Ali mematut dirinya di cermin besar yang ada di lobi hotel. Setelan jas biru gelap dengan dasi hitam rapi membuatnya terlihat lebih dewasa, lebih percaya diri. Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi cincin berlian berkilau yang telah ia pilih dengan hati-hati beberapa minggu lalu. Ini adalah momen yang sudah ia persiapkan dengan penuh semangat. Semua harus sempurna malam ini.
Ia berdiri di balkon Sky Lounge, tempat paling tinggi di hotel itu, dengan pemandangan malam kota Jakarta yang membentang luas di depan matanya. Lampu-lampu jalanan terlihat seperti kunang-kunang kecil yang bersinar di kejauhan, membentuk pola acak yang berkilauan. Gedung-gedung tinggi berdiri megah di bawah langit malam yang gelap, dihiasi oleh taburan bintang yang sesekali mengintip di sela-sela awan tipis. Angin malam yang sejuk berembus lembut, membawa aroma dedaunan dari taman kecil di bawah sana.
Ali memandang ke sekeliling. Meja kecil di ujung balkon itu sudah dihias dengan indah: lilin-lilin kecil menyala di atas meja, memancarkan cahaya hangat yang berpendar lembut, sementara kelopak mawar merah tersebar rapi di atas taplak putih. Vas kaca tinggi di tengah meja berisi bunga lili putih, bunga kesukaan Senja.
Ia membayangkan bagaimana Senja akan tersenyum ketika melihat tempat ini. Betapa ia akan terkejut dan mungkin terdiam sejenak, seperti kebiasaannya ketika terlalu emosional. Ali bisa membayangkan mata Senja yang berbinar saat ia membuka kotak kecil itu dan menyampaikan pertanyaannya. Pikiran itu membuat senyuman kecil muncul di wajahnya, meskipun di hatinya ada sedikit rasa gugup yang tak bisa ia abaikan.
Langit malam semakin gelap, tapi cahaya dari balkon itu tetap memancarkan kehangatan. Ali memilih tempat ini bukan tanpa alasan. Ia tahu Senja menyukai ketinggian. Baginya, ketinggian memberikan rasa kebebasan, seolah ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia di bawah sana. Ali berharap, malam ini, ketinggian itu akan menjadi tempat di mana mereka memulai sesuatu yang baru—sebuah perjalanan yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka jalani sebelumnya.
Ia melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, lebih lambat dari perkiraan awal. Tapi ia tidak keberatan menunggu. Untuk momen seperti ini, ia tahu kesabaran adalah bagian dari persiapannya. Ia merapikan jasnya sekali lagi, memastikan semuanya tampak sempurna. Angin yang berembus membuat dasinya sedikit bergoyang, tapi ia tak peduli. Fokusnya hanya pada satu hal: membuat malam ini menjadi malam yang tak terlupakan bagi Senja.
Suara samar musik lembut terdengar dari speaker kecil di sudut balkon, melengkapi suasana. Lagu pilihan Ali adalah lagu favorit Senja, melodi akustik yang tenang dan menenangkan, seolah mengiringi malam itu dengan sentuhan magis.
Ali menghela napas panjang, menatap lagi ke arah kota yang gemerlap di bawahnya. Ia merasa segala persiapan ini bukan sekadar untuk melamar. Bagi Ali, ini adalah caranya untuk menunjukkan bahwa ia telah memikirkan semuanya dengan hati-hati. Bukan hanya tentang malam ini, tapi juga tentang kehidupan mereka setelahnya. Komitmen itu bukan sekadar janji, melainkan tindakan nyata yang ia ingin tunjukkan sejak saat ini.
“Semoga ini menjadi malam terbaik untuknya,” gumamnya pelan, sembari menggenggam kotak kecil itu lebih erat di tangannya. Dalam diam, ia melayangkan doa agar semuanya berjalan lancar. Di bawah sinar rembulan yang memantul di kaca-kaca gedung di sekitarnya, Ali berdiri dengan penuh keyakinan bahwa malam ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidupnya dan Senja.
Ia melihat hapenya dan belum ada kabar apapun dari Senja.
"Apa lupa ya?"
Ia memutuskan untuk menelepon, tapi tetap saja tak diangkat. Akhirnya, memutuskan untuk keluar dari sana dan pergi menuju kosan Senja. Namun tiba di sana, anak-anak di sana malah bilang Senja belum pulang.
"Apa lembur ya?"
Ia tahu kalau Senja sering pulang malam. Cewek itu rajin menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, ia bergerak ke kantor. Tiba di sana ya langsung bertanya pada satpam yang berjaga di depan. "Maaf, Pak, Senja sudah pulang belum ya?"
Satpam itu menggeleng. "Sepertinya belum, Pak Ali. Biasanya kalau lembur begini suka selesai tengah malam."
Ali menghela napas panjang. Ia menepis rasa khawatir yang perlahan muncul di dadanya. Mungkin Senja sedang sibuk dengan pekerjaan, pikirnya. Ia memutuskan untuk menunggu.
Malam semakin larut, dan suasana kota Jakarta yang biasanya berisik mulai beranjak hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas di kejauhan, mengisi keheningan dengan gemuruh samar. Lampu-lampu jalan di depan kantor bersinar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Udara malam terasa hangat, tapi tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupi hati Ali.
Di dalam lobi kantor, suasananya bahkan lebih sunyi. Pendingin ruangan berhembus pelan, menciptakan desis halus yang hampir tidak terdengar. Beberapa kursi di area tunggu tampak kosong, hanya ditemani oleh pot tanaman hijau di sudut ruangan. Lampu-lampu di langit-langit memancarkan cahaya putih yang dingin, membuat Ali merasa semakin canggung berada di sana seorang diri.
Ia duduk di salah satu kursi, mencoba mengusir rasa lelah yang mulai merayap ke tubuhnya. Jasnya yang rapi kini terasa lebih berat, dasinya sedikit longgar karena sudah ia kendurkan sejak satu jam lalu. Jam di tangannya terus berdetik, jarum panjangnya perlahan mendekati pukul 11.45 malam. Waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya, seolah-olah malam ini memang sengaja mempermainkannya.
Ali tidak bisa benar-benar diam. Sesekali, ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan meja resepsionis yang kosong. Sepatu pantofelnya menghasilkan suara ketukan kecil di lantai marmer, menggema lembut di ruangan yang sepi. Ia melirik ke pintu utama berkali-kali, berharap pintu itu segera terbuka dan menunjukkan sosok yang telah ia nanti sejak sore tadi.
Beberapa kali ia mencoba menenangkan diri. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, lalu dikeluarkan lagi. Ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa layar yang kosong dari pesan atau panggilan baru. Tidak ada apa-apa. Tidak ada kabar dari Senja. Ali menggigit bibir bawahnya pelan, menahan rasa gelisah yang semakin sulit ia kendalikan.
Dia duduk lagi, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan kedua tangan bersedekap. Tatapannya kosong, mengarah pada dinding kaca di depannya yang memantulkan bayangan samar dirinya sendiri. Di luar, lampu-lampu kendaraan yang lewat hanya meninggalkan jejak cahaya sesaat sebelum menghilang. Namun, keheningan itu tidak mampu menenangkan pikiran Ali yang terus berputar.
"Apa dia masih lembur?" pikir Ali dalam hati. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Senja hanya terjebak pekerjaan, sesuatu yang sering terjadi. Tapi semakin malam, semakin sulit baginya untuk mengusir rasa khawatir yang pelan-pelan muncul di hatinya.
Ia berdiri lagi, berjalan ke arah pintu utama, lalu kembali lagi ke kursinya. Rutinitas kecil itu ia ulangi beberapa kali, seperti seseorang yang mencoba melawan kebosanan dan kecemasan sekaligus. Beberapa kali ia melirik ke arlojinya, menghitung detik demi detik yang seolah-olah berhenti di tempat.
Hingga akhirnya, pintu utama itu bergerak. Suara kecil engsel pintu yang terbuka terdengar begitu jelas di telinga Ali, seakan menjadi jawaban atas semua penantiannya. Ia segera menoleh, jantungnya berdegup lebih cepat saat langkah kaki mendekat. Pukul 11.45 malam, dan Senja akhirnya muncul. Tapi bukan senyuman yang ia lihat. Tidak ada rasa lega di wajah itu. Namun tetap saja, Ali tak melihat mata yang sembap, dan bayangan kesedihan yang begitu nyata tergambar di wajah perempuan itu.
Senja muncul. Langkahnya pelan, nyaris lesu. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya tampak lelah. Tapi yang paling mencolok adalah matanya. Ada semburat merah di sana, bekas tangis yang belum lama berhenti. Sialnya, Ali tak begitu peka melihat itu. Apa mungkin karena Senja selalu seperti itu?
"Senja!" panggil Ali, segera menghampiri. Senyumnya lebar, penuh antusiasme, meski sedikit bingung melihat keadaan Senja yang tak biasa itu.
Senja berhenti, tapi tak mendongak. Ia hanya menatap trotoar di bawah kakinya. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Ali berlalu dalam keheningan.
"Kamu capek banget, ya? Aku udah nunggu dari tadi. Yuk, aku antar pulang, atau..." Ali ragu sejenak, tapi kemudian melanjutkan dengan nada lembut, "Aku sebetulnya ada sesuatu untuk kamu. Yuk, ikut aku. Sebentar aja. Abis itu aku antar kamu pulang."
Namun, Senja mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. Dan dalam sepersekian detik ia mengatakan.....
"Jangan temui Senja lagi, Kak."
Suaranya datar, hampir tanpa emosi, tapi penuh penekanan. Kata-kata itu terasa seperti pukulan telak di d**a Ali.
***