Rumah Calon Mertua

2527 Words
“Gue ada kumpulan dulu UKM Teater, maklum gue Badan Penguru Hariannya, jadi agak sibuk. Agak sorean gue ke apartement lu deh. Mau dibawain apa?” Tanya Seline yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Rose. “Lu kenapa dah? Sedih karena hape lu gak dibawa? Lagian salah lu sendiri, udah gue bilangin bakalan gue anter. Eh, lu malah balik lagi.” “Tau ah, gue mau pulang dulu mau bobo siang.” “Serius nih, mau dibawain apa sama gue?” “Kasih gue kejutan pokoknya,” ucap Rose melangkah sambil melambaikan tangan. “Bye,” ucapnya dengan nada yang tidak bersemangat sama sekali. Jarak antara universitas dan apartemennya bisa ditempuh dengan jalan kaki dalam waktu sekitar 10 menit. Sebenarnya Rose bisa saja menggunakan angkot, tapi dia sedang malas melakukannya. Bayangan akan Derry yang memperlakukan Hani dengan manis terngiang ngiang di kepalanya. Pria itu ternyata telah menduakannya selama ini. Diakhiri dengan tangisan sendirian di apartemen itu, Rose duduk di tengah ranjang dengan tissue di sekelilingnya. Terisak sendirian bersamaan dengan hujan yang mulai turun. Ketika petir berbunyi keras, tangisan Rose pun demikian. Seolah suaranya dan suara petir saling beradu membandingkan siapa yang paling keras. Rose bahkan menyetel music favoritenya dan Derry dengan volume tinggi untuk menambah rasa galaunya. Air matanya harus keluar semua untuk yang terakhir kalinya, tidak akan ada lagi tangisan untuk pria itu. Tingtong. Bunyi bel yang ditekan berkali kali membuat Rose menghentikan tangisannya. “Siapa sih! Nyebelin banget gak tau apa gue lagi galau.” Terpaksa beranjak dari ranjang. “Roseeee, gue ba─ eh lu kenapa, b*****t?” Tanya Seline kaget. “Lu kenapa? Bilang sama gue.” “Abis nonton miracle in no.7, jadi nangis.” “Ya ampun, gue kira kenapa. Taunya abis nonton,” ucap Seline masuk ke dalam unit apartemen Rose, dia dibuat terpana dengan poster boyband kesukaannya ada di ruang tengah. “Woahhh, ini era blood sweet and tears ya?” “Mana? Lu bawa apaan buat gue?” “Oh iya lupa,” ucap Seline dengan antusias merogoh tasnya. “Ini hape lu.” Dibuat kaget dan juga terharu, Rose langsung memeluk teman satu fandomnya itu. “Makasih, gak sia sia gua suka K-Pop, orang orangnya solid banget sama gue.” “Bukan gue yang ambil.” “Lah anjir, terus siapa?” Rose melepaskan pelukannya dan menatap Seline penuh Tanya. “Arsen.” “Arsen, kok bisa?” “Iya, gue juga bingung. Kok bisa dia ya? Dia dateng ke sekre UKM Teater nyari gue, gue pikir mau ngajak gue nge-date, ternyata balikin hape punya lu.” “Dia bilang apa sama lu pas ngasih hape gue?” “Ini punya temen kamu, katanya gitu,” ucap Seline mempraktekan nada bicara Arsen yang datar. “Keren banget sumpah, akhirnya gue bisa liatin dia dari jarak yang sedeket itu.” antuasis sekali saat membayangkannya. “Oh ya, tuh gue beliin lu tteokbokki dari depan kampus. Cobain deh, enak banget itu.” Namun sekarang Rose tidak terpikirkan untuk itu, dia membuka ponselnya dan melihat pesan yang Arsen kirimkan tadi siang. Arsen: Ini Arsen. Yang membuat Rose terdiam, hanya itu? hell, dia tau kalau itu Arsen. Kenapa tidak ada kalimat lain di dalam pesan? Tapi, Rose cantik, jadi dia sabar. Menarik napasnya dalam dan berfikir bagaimana caranya mendapatkan Arsen sepenuhnya. Mereka akan bertunangan bukan. Kalimat, “Kalau udah ngerasa cocok gini, yaudah deh langsung tunangan aja gak perlu perkenalan ya? Arsen sih ngikut pilihan Bunda, nah kamunya udah setuju jadi gak harus ditunggu lagi. Secepatnya deh kita adain pesta pertunangan oke?” Begitu janji Bunda Farah padanya. Me: Makasih udah bawain hape aku. Kamu ada waktu gak? Aku mau kita saling kenal. Kayaknya itu baik dilakuin sebelum pertunangan kita. “Rose, gue mau masak boleh? Gue mau bikin rappoki, itu tteokbokkinya belum dimakan kan?” “Terserah lu, jangan ganggu gue.” Rose tidak beralih menatap ponselnya. Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. “Rose, nih dah mateng. Mau gak lu?” “Nyebelin banget sih ini cowok, padahal gue liat tadi online, kenapa gak bales w******p gue?” membanting ponselnya saking kesal. Rose berjalan ke dapur dan memakan makanan buatan Seline dengan lahap. Salah satu cara Rose meluapkan kekesalannya adalah dengan makan. “Sebel gue, untung ganteng.” “Siapa?” “Gak usah sok tau.” ** “Belum bales juga.” Tersenyum miris melihat ponselnya yang tidak mendapatkan notifikasi sama sekali. “Dasar cowok gak konsisten, katanya mau nerima calon pilihan Bunda.” Masih berfikir tentang bagaimana cara mendekati Arsen, Rose hanya menatap langit langit sambil mencari ide. Dia adalah type pria yang sulit didekati, dingin dan punya kesibukan sendiri. Saking lamanya berfikir, Rose tertidur dengan kamar yang dipenuhi dengan tissue. Baru saat keesokan harinya, Rose mengecek ponsel dan mendapatkan balasan. Dia buru buru membukanya sampai, Arsen: sama sama. Arsen: Nanti kalau ada waktu. Just like that?! Are you kidding?! Rose berteriak memaki dalam hati. “Jangan gitu, Rose. Dia calon laki kamu, dia ganteng dan juga punya banyak kelebihan dari Arsen.” Begitu cara Rose menenangkan dirinya sendiri. Melihat pesan lain yang masuk, itu dari Bunda Farah yang menanyakan tentang keadaannya dan Bunda Farah berniat untuk datang ke apartemen untuk menjenguk. Rose terkejut seketika, dia melihat sekelilingnya yang masih berantakan. Apa yang akan dikatakan oleh calon mertuanya jika melihat menantunya yang seperti ini? Jadi dia cepat cepat mandi, membereskan ruangan dan membalas pesan dari Bunda Farah. Untungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah, dan dosennya tidak masuk kelas. Jadi Rose tidak akan keluar dari apartemen. Drrrttt… ponselnya berbunyi, Rose segera mengangkatnya. “Hallo, Tante?” “Bunda udah di lobi, apartemen kamu nomor berapa ya? Bunda lupa.” “Bentar aku ke bawah, Tante.” Sebagai calon menantu yang baik, Rose ingin memberikan yang terbaik. Dia turun ke lobi dan menyambut Bunda Farah. “Padahal gak usah turun kamu tuh.” “Gak papa, sekalian ada perlu sama penjaganya tadi,” ucap Rose menyalami Bunda Farah. “Gimana kabarnya, tante?” “Baik. Manggilnya sekarang Bunda dong, kan mau tunangan sama anak Bunda, kebiasain ya.” Kalimat yang mampu membuat Rose tersipu malu, dia akan menjadi tunangan presiden mahasiswa cuy! Membayangkannya saja mammpu membuat Rose besar kepala. Memasuki apartemen, Rose diam diam menatap Bunda Farah yang sedang melihat ke sekeliling ruangan. “Gimana perut kamu, Nak? Masih sakit?” “Udah mendingan, Bun. Heheh, biasa kalau hari pertama emang kayak gitu.” “Syukur deh, Bunda bawain kamu makanan nih. Nanti kalau mau makan, tinggal panasin aja ya. Jangan beli junkfood, gak sehat itu,” ucap Bunda Farah sambil memasukan masakan buatannya ke dalam kulkas. “Malah ngerepotin Bunda ih.” “Mana ada ngerepotin, seneng Bunda tuh masak buat calon mantu. Oh, gimana perkembangan kamu sama Arsen? Udah chattingan? Telponan?” “Eum… chattingan, tapi gak lama lama.” Helaan napas terdengar dari mulut Bunda Farah. “Dia orangnya emang kayak gitu. Sini duduk di sini coba, Bunda mau ceritain tentang Arsen.” Bunda Farah menepuk sisi sofa yang masih kosong yang diisi oleh Rose. Tangan Rose digenggam oleh sosok yang lebih tua. “Arsen itu orangnya emang agak kaku, dia fokusnya Cuma di akademik aja. Kenalannya emang banyak, tapi nggak kalau temennya. Dia interaksi sama orang Cuma seperlunya aja. Jadi, jangan kaget ya kalau calon suami kamu itu kutu buku. Dia juga mau kembali ke Indonesia atas bujukan Bunda. Kalau enggak, mungkin dia tetep di luar Negara dan terus belajar.” Mendengarkan cerita kalau ternyata Arsen adalah anak yang sulit didapatkan. Dulu Bunda Farah sempat divonis tidak bisa memiliki anak. Jadi butuh penantian panjang untuk mendapatkan Arsen. karena Arsen anak satu satunya, Bunda Farah sangat ingin Arsen segera menikah hingga dia bisa menggendong cucu. “Bunda ini udah tua, udah mau gendong cucu. Masa minta sama tetangga, kan anak Bunda Cuma Arsen.” Rose tertawa mendengarnya. “Arsen punya mantan gak, Bun?” “Enggak, dia gak punya mantan. Arsen itu bersih.” Membanggakan anaknya. “Meskipun sekolah di luar negri, tapi Bunda sama Ayahnya selalu awasin dia. Arsen tuh gak pernah deket deket sama cewek, dia focus belajar mulu. Jadi kamu jangan takut Arsen selingkuh, dia paling selingkuh sama kesibukannya baca buku dan hal hal kayak gitu.” Rose terkekeh mendengarnya, nilai plus atau minus? Karena sekarang dia berfikiran negative tentang Arsen yang tidak pernah berkencan dengan siapapun. Mustahil dengan wajah setampan itu tidak didekati siapapun. Wanita selevel dirinya saja menyukai type garis wajah Arsen. “Akhir akhir ini Arsen juga sibuk, soalnya dia bilang bakalan ada Pekan Raya Olahraga yang melibatkan semua fakultas. Jadi dia siapin sejenis sambutan, undangan dan ngatur semuanya.” Akan ada acara besar yang melibatkan semua fakultas? Tiba tibaa pertanyaan ini kembali muncul ke permukaan, “Oh ya, Bun. Buat rencana pertunangan emang kapan ya? Secepatnya itu…. dalam waktu hitungan minggu atau bulan?” Bunda Farah tertawa. “Dalah waktu hitungan bulan ya, Bunda lagi ngurusin kasus dulu. Sama Ayanya Arsen lagi ngurusin sengketa tanah di luar pulau. Jadinya, agak sibuk sekarang sekarang. Nikmati aja waktu buat kalian berdua saling mengenal.” Sampai Bunda Farah sadar. “Nah, suami Bunda kan gak ada di rumah. Gimana kalau kamu nginep? Nanti biar bisa banyak waktu sama Arsen, biar berangkat ke kampusnya juga bareng nanti.” ** Jackpot, Rose tentu tidak akan menolak, dia akan sekuat tenaga mendapatkan perhatian dan juga kesempatan untuk dekat dengan Arsen. Kapan lagi bukan? Terlebih Rose masih memiliki dendam tersendiri pada Derry. Dia akan membalaskan dendam dengan membuat pria itu iri, setidaknya dengan pria yang lebih baik darinya. Jadi hari ini Rose memutuskan untuk menginap di rumah Arsen. Persetan dengan rasa malu, Rose menginginkan pria itu. “Kamu tidur di kamar ini ya, sebelahan sama Arsen, jadi kalau nanti mau ngobrol bisa di ruang tengah itu. hihihi.” Bunda Farah sangat mendukung kedekatan keduanya. Inilah kekuatan yang didapatkan oleh Rose. “Bunda dimana tidurnya?” “Bunda di lantai bawah, udah tua jadi pengennya deket ke dapur.” Rumah ini luas, besar dan sangat cocok untuk keluarga besar. “Mau istirahat dulu atau turun ke bawah? Bunda mau masak nih.” “Turun lah ke bawah bantuin Bunda, sekalian mau belajar juga,” ucap Rose. Dia memanfaatkan hari ini untuk mengetahui semua tentang keluarga Kusuma Atmadja. Sepertinya akan menyenangkan jika Rose benar benar masuk ke dalam keluarga ini, dia mendapatkan kasih sayang berlebihan apalagi Bunda Farah sangat menginginkannya. “Arsen itu jarang di rumah, sekalinya di rumah paling di kamar mulu. Jadinya Bunda selalu bikin banyak camilan buat dia, biar dia betah di rumah.” “Biasanya Arsen pulang jam berapa ya, Bun?” “Gak tau jam berapa, gak tentu soalnya. Bentar Bunda mau telpon dulu.” Melangkah mengambil ponsel, Rose yang sedang memotong bawang itu memperhatikan bagaimana Bunda Farah sendiri kesal karena telponnya tidak diangkat angkat. Pantas saja, Bundanya sendiri diabaikan apalagi dirinya. Pria itu memang benar benar menyebalkan. “Hallo, Kak? Hari ini kamu pulang ‘kan?” “Pulang, Bun. Makan malam di rumah kok.” “Oke, jangan telat telat amat ya, Bunda mau makan sama kamu, ada kejutan juga loh.” “Iya diusahain. Ditutup dulu ya.” Raut wajah Bunda Farah langsung berubah seketika. “Jangan kecapean, Kak. Kamu gak digaji banyak juga sama Universitas. Suruh yang lain aja, kamu jangan sampe sakit.” “Iya, Bunda.” Entah telinga Rose yang tajam atau memang percakapan keduanya cukup keras hingga dapat terdengar. Bunda Farah mendumal, “Itu anak heran, suka banget organisasi padahal dia bisa aja focus sama pendidikannya. Untung dia jarang sakit.” “Gak pernah sakit, Bun?” “Jarang sih, Cuma pusing aja, demam biasa. Gak pernah dia itu nyampe tidur di ranjang seharian,” ucap Bunda Farah. “Nanti kalau kamu udah nikah, tinggalnya di sini kan?” Rose terkejut, dia belum berfikiran sejauh itu. “Nanti kan jarak dari tunangan ke nikahan jangan lama lama, atau mending nikah langsung aja? Menurut kamu gimana?” Rose sedikit tergugup mendengarnya, memang dia ingin memiliki Arsen. Tapi, tidak ada salahnya langsung menikah juga. Toh Arsen itu anak tunggal kaya raya, tampan dan Rose juga sudah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Jadi, senyuman terbit di wajahnya. “Boleh tuh, Bun. Ngapain ya harus tunangan, kan akhirnya juga berujung pernikahan. Lagian, perkenalan bagusnya abis nikah, jadi gak canggung bisa meluk sesuka hati.” Bunda Farah langsung memekik senang. “Nanti Bunda obrolin deh sama orangtua kamu dulu kalau kamunya emang mau.” “Rose mau kok, Bun.” Rose bukan orang yang mudah berbaur, tapi dengan Bunda Farah yang memiliki jiwa social yang tinggi membuatnya betah berlama lama dengan sosok tersebut. “Kalau Arsen nya sendiri?” “Arsen bilang dia mau ngikut aja kemauan Bunda. Tapi kayaknya kalau nikah juga gak bisa cepet cepet. Paling cepet sebulanan persiapannya deh.” “Iya gak papa.” Soalnya, Rose mau mencari yang bagaimana lagi, terlebih fokusnya sekarang tertuju pada Derry. Dia akan membuktikan kalau dirinya bisa mendapatkan pria yang lebih darinya. Selesai memasak camilan, Rose dan Bunda Farah melanjutkan cerita sambil memakannya. Tempat yang mereka pilih di halaman belakang, memiliki ruang hijau yang luas dengan kolam ikan dan kolam renang. Mungkin seluas rumah di dalam. “Ini tempat favorite Arsen. Dia suka duduk di sini sambil baca buku, sambil ngasih makan ikan.” Tempat yang dimaksud adalah tempat yang diduduki Rose. Ayunan dengan kursi panjang yang menghadap langsung ke kolam ikan. Sampai waktu makan siang tiba, Bunda Farah tiba tiba mendapatkan telpon dari clien nya yang ingin bertemu. “Bunda harus keluar dulu, kamu kalau mau makan minta aja sama bibi ya, Nak.” “Iya, Bun. Hati hati di jalannya ya.” Rose masih bertahan di tempat itu, dia suka bangku yang berayun. Pantas saja Arsen betah di sini. Perut yang kenyang, membuat Rose mengantuk. Dia tertidur di ayunan itu sambil memandang langit yang cerah. Matanya tidak silau, ada pohon besar di pinggir kolam yang meneduhkan pandangannya. “Hoaaamm, betah dah di rumah calon mertua,” ucapnya perlahan memejamkan mata. Dan tanpa Rose ketahui, satu jam kemudian seseorang pulang lebih awal. “Udah pulang, Den? Tumben masih siang.” “Mau berangkat lagi, Bi. Bunda kemana?” “Mau ketemu sama klien katanya, Aden mau makan siang di sini?” Arsen menggeleng. “Mau pergi lagi sekarang,” ucapnya naik ke lantai dua untuk mengambil buku di kamarnya. Dari jendela kamarnya, Arsen melihat seseorang yang tertidur di ayunan dekat kolam. Wajahnya yang tertutup membuat Arsen penasaran. Begitu dia turun kembali, tidak ada pembantu di sana. niatnya hendak bertanya, tapi sekarang malah harus melangkah mendekat untuk memastikan sendiri. Arsen sadar, seseorang ini tertidur. Rambut panjang perempuan itu menghalangi wajahnya, hingga Arsen dari sisi ayunan perlahan mendekat dan menyingkirkan anak rambut itu. “Rose?” “Hmmm?” perempuan itu mengerjapkan mata saat sinar matahari kini menembus matanya. Dia mengerjap, merasakan keberadaan seseorang di sana. “Arsen?” kemudian tersadar. “Arsen!” Gerakan berdiri tiba tiba di atas ayunan membuat bangku itu tidak seimbang hingga… BYUR! Rose masuk ke dalam kolam ikan. “Huaaaa! Gak bisa berenang! Tolong!” “Kolamnya gak dalem, Cuma sepinggang.” Seketika Rose berhenti bergerak, dia mulai berdiri di dalam kolam dengan keadaan yang basah dan menatap Arsen sambil menahan malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD