Athaya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, berusaha mengusir kegelisahan yang mengendap di benaknya. Dadanya naik-turun dengan napas yang berat, pikirannya masih dipenuhi bayangan mimpi tadi malam—mimpi yang begitu nyata hingga ia merasa seperti benar-benar mengalami setiap sentuhan, setiap tatapan, dan setiap getaran yang menjalar di tubuhnya ketika bibirnya bersatu dengan bibir Adeeva di dalam kolam renang. Air yang mengelilingi mereka terasa sejuk, tetapi ada kehangatan yang tak terbantahkan dalam setiap helaan napas mereka. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menghilangkan sisa-sisa perasaan yang melekat kuat dalam dirinya. "Sial," desisnya. "Kenapa harus Adeeva?" Adeeva bukan sekadar perempuan biasa dalam hidupnya. Ia adalah istrinya—perempuan yang, dalam hukum dan agama, tela

