CD 1

2060 Words
Debbina... Salah satu nama gadis yang feminim bagi sebagian orang yang belum pernah bertemu dengannya. Mungkin di dalam benak orang-orang, dia adalah gadis yang cantik sesuai dengan namanya. Namun tidak pada kenyataannya. Lahir sebagai bungsu di keluarga sederhana membuat dia menjadi seorang gadis tangguh yang jauh dari kesan manja. Apalagi dia mempunyai seorang kakak yang berperan sebagai guru taekwondo, musuh, dan kawan. Jadilah sang kakak juga ikut andil dalam membentuk karakter Debbina, yang jauh dari pandangan orang lain saat mengetahui namanya. Suara tubuh yang dibanting keras disertai rintihan memenuhi ruangan tempat olahraga milik Derry Pratama. Di atas ring inilah menjadi saksi bisu bahwa tubuhnya habis dibanting oleh sang adik. Sangat mengenaskan. Senyum penuh kepuasan terpampang nyata di bibir gadis dengan nama lengkap Debbina Pratama. Iya, seperti yang kalian tahu, dia adalah seorang gadis. Akhirnya ... setelah sekian lama selalu kalah dari sang kakak. Detik ini, hari ini, tanggal ini, bulan ini, dia bisa membalas semua perlakuan sang kakak yang selalu menang atas dirinya. Dia pendendam? Yes! Dia memang pendendam. Debbina adalah seorang pendendam tak terkecuali pada sang kakak. Bagaimana tidak pendendam. Sang kakak selalu mengejeknya. Itulah yang membuat dara cantik keturunan Jawa itu punya dendam kesumat pada sang kakak. Seakan tidak punya hati, Debbina meninggalkan Derry yang masih merintih kesakitan dengan senyuman paling lebar di dunia. Debbina turun dari ring tinju, kemudian mengambil botol air, lalu di duduk di salah satu bangku. Dia membuka tutup botol, dan meminumnya. Rasanya lega sekali sekali setelah menghilangkan dahaganya. "Bii," panggil Derry, sedikit meringis. Debbina memutar bola mata jengah, "Jangan sampai gue bilang kalau Abang nggak sanggup berdiri lagi setelah gue kalahkan tadi." Derry menghembuskan napas panjang. Begini amat punya adik tomboi. Tapi dirinya memang ikut andil sih. Jadi entah siapa yang salah. Dengan penuh perjuangan, Derry mencoba bangun. Rasanya jangan ditanya, seluruh badan kalau tidak lebam-lebam dan biru itu tidak mungkin. Sebab seluruh badannya pada sakit. Wajar saja, semakin bertambah tahun tenaga Debbina semakin besar, bahkan mungkin saja mengalahkan tenaga kuda. "Sepertinya lo punya dendam kesumat sama gue ya, Bii?" tanya Derry setelah duduk di samping Debbina, dan memegang kain berisi es batu untuk mengobati sudut bibir yang sobek dengan menempelkannya berulang kali sesekali meringis kesakitan. "Emang! Dan gue puas banget sekarang," jawab Debbina masih dengan senyum kemenangan. "Lo itu cewek, Bii." Debbina menoleh ke arah Derry, lalu menaikkan satu alisnya ke atas, "Sejak kapan Abang nganggap gue seorang cewek?" "Astaga...." Sepertinya tidak ada kata mengalah dari bibir adiknya itu. Derry jadi penasaran, siapa pria yang akan membuat sang adik mengalah kelak. Atau mungkin pria yang akan menjadi calon suami adiknya nanti, harus benar-benar mempunyai kesabaran seluas samudera dan sedalam lautan. Kalau tidak ... tubuh Derry bergidik. Akan jadi apa calon iparnya nanti. Sebenarnya sia bukan takut ke sang adik, tidak ... tapi lebih ke menghargai adiknya saja. Sifat Debbina yang bar-bar dan tomboi, beda sekali dengan temannya. Linzi Sudjono. Ngomong-ngomong tentang Linzi. Gadis cantik itu katanya sudah pulang ke