Pagi di Depok cerah, lalu lintas mulai padat dengan kendaraan yang bergerak perlahan. Di dalam mobilnya, Adel memegang setir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang ponsel yang diselipkan di holder dashboard. Wajah Aldo terlihat di layar ponsel, senyumnya menghangatkan suasana meski ia terlihat sedikit lelah.
"Kamu kelihatan capek banget, Kak," ujar Adel, matanya sesekali melirik ke layar sambil tetap fokus ke jalan. Ia mengenakan blouse putih sederhana, rambutnya terikat rapi. "Semalaman di IGD lagi ya?"
Aldo tertawa kecil dari ujung sana, latar belakangnya berupa pohon rindang di dekat klinik tempatnya bertugas. "Iya, semalaman. Tapi aku masih hidup kok. Kamu sendiri gimana? Berangkat pagi banget ya? Biasa kan nunggu mepet jam masuk."
Adel terkekeh, melirik kaca spion. "Udah mau siang kali, Kaaak. Lagi pula ada banyak kerjaan yang numpuk. Harus sampai kantor lebih awal biar gak kelabakan."
Aldo menatapnya dengan perhatian, meski matanya terlihat lelah. "Kamu hati-hati ya. Jangan nyetir buru-buru. Apalagi sambil video call-an begini."
Adel tersenyum kecil, memperlambat laju mobil ketika lampu lalu lintas berubah merah. "Santai, Kak. Jalanan masih sepi kok. Lagian ini satu-satunya waktu kita bisa ngobrol. Kalau nunggu aku di rumah, gak bakal sempat deh."
Maklum, kantornya ramai sejak kasus Abel beberapa bulan lalu yang akhirnya, memang berhasil ia tuntaskan. Meski ya tahu lah, urusannya berbuntut panjang. Ia juga sedang dituntut dengan berbagai pelanggaran hukum. Gila? Ya memang gila. Tapi ini resiko menjadi jurnalis.
Aldo menghela napas sambil menyesuaikan posisi duduknya. "Iya, aku juga ngerti. Kamu tuh sibuk banget. Tapi jangan terlalu maksa diri ya. Kamu harus jaga kesehatan juga, Del."
Adel mengangguk pelan, tatapannya serius meski ia mencoba bercanda. "Iya, iya. Kayak kamu gak sibuk aja, Kak. Jangan kira aku gak tahu lo sering banget skip makan. Nanti gue bilangin Tante loh, kamu bakal kena ceramah panjang tuh."
Aldo tertawa, suaranya terdengar lebih ringan. "Kamu tuh bawel banget sekarang. Tapi beneran, jangan lupa makan ya. Aku juga tahu kamu kadang suka kerja sampe lupa waktu."
Mobil Adel melaju perlahan di jalan yang mulai padat. Ia mendesah kecil, memikirkan pekerjaan yang menunggunya di kantor. "Ngomong-ngomong, Kak Duta sempat chat aku kemarin. Dia bilang mau balik ke Jawa bulan depan."
Aldo mengangkat alis, sedikit penasaran. "Oh ya? Dia mau bahas apa lagi? Drama sama Ratu belum kelar juga ya?"
Adel tersenyum kecil, meski lebih pada dirinya sendiri. "Katanya sih udah, tapi kamu tau lah. Kak Ratu kayak gak mau berhenti ngejar. Manda juga masih ragu soal Kak Duta. Makanya, gak pernah diterima sampai sekarang. Akh, aku lagi gak tahu deh, pusing liat drama mereka."
Lampu lalu lintas kembali berubah hijau, dan Adel perlahan melajukan mobilnya. Aldo mengangguk-angguk dari layar, lalu menatapnya dengan lembut.
"Aku ngerti. Tapi kamu fokus sama hidup kamu aja ya. Drama orang lain gak usah terlalu dipikirin."
Adel tertawa kecil, merasa percakapan itu membuatnya sedikit lebih ringan. "Thanks, Kak. Aku senang banget bisa ngobrol sama kamu pagi ini. Bikin jalan ke kantor jadi gak terlalu stres."
Aldo tersenyum hangat. "Sama-sama, Del. Oh ya, aku harus masuk ke IGD lagi sebentar lagi."
Adel melirik layar, kali ini dengan tatapan penuh perhatian. "Iya, Kak. Hati-hati ya. Jangan lupa makan."
Aldo melambaikan tangan ke kamera. "Kamu juga, hati-hati di jalan. Jangan lupa senyum."
Adel tersenyum tipis sambil memutuskan panggilan. Meski percakapan mereka singkat, suaranya masih terngiang di kepala, membuat perjalanan ke kantor terasa sedikit lebih menyenangkan.
Tak lama, mobilnya terparkir rapi di depan kantornya yang mulai sepi karena hari sudah larut. Ia turun membawa beberapa barang ke dalam. Setelah selesai memasukkan barang-barang yang tadi ke dalam kantor, ia kembali ke mobil untuk mengambil satu kardus terakhir. Ia membuka bagasi dan dengan hati-hati mengangkatnya. Namun, sebuah benda kecil—dokumen yang tergulung—jatuh ke jalanan dan menggelinding perlahan ke tengah aspal.
Tanpa pikir panjang, Adel meletakkan kardus yang ia bawa di tepi trotoar dengan tergesa-gesa. Pikirannya hanya tertuju pada benda kecil yang menggelinding ke tengah jalan. Sekilas, jalanan terlihat sepi, hanya diterangi lampu jalan yang temaram, memancarkan bayangan panjang di aspal. Angin pagi yang dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak memedulikannya. Langkahnya cepat dan mantap, menyeberangi jalan yang tampak kosong tanpa tanda-tanda kendaraan mendekat.
Kakinya melangkah dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara terlalu keras di atas permukaan aspal yang dingin. Sesekali ia melirik ke kanan dan kiri, memastikan situasi tetap aman. Suara jauh kendaraan terdengar samar, seakan datang dari dunia lain, tidak cukup dekat untuk menjadi ancaman. Namun, itu tidak membuat Adel merasa sepenuhnya tenang; ada sedikit rasa cemas yang merayap di dadanya, meski ia tidak menghentikan langkahnya.
Ketika ia mendekati benda kecil yang tergeletak di tengah jalan, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Benda itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu jalan, membuatnya terlihat lebih jelas. Adel berjongkok perlahan, tangannya terulur untuk meraih benda itu. Namun, sebelum sempat ia menggenggamnya, sebuah perasaan ganjil menyelinap di benaknya—seperti ada yang tidak beres. Pandangannya beralih ke kejauhan, dan samar-samar, ia melihat sepasang lampu kendaraan mulai muncul di ujung jalan.
Tapi saat ia berbalik, langkahnya tiba-tiba tertahan. Dari sudut matanya, sorot lampu mobil mulai terlihat, awalnya kecil dan jauh seperti dua titik cahaya yang nyaris tak berarti. Namun, dalam hitungan detik, cahaya itu membesar, menyilaukan, menyibak gelapnya jalan yang sepi. Sorot lampunya menyala terang, menusuk mata Adel dan membuat tubuhnya membeku di tempat. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa. Mobil itu tidak hanya melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi tampaknya tidak berusaha mengurangi lajunya.
Angin pagi terasa menusuk lebih tajam saat suara mesin mobil terdengar menggema, semakin keras seiring mobil itu mendekat. Jalan yang tadi hening kini dipenuhi oleh deru yang mengancam. Tubuh Adel mulai menegang, jantungnya berdetak kencang, dan kakinya seolah tertanam di aspal.
Sorot lampu mobil itu seperti mencengkeramnya, membuatnya sulit berpikir jernih. Detik-detik itu terasa begitu lambat. Ia menyadari bahwa mobil itu tidak hanya melaju cepat, tetapi dengan sengaja mengarah ke tempatnya berdiri. Tidak ada tanda-tanda pengemudi mengurangi kecepatan, tidak ada gerakan setir untuk menghindar—seakan mobil itu memiliki satu tujuan, yaitu menabraknya.
Adel mencoba menggerakkan kakinya, namun tubuhnya terasa kaku. Hanya desiran adrenalin yang menguasai dirinya, berteriak dalam benaknya untuk bergerak. Namun sebelum ia sempat bereaksi, suara deru mesin itu semakin dekat, semakin keras, seperti monster yang siap menerkam.
"Astaga..."
Ia hanya sempat terpaku sejenak, otaknya bekerja keras memutuskan untuk lari ke mana. Namun, seakan waktu melambat, tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Kilatan lampu mobil itu seperti predator yang tak memberi ruang untuk menyelamatkan diri.
Seketika, sebuah tubuh besar melesat masuk ke dalam pandangan, menabrak tubuh Adel dan menjatuhkannya ke samping. Keduanya berguling-guling di jalan raya, tubuh mereka nyaris bersentuhan dengan aspal kasar yang membuat gesekan di pakaian mereka. Mobil itu, bukannya berhenti, malah melesat pergi seperti sengaja kabur usai gagal menjalankan misinya.
Adel, yang masih dalam posisi terjatuh, membuka matanya perlahan. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdetak begitu kencang seakan hampir keluar dari dadanya. Di sebelahnya, Fabian terduduk, napasnya juga tak beraturan. Ia menatap Adel dengan tatapan tajam, sorot matanya penuh amarah sekaligus kelegaan.
"Lo gak apa-apa?" tanya Fabian sambil memeriksa tangan Adel yang tampak sedikit tergores.
***