CD 2

2143 Words
Sudah dari kemarin Debbina menginap di rumah Linzi. Dia malas bolak-balik dari rumah ke tempat Linzi, makanya lebih memilih tidur di rumah sahabatnya. Setelah menyaksikan kakak dari sang sahabat ijab, kini Debbina bersama Linzi sedang berada di kamar untuk beristirahat sebentar sebelum resepsi di ballroom hotel Abimana nanti malam. Debbina memang tidak meragukan lagi kekayaan keluarga sang sahabat karena dari acara akad nikah sampai resepsi, pasti memakan biaya yang sangat banyak. Iya lah banyak, semua serba mewah. Dan mungkin saja pernikahan sang sahabat nanti akan semewah kakaknya. "Zee, dari tadi gue kagum banget sama dekorasi pernikahan Kak Libra dan Mbak Aiza," ucap Debbina berdiri di depan kaca meja rias milik sang sahabat sembari menyisir rambutnya. "Hem, kamu benar. Kata Kak Libra, Mbak Aiza yang pengen." "Owh ... lo mau kaya gitu kalau nikah nanti?" Debbina berbalik badan lalu duduk di kursi meja rias menghadap Linzi yang sedang duduk di tepi ranjang. Linzi menghedikan bahu acuh, "Ntahlah, maybe." "Eh, bye the way ... thank's banget dress-nya." "It's okay. Semoga kamu suka," ucap Linzi dengan senyuman. "Suka sangat! Gue suka, gue suka...." Debbina dan Linzi tertawa bareng setelah itu. Tidak terasa malam telah tiba. Sebenarnya Debbina kurang nyaman saat wajahnya sedang didandani oleh penata rias ternama langganan keluarga sang sahabat. Dia memang tidak pernah berdandan feminim apalagi menor. Mentok-mentok, hanya pakai bedak bayi dan pelembab bibir saja agar bibirnya tidak pecah-pecah. Toh, bibirnya sudah merah alami, jadi tidak perlu memakai lipstik yang tebal. Karena Debbina memiliki rambut tidak terlalu panjang, penata rambut menata rambut Debbina dengan gaya twisted. Gaya yang satu ini tidak ribet untuk diaplikasikan. Tinggal menyilangkan rambut hingga terbentuk jalinan seperti tambang. Selanjutnya bisa kreasikan menjadi sanggul, chignon, dan lain sebagainya. Dan terakhir sebagai pelengkap, dikasih aksesoris bunga-bunga cantik berwarna putih. Riasan Debbina dan Linzi hampir sama. Mereka berdua memakai dress berbeda. Debbina memakai dress putih gading, dan Linzi memakai dress berwarna biru langit. Dress Debbina berlengan tiga perempat, sementara Linzi tanpa lengan, tapi tubuhnya dibalut jas putih yang mahal. Linzi sempat tidak menyangka sang sahabat sangat cantik hari ini. Sangat pangling, sebab selama kenal Debbina, sahabatnya itu tidak pernah berdandan. Jangankan berdandan, memakai rok saja hampir tidak pernah. "Kamu benar-benar cantik banget, Bii," puji Linzi melihat penampilan sang sahabat. Bukannya tersanjung karena pujian Linzi, justru Debbina malah berdecak kecil, "Sebenarnya gue nggak nyaman banget pake ini. Tapi demi lo, gue mau." Linzi tersenyum, lalu mendekati Debbina dan mengapit lengannya. "Terima kasih, sahabatku. Aku yakin pasti banyak banget tamu yang terpukau dengan penampilan kamu malam ini." Debbina memutar bola matanya malas, "Mohon maaf, gue nggak ada receh." Linzi malah terkekeh kecil. Sudah tidak heran lagi dengan mulut pedas bon cabe level tiga puluh milik Debbina. Mereka pun berjalan masuk ke dalam ballroom hotel Abimana, diikuti Karen di belakang. Sampai di ruangan, mereka berdiri tidak jauh dari kedua mempelai. Debbina tidak berhenti berdecak kagum dengan dekorasi resepsi pernikahan Libra dan Aiza. Benar-benar hebat, dan pasti harga yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Mereka berdua tidak mengobrol, hanya mengagumi setiap sudut yang disulap sangat cantik dengan warna putih dan biru. Debbina lupa keberadaan keluarganya yang sudah datang apa belum di sini. Mereka jelas diundang oleh keluarga sang sahabat. Tidak lama kemudian Debbina merasakan tidak enak di bagian perut bawahnya. Sepertinya dia ingin buang air kecil sekarang. "Zee, gue pergi sebentar ya." "Hem." Debbina beranjak dari situ dan berjalan tergesa-gesa sampai tidak sadar kalau di depan sana ada seorang pria tampan berjalan berlawanan dengannya. Tak pelak, tabrakan pun terjadi. Mereka sama-sama terdiam dengan mata saling menatap. Karena merasakan basah pada dadanya, Debbina melepaskan diri. Mata Debbina membulat seketika setelah melihat dress-nya penuh cairan berwarna orange itu. Mungkin yang tumpah adalah jus jeruk, karena tercium baunya manis dan segar. "Ah, dress traktiran gue!" pekik Debbina histeris, seraya membersihkan dress-nya. Tapi bukannya bersih malah makin kotor karena melebar kemana-mana. Sementara pria tampan di depannya ternganga tidak percaya saat gadis itu bilang, 'Dress traktiran gue!'. Bukan karena meremehkan atau bagaimana, tapi lucu saja dengan ucapan yang keluar dari bibir gadis di depannya. Kalian tahu sendiri bukan kalau gadis lain pasti akan menutupi segala tentangnya atau mungkin gengsinya. Ini tidak. Benar-benar gadis yang unik. "Ya ampun, ini semua gara-gara lo tahu nggak!" hardik Debbina kesal. Sayang sekali dress baru pemberian Linzi, belum ada dua puluh empat jam sudah berakhir mengenaskan seperti ini. Memang bisa dicuci tapi sayang baru beberapa jam dipakai. Apalagi ini di acara resepsi pernikahan. Pria itu tersentak kaget, kemudian mengerjapkan matanya berulang kali. "Kan kamu yang berjalan tidak lihat-lihat?" Dalam keadaan menunduk dan masih membersihkan dress-nya, Debbina mengeram kecil, "Terserah lah." Lalu pria itu meletakkan makanan sebentar di meja terdekat. Namun saat akan menghampiri gadis itu sudah tidak ada. Dan ternyata gadis itu sudah berjalan masih dengan mencoba membersihkan dress-nya. Bibir pria itu tersenyum penuh arti. Kemudian geleng-geleng kepala karena mengingat tadi. "Pak, Tuan Alfred ingin bertemu dengan Anda." Pria bernama lengkap Axel Xavier Baldwin itu menoleh ke sang pengacara. "Ah, dimana, Edward?" tanya Axel dengan raut wajah sedikit berseri, tidak seperti saat pertama kali datang ke resepsi. Wajah dan langkahnya sangat datar, tidak peduli pada saat itu bertemu dengan kerabatnya juga. Edward Alan, mengerutkan dahinya melihat raut wajah sang atasan. Tumben. "Mari saya antar, Pak." Edward mempersilahkan sang atasan untuk berjalan dulu ke depan. Pria berambut pirang itu mengangguk. Dia tidak bertanya lebih lanjut lagi pada Edward, kenapa sang ayah ingin bertemu dengannya. Sementara Debbina berada di salah satu kamar untuk mengganti dress-nya. Tidak mungkin kan dia memakai dress yang tadi. Beruntung ada dua dress miliknya di situ karena dia belum pulang ke rumah. "Idih, cakep-cakep kok matanya rabun. Untung masih ada dress di sini," gerutu Debbina setelah keluar dari ruang ganti. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Sebab lampu di ballroom hotel tadi tidak terang, hanya lampu-lampu berbentuk bunga yang menyala. Jadi suasananya temaram, hanya menyorot pasangan pengantin malam ini. Debbina keluar dari kamar, namun keningnya berkerut saat melihat Linzi yang berjalan tergesa-gesa sembari sesekali menoleh ke belakang. Ada apa dengan sahabatnya itu? "Zee, lo---" Belum selesai bertanya pada Linzi, tangannya sudah dicekal dan ditarik masuk lagi ke dalam kamar. Linzi mengunci pintu kamar lalu menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya masih bergetar setelah bertemu seseorang tadi. "Zee," panggil Debbina lembut. "Nanti saja aku ceritakan, Bii. Tapi kamu temani aku di sini ya?" "Em, ok," jawab Debbina, meskipun dalam hati penasaran apa yang terjadi dengan sahabatnya. Linzi berjalan meninggalkan Debbina yang masih menatapnya terheran-heran. Kemudian Debbina menyusul Linzi yang sudah duduk di tepi ranjang. Meskipun mereka sudah bersahabat selama bertahun-tahun. Tapi saat mereka sedang seperti ini, misal Linzi tidak mau berbicara dulu, Debbina selalu menghargai kemauan sang sahabat. Debbina mengelus lengan Linzi, kemudian tersenyum ke arah sahabatnya. Tidak lama kemudian, Linzi menangis memeluk Debbina. Tapi Debbina masih diam saja, hanya mendesah panjang. Fix! Ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya. Di tempat berbeda... Axel berjalan ke tempat yang diarahkan Edward. Setelah masuk ke dalam ruangan tempat sang ayah sudah menunggu dirinya. Raut wajah Axel langsung berubah datar setelah melihat seseorang yang berada di situ. *** Ternyata Linzi menangis gara-gara mantan pacarnya. Debbina sekarang sedang mendengarkan semua curhatan Linzi sore ini. Debbina ikut jengkel saat Linzi bercerita bahwa 'si mantan laknat' Linzi ingin kembali, padahal sudah punya istri dan anak. Benar-benar gila kayanya itu orang. "Yang terpenting lo tidak menanggapi si sinting itu," ucap Debbina sedikit kesal. Linzi mendesah, "Aku masih waras, Bii. Nggak mungkin aku akan kembali ke dia." "Baguslah...." Debbina mengambil cemilan, lalu memakannya. "Eh, by the way. Kenapa kamu lama sekali saat izin ke kamar kecil? Oh ya, aku juga baru sadar dress kamu berbeda dari sebelumnya." Debbina mendengus sebal, "Gimana nggak ganti coba, dress gue ketumpahan jus jeruk, makanya gue ganti." "Hah?" "Iya, lo tahu nggak? Padahal dia tampan banget loh, blasteran gitu. Tapi percuma aja tampan kalau matanya nggak dipake." Mata Linzi mengerjap beberapa kali, "Mungkin tidak sengaja kali, Bii." "Sudahlah, nggak usah bahas itu. Kalau keingat itu, emosi gue tiba-tiba muncul. Apalagi kalau kami ketemu lagi nanti. Entah apa yang akan terjadi dengan dia." Baru kali ini Debbina benci ke pria blasteran padahal dari dulu dia suka pria blasteran, apalagi dengan rambut pirang dan mata biru. Ini tidak. Mungkin karena pertama kali bertemu dengan cara seperti ini, jadi malah menumbuhkan rasa benci ke pria itu. Debbina dan Linzi melanjutkan obrolan mereka, termasuk tentang pria pemilik Hotel Abimana teman Libra. Entah kenapa tiba-tiba Debbina membahas teman Libra, yang suatu saat nanti akan menjadi laki-laki penting bagi Linzi Widya Sudjono. Di tempat berbeda... Terpaksa Axel harus mengantar gadis cantik yang akan dijodohkan dengannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ia akan pergi dua bulan untuk beberapa seminar di Inggris yang harus dihadirinya. Kenapa Axel mau, jelas itu karena paksaan sang ayah. Malah di malam resepsi pernikahan sang kakak, ayahnya ingin bertemu, kemudian membahas tentang kenapa tidak menjemput gadis itu di rumah. Padahal sang ayah sudah berpesan Axel harus menjemputnya. Sebenarnya perlukah sang ayah bertanya lagi kenapa? Karena dia tidak setuju dengan perjodohan itu. Hanya karena menghormati sang ayah saja Axel mau melakukan sesuatu, tapi kalau untuk sampai ke pernikahan, tunggu dulu ... tidak bakalan semudah itu. Atau dirinya akan mencoba memberontak nanti. Dan ini adalah kesempatannya mencari cara untuk membatalkan rencana perjodohan itu. Salah satu caranya adalah, dengan membawa seorang gadis lain di hadapan keluarga besarnya, lalu mengakui bahwa gadis itu kekasihnya. Good idea, right? "Terima kasih telah mengantarkan saya," ucap dara cantik keturunan Chinese itu. "Berterima kasih lah pada padre (panggilan bapak dalam bahasa Italia), bukan ke saya. Kalau bukan karena paksaan beliau, saya tidak akan mau mengantarkan kamu," jawab Axel datar. Irish Lana Soetanto. Gadis cantik dengan rambut panjang lurus itu hanya tersenyum tipis. Dia juga kalau tidak menyukai Axel tidak akan mau seperti ini, merendahkan harga diri di hadapan Axel. Padahal banyak pria yang ingin berhubungan atau berkenalan dengannya. Tapi entah kenapa dia malah jatuh cinta ke pemilik Baldwin Entertainment. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Irish dengan senyuman. "Hem." Irish berbalik badan menuju tempat Check-In sembari menggeret koper kecil berwarna hitam, meninggalkan Axel yang masih berdiri menatap punggung Irish. Axel juga berbalik badan untuk pergi dari situ. Buat apa masih di situ, toh dia tidak peduli Irish mau kemana. Axel duduk di kursi belakang mobil, sementara sudah ada Edward yang duduk di kursi pengemudi. "Bagaimana sudah ada yang daftar jadi sekretaris baru, Edward?" tanya Axel setelah beberapa saat mobil melaju ke jalan raya. Edward melirik sang atasan sebentar, "Belum, Pak. Masih saya usahakan cari." Axel berdecak kesal, "Kenapa lama sekali, Edward? Saya butuh sekretaris baru sekarang." "Pak, mohon maaf ini. Kali ini saya ingin berbicara dengan Bapak bukan ke atasan, tapi ke sahabat. Saya mohon Bapak kalau sudah mendapatkan sekretaris baru, jangan pecat lagi ya, Pak? Sudah beberapa kali Bapak memecat sekretaris baru dalam jangka sebulan ini," keluh Edward panjang lebar, tanpa menoleh ke Axel. Mulutnya gatal sekali sedari kemarin. Sang atasan ingin sekretaris baru tapi tidak lama kemudian dipecat. Entah apa maunya. Astaga ... sabar Edward, Sabar. "Salah mereka sendiri, Ward. Mereka yang menggoda saya," ucap Axel tetap tidak mau disalahkan. "Ok, jika saya mendapatkan sekretaris baru buat Bapak, apa Bapak akan memecatnya lagi?" Axel bersandar ke kursi, menumpukkan kaki satu di satunya lalu melipat kedua tangan di d**a, "Tergantung. Kalau seperti itu lagi, apa boleh buat." Edward mendesah pelan. Di antara ketiga saudara Baldwin yang dia kenal, hanya Axel yang paling menyebalkan. Apa karena bungsu atau bagaimana, tapi Axel Xavier Baldwin memang menyebalkan. Axel dan Edward kembali ke gedung Entertainment tempat mereka bekerja. Axel tidak peduli beberapa artis atau model dibawah managementnya melirik penuh arti ke dirinya. Tapi mereka tidak akan berani mendekatinya, atau mereka akan berakhir di jalanan. Segitu menyeramkannya Axel ketika marah. Dua Minggu kemudian.... Di rumah Pratama, hanya Debbina yang masih malas-malasan di kasur, sementara yang lainnya sudah melakukan kegiatan masing-masing. Entah sampai kapan begitu. Beberapa hari yang lalu, Linzi menawarkan pekerjaan di Toko Kue tempatnya, tapi Debbina menolak. Dia tidak mau merepotkan Linzi atau keluarganya. Terkadang Debbina berpikir begitu enaknya jadi Linzi. Pulang dari Australia langsung buka usaha, sedangkan dirinya jangan ditanya. Tangan Debbina merambat ke kasur setelah mendengar notifikasi dari ponselnya. Mata Debbina menyipit membaca pesan dari Linzi. Ternyata sahabatnya itu ada di rumah dan menyuruh Debbina untuk datang ke sana. Kebetulan Linzi sedang bikin brownies dengan toping keju kesukaannya. Tentu saja ini tidak boleh dilewatkan, bukan? Debbina beranjak dari kasur, lalu secepat kilat bersiap-siap pergi ke rumah Linzi. Ternyata saat tiba di rumah sang sahabat, ada pengantin baru yang sudah pulang dari bulan madu. Debbina sangat antusias menggoda Aiza yang sudah dia anggap seperti kakaknya. Aiza juga tidak lupa memberi sebuah oleh-oleh pada Debbina. Mereka bertiga mengobrol sampai malam. Besok pagi, jam delapan di Baldwin Entertainment... Axel sedang duduk di kursi besarannya. Beberapa saat kemudian, ada Edward masuk dengan bibir tersenyum lebar bersama seorang gadis di belakangnya. "Pak, ada seseorang yang ingin mengajukan kerja menjadi sekretaris Anda." Axel mendongak, seketika berbagai macam umpatan keluar dari mulut gadis yang datang bersama Edward tadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD