir bagaimana orang-orang di sekitar Adel memperlakukannya. Seorang teman dari kelompok OSPEK-nya menyenggol bahunya, menarik perhatian Aldo. “Bro, fokus dulu lah. Kita mau dikasih tugas sama kakak tingkat, tuh!” kata temannya sambil menunjuk ke arah panitia yang mulai memberikan instruksi. Aldo tersenyum kecil dan mengangguk, mencoba mengalihkan pikirannya. Namun, tak sampai beberapa menit, ia kembali membuka ponselnya, memastikan apakah ada pesan masuk dari Adel. Tidak ada. Ia kembali mengetik: Aku tahu kamu mungkin sibuk atau malas bales, tapi kalau ada apa-apa, kasih tahu aku, ya. Aldo menghela napas panjang. Kenangan pertemuannya dengan Adel kembali melintas di benaknya. Ia tahu bagaimana sulitnya hidup Adel sejak kasus itu mencuat. Ia tahu betapa kuatnya gadis itu berusaha mempertahankan martabatnya di tengah badai hinaan dan tuduhan. Tetapi hari ini, Aldo merasa lebih khawatir dari biasanya. Ia tidak bisa ada di dekat Adel, tidak bisa memastikan sendiri apakah dia baik-baik saja. Adel sudah lama tak bertemu orang sebanyak itu. Ia takut gadis itu cemas. Beberapa jam kemudian, saat istirahat siang, Aldo kembali mengirim pesan, kali ini lebih ringan untuk mencoba mencairkan suasana: Gimana makan siang? Jangan lupa makan, ya. Biar tetap kuat. Nanti malam aku telepon ya? Namun, seperti sebelumnya, pesan itu tidak mendapatkan balasan. Aldo mulai merasa gelisah. Ia ingin sekali pergi ke FISIP, melihat langsung keadaan Adel. Namun, jadwal OSPEK FK terlalu padat, dan ia tidak mungkin meninggalkan acara begitu saja. Pikirannya terus melayang ke Adel, membayangkan bagaimana tatapan dan bisikan orang-orang di FISIP terhadapnya. Ia tahu Adel akan bersikap tenang dan tegar seperti biasa, tetapi Aldo juga tahu bahwa di balik ketenangan itu, pasti ada beban yang berat. Dalam hati, Aldo berjanji bahwa ia akan menemui Adel setelah OSPEK hari ini selesai, apapun yang terjadi. Ia ingin memastikan bahwa Adel baik-baik saja, bahwa ia tidak sendirian menghadapi semuanya. Bagi Aldo, Adel bukan hanya teman. Ia adalah seseorang yang pantas diperjuangkan, seseorang yang tidak seharusnya berjalan sendirian dalam menghadapi dunia. Hari menjelang senja, langit Jakarta mulai berwarna jingga keemasan. Aldo berjalan tergesa-gesa keluar dari Gedung Kuliah (GK) UI, lelah setelah seharian penuh mengikuti agenda OSPEK. Ranselnya menggantung di satu bahu, sementara tangannya masih memegang ponsel, berharap ada notifikasi dari Adel. Namun, layar ponselnya tetap kosong, membuat kekhawatirannya semakin bertambah. Ia menghela napas panjang sambil melirik jam tangannya. 17.45. Hari sudah hampir gelap, dan ia masih harus berjalan kaki ke tempat parkir mobilnya yang cukup jauh dari area FK UI. Sebagai mahasiswa baru, membawa kendaraan pribadi ke area fakultas memang tidak diizinkan. Jadi, Aldo terpaksa memarkir mobilnya di luar kampus, di sekitar area Stasiun Cikini. Langkahnya cepat menuruni tangga menuju pintu gerbang utama kampus, bergabung dengan arus mahasiswa yang berbondong-bondong pulang. Di sepanjang jalan, Aldo melewati deretan pohon-pohon rindang di dalam area UI, yang mulai gelap diterangi lampu-lampu jalanan kampus yang baru menyala. Suasana di sini masih terasa nyaman meski suara kendaraan mulai terdengar dari kejauhan. Namun, semua ketenangan itu lenyap begitu