Hari itu, Athaya terus memperhatikan Adeeva. Ia merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya, meski ia belum bisa benar-benar memahami apa itu. Ketegangan yang muncul saat pandangan mereka bertemu di aula tadi masih menghantui pikirannya. Dia penasaran, namun sekaligus merasa seolah-olah ada tembok tak terlihat yang membatasi mereka berdua.
Athaya mengamati Adeeva di sekolah, terutama saat di kantin. Ia duduk di salah satu meja bersama teman-temannya, berbincang-bincang riang. Adeeva berada di meja sebelah, tampak akrab dengan teman-temannya juga. Mereka bercanda, tertawa, dan sesekali Adeeva melemparkan senyum cerah. Athaya bisa melihat betapa perhatiannya gadis itu terhadap teman-temannya, bagaimana ia mudah beradaptasi dan membuat orang-orang di sekitarnya nyaman.
Mata Athaya tetap mengikuti gerak-gerik Adeeva dari kejauhan. Bahkan ketika Adeeva berjalan bersama teman-temannya menuju kantin, ada perasaan aneh dalam dirinya. Perasaannya semakin bertambah rumit. Dia merasa tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang Adeeva, tapi juga enggan menunjukkan ketertarikannya itu.
Saat Adeeva dan teman-temannya melewati kantin, Athaya berpura-pura tidak memperhatikan, sibuk dengan ponselnya. Tapi matanya tak bisa menahan diri untuk melirik sekilas, memperhatikan bagaimana Adeeva tertawa bersama teman-temannya, bagaimana ekspresi wajahnya yang ceria. Ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh-seolah-olah dia melihat sisi lain dari gadis itu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Adeeva memang cantik, tetapi bukan hanya itu yang menarik perhatian Athaya. Ada kekuatan dalam dirinya-kekuatan yang tak ia duga. Meskipun suasana sekolah baru, dengan berbagai tantangan dan tekanan sosial, Adeeva tampak begitu percaya diri dan nyaman. Dia terlihat kuat, seperti tidak mudah terpengaruh oleh apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Bagi Athaya, hal itu adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Athaya masih merasa bingung dengan perasaannya. Ia ingin tahu lebih banyak, ingin memahami siapa sebenarnya Adeeva, gadis yang seolah-olah menantangnya untuk membuka diri lebih dalam. Namun, perasaannya juga canggung, takut akan risiko yang mungkin muncul jika ia terlalu dekat dengan Adeeva. Dia tahu perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuanya antara mereka belum terelakkan, tapi bagaimana jika itu bukanlah jalan yang ia pilih?
Di saat yang sama, Adeeva tak menyadari tatapan Athaya yang terus mengikutinya. Ia sibuk dengan dunia kecilnya sendiri-bersama teman-temannya, mengikuti pelajaran, dan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di SMA. Adeeva tidak memiliki banyak pikiran tentang Athaya atau perjodohan yang telah dipaksakan itu. Ia juga belum tahu soal perjodohan itu. Baginya, sekolah baru adalah kesempatan untuk menemukan dirinya sendiri, menjalin persahabatan baru, dan mengisi hari-harinya dengan lebih banyak pengalaman.
Namun, Athaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari Adeeva. Ada semacam magnet di antara mereka, meskipun mereka belum benar-benar saling mengenal. Athaya merasa penasaran, tergerak untuk mendekati gadis itu lebih jauh. Tapi bagaimana caranya, sementara perasaannya masih begitu rumit? Apa yang harus ia lakukan untuk mengetahui lebih banyak tentang Adeeva tanpa melibatkan perasaan yang lebih dalam dari sekedar rasa ingin tahu?
Kembali ke dalam kelas setelah makan siang, Athaya memutuskan untuk tidak memperhatikan Adeeva lagi. Ia perlu mengalihkan perhatiannya, mencoba untuk tidak terjebak dalam perasaan ini. Tapi setiap kali Adeeva terlihat di sekitar sekolah, baik di koridor, kantin, atau aula, ia tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang. Ada sesuatu tentang Adeeva yang terus membuatnya tertarik-sesuatu yang misterius, yang belum terungkap sepenuhnya, dan itu mengganggu pikirannya.
Ketegangan antara mereka semakin terasa, meski mereka belum benar-benar berbicara atau berinteraksi. Adeeva yang sibuk dengan dunia barunya dan Athaya yang terus mengamati dari jauh, mereka seperti dua garis yang berpotongan dalam orbit masing-masing. Mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar, atau mungkin hanya sebuah fase dalam perjalanan perkenalan mereka di SMA ini. Athaya merasa, entah bagaimana, bahwa hidupnya tiba-tiba menjadi lebih kompleks sejak kehadiran Adeeva.
Di hari-hari berikutnya, mereka terus menjalani rutinitas sekolah tanpa banyak interaksi. Adeeva tetap sibuk dengan teman-temannya, menghadapi pelajaran baru, sementara Athaya masih mengawasi dari jauh. Setiap tatapan mereka seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Namun, tidak ada pembicaraan nyata yang terjadi di antara mereka berdua. Hanya ada ketegangan yang tak terdefinisikan-ketegangan yang Athaya tidak bisa mengabaikannya, yang terus mengusiknya, dan yang membuatnya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Ah ini hanya benaknya saja. Nyatanya, Adeeva memang tak menganggap apa-apa. Kenapa? Ya karena ia bahkan tak mengenal sosok Athaya. Hanya Athaya yang mengenalnya.
Malamnya, Athaya duduk di kamarnya, masih terbayang-bayang pertemuan mata dengan Adeeva di sekolah tadi siang. Ketegangan yang dirasakannya sejak pagi membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Di tengah pikirannya yang kacau, ponselnya berbunyi-telepon dari ibunya.
"Ish, Ma. Boleh tak tunggu dulu? Esok pagi sajalah. Letih ni," jawab Athaya malas-malasan saat ibunya menelepon.
"Kenapa ni, anak? Dah lama tak dengar cerita pasal sekolah. Ada jumpa b***k perempuan tu tak? Si Adeeva?" tanya ibunya dalam bahasa Melayu Malaysia, penuh penasaran. Hanya ingin bertanya apakah anaknya sudah bertemu dengan Adeeva?
Athaya menarik napas dalam-dalam, lalu menggelengkan kepala. "Tak ada apa-apa la, Ma. Sekolah biasa-biasa aje. b***k perempuan tu... jelek. Aku tak suka. Boring je tengok dia."
Hahahahaa. Tentu saja ibunya dongkol. Dari fotonya saja cantik kok dibilang jelek?
"Kenapa kau kata macam tu? Beautiful macam tuh, kau kata jelek?"
Athaya menghela napas lagi, merasakan sedikit beban. Ia tahu ibunya berharap banyak dari perjodohan ini, tapi Athaya benar-benar tidak peduli. "Boring aje, Ma. Tak ada apa-apa pun," jawabnya lagi, sedikit ketus.
Di sisi lain, ibunya terdengar lelah. "Sudahlah, tak payah nak cakap banyak. Cuma ingat, perjodohan tu penting. Kau jangan abaikan, nanti ayah kau marah, Thaya."
Athaya hanya mengangguk, meskipun ibunya tak bisa melihat. "Iya Ma, aku tahu," jawabnya singkat.
Mereka kemudian berbicara tentang hal-hal biasa-keadaan sekolah, tugas-tugas, dan tentang temannya di sekolah. Athaya tidak menyebutkan apa-apa tentang Adeeva lagi. Ia tidak ingin mengangkat topik itu lebih jauh. Bagi Athaya, sekolah hanyalah rutinitas biasa. Tidak ada yang istimewa, apalagi perjodohan yang dipaksakan itu.
Adeeva di sekolah, dengan kepercayaannya, sikap kuat, dan senyumnya yang cerah, terus menghantui pikirannya. Namun, ia memutuskan untuk tidak memikirkan lebih jauh. Mungkin perasaan ini hanya sementara-ketertarikan aneh yang tidak perlu terlalu dipikirkan.
Tapi malam itu, saat berbicara dengan ibunya, Athaya merasa sedikit bersalah. Ia tahu ibunya berharap lebih dari sekadar ejekan tentang Adeeva. Perasaan canggung dan penasaran yang ia rasakan tentang Adeeva tidak bisa ia ceritakan kepada ibunya. Ia memilih untuk menyembunyikan perasaannya-semua tentang ketertarikannya pada gadis yang mungkin tak akan pernah ia pedulikan.
Setelah telepon, Athaya berbaring di ranjang, mencoba menenangkan pikirannya. Adeeva terus mengusiknya, seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Meskipun ia memutuskan untuk tidak peduli, ada bagian dari dirinya yang tetap tertarik. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua, entah bagaimana perasaan ini bisa berkembang, Athaya tidak tahu. Ia hanya tahu, hidupnya tidak akan pernah sama sejak Adeeva muncul di sekolahnya. Eh atau ia yang muncul di sekolah itu?
***