Indonesia. "Bii, kata mama, Zee sudah pulang ke Indonesia?" tanya Derry beberapa saat kemudian. "Hem ... hari ini gue mau pergi ke rumahnya, terus mau ke Mall buat beli beberapa dress." Derry jadi teringat sesuatu, "Ah, kakaknya mau menikah beberapa hari ke depan kan?" "Benar! Gue mau temenin dia pergi, kali aja kan dapat traktiran dari Zee." "Astaga!" Derry menepuk pelan dahinya. Adiknya itu ... sudahlah suka-suka Debbina saja. "Nanti salamin buat dede imut Zee ya, Bii. Salam dari Kak Derry, gitu," ucap Derry dengan cengiran. Debbina menatap sinis Derry, "Udah mau nikah juga, masih bilang Zee dede imut." "Ya nggak apa-apa, dong! Lagian lo punya sahabat bisa imut gitu ya?" "Serah lo deh. Ngomong sama lo membuat waktu gue yang berharga berkurang banyak." Debbina beranjak dari duduk setelah keringatnya dirasa tidak ada. Badannya cukup lengket, dan dia perlu mandi sebelum pergi ke rumah sang sahabat. "Bang, karena lo kalah, gue pinjam motor buat ke rumah Zee, ya?" teriak Debbina setelah membuka pintu menuju ke luar ruangan. Derry berdecak kesal. Mau heran itu Debbina. Kebetulan Debbina memang tidak mempunyai kendaraan sendiri makanya selalu meminjam miliknya. Entah itu motor atau mobil. Bukannya keluarga mereka tidak membelikan Debbina kendaraan pribadi. Debbina sendiri yang tidak mau, katanya sayang buang-buang uang. Lebih baik untuk makan selama setahun daripada untuk beli kendaraan. Debbina berjalan masuk ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke rumah Linzi sang sahabat. Entah ini keberuntungan Debbina atau kesialan Linzi, karena status sosial mereka berbeda tapi bisa bersahabat. Bahkan sampai bertahun-tahun. Linzi itu putri bungsu dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia, meskipun hanya beberapa orang saja yang tahu identitasnya termasuk dirinya. Sewaktu Linzi membawa dirinya main ke rumah gadis cantik itu, dia cukup terkejut dengan rumah mewah milik sahabatnya. Padahal kalau di sekolah, Linzi berpenampilan seperti orang biasa. Dan lebih terkejut lagi saat mengetahui siapa orangtua Linzi. Debbina tidak menyangka, dia bisa berteman dengan salah satu anak konglomerat yang sangat misterius, si Princess Sudjono. Kalau kebanyakan orang kaya akan sombong dan semacamnya. Linzi berbeda. Dia dengan senang hati berteman dengannya yang bukan anak keluarga kaya raya. Lebih salut lagi, Linzi tidak mau diperlakukan istimewa oleh keluarganya. Ya dong, keluarga mereka juga sudah pada tahu. Termasuk keluarga Linzi yang sudah paham Debbina. Tidak lama kemudian, Debbina keluar dengan penampilan maskulin seperti seorang pria. Celana jeans berwarna biru pudar sobek-sobek di bagian lutut, dan kemeja kotak-kotak hitam digulung sampai siku. Tidak ketinggalan juga topi kebesarannya. Kata Derry, 'Kalau mau mengikuti kata hati, Abang ingin sekali membuang topi jelek itu.' tidak peduli tatapan adiknya yang setajam pedang. "Bang, nanti kalau mama pulang, bilang gue mau ke rumah Zee." "Hem," jawab Derry yang sudah duduk di ruang makan dan memakan bolu buatan mama mereka. "Gue pergi," pamit Debbina setelah hampir sampai di pintu samping garasi. Debbina tidak peduli dengan tanggapan orang lain tentang penampilan dirinya. Yang terpenting dia nyaman, dan berjaga-jaga juga di depan sana, kalau ada yang berani macam-macam sama dia. Hidup itu sesimpel itu kok. Keluarga mereka, terutama sang