ia tiba di area Stasiun Cikini. Suasana di sini sangat kontras—riuh, penuh, dan kacau. Jalanan depan stasiun dipenuhi kendaraan yang saling berebut ruang di tengah kepadatan lalu lintas sore. Klakson kendaraan bersahutan, ditambah suara bising dari pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan di pinggir jalan. Sepeda motor dan bajaj berlomba-lomba mencari celah untuk menembus kemacetan, sementara para pejalan kaki menyelinap di antara antrian kendaraan. Aldo menyeberangi jalan dengan hati-hati, mencoba menghindari motor yang melaju terlalu dekat. Di kepalanya, ia hanya ingin segera sampai ke mobilnya, lepas dari hiruk pikuk ini, dan mungkin akhirnya mendengar kabar dari Adel. Tapi langkahnya terhenti ketika seorang pengamen kecil mengetuk pelan lengannya, menawarkan lagu dengan suara lirih. Aldo tersenyum tipis dan merogoh kantongnya, menyerahkan beberapa lembar uang sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan beberapa menit, ia akhirnya sampai di tempat mobilnya diparkir, sebuah lahan parkir kecil yang berada di belakang sebuah warung kopi tua. Aldo masuk ke mobilnya, menghidupkan mesin, dan sejenak duduk diam sambil memejamkan mata. Napasnya diatur, mencoba mengusir penat yang menumpuk sepanjang hari. Tapi pikirannya masih terpaku pada Adel. “Kenapa dia nggak balas, sih?” gumamnya pelan. Ia membuka ponselnya lagi, berharap ada notifikasi masuk. Namun layar tetap kosong. Dengan perasaan sedikit kesal bercampur cemas, Aldo memasukkan ponselnya ke dashboard, menginjak pedal gas, dan mulai menyusuri jalanan sore Jakarta. Seperti biasa, jalanan sekitar Cikini menjelang Magrib adalah pemandangan yang membuat frustrasi. Kendaraan mengular tanpa akhir, dengan lampu merah yang terasa menyala lebih lama dari biasanya. Aldo terjebak di antara antrean panjang mobil dan motor, sementara bunyi klakson dari pengemudi yang tak sabar terus menggema di telinganya. Di tengah kemacetan itu, matanya melirik ke sisi jalan. Ia melihat pedagang kaki lima menjual martabak dan roti bakar, para pembeli yang mengantre dengan sabar meski dikelilingi debu kendaraan. Beberapa orang bersandar di pagar stasiun, menunggu angkutan umum yang tak kunjung tiba. Namun, meski pemandangan itu begitu sibuk, pikiran Aldo tetap tertuju pada Adel. Ia membayangkan Adel duduk sendirian di bangku koridor FISIP, dengan bekal dari ibunya. Ia bertanya-tanya apakah gadis itu mendapatkan perlakuan buruk hari ini. Apakah ada yang menyapanya? Apakah Adel baik-baik saja? Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, Aldo akhirnya tiba di apartemennya. Hari sudah gelap, dan adzan Magrib sudah lama berkumandang. Aldo memarkir mobilnya di basement, lalu naik ke unitnya di lantai atas. Begitu sampai, ia langsung duduk di sofa, membuka ponselnya lagi. Adel, kamu nggak apa-apa kan? Kalau ada apa-apa, please kasih tahu aku. Ia mengetik pesan itu dengan cepat, lalu mengirimnya. Kini, yang bisa ia lakukan hanya menunggu. Meski lelah dan tubuhnya terasa berat, Aldo tahu ia tidak akan bisa benar-benar tenang sampai mendengar kabar dari Adel. Adel? Baru mengaktifkan ponsel usai solat magrib. Ia menatap kosong semua pesan dari Aldo. Lelaki ini termasuk yang setia berada di sampingnya dan selalu percaya apapun yang terjadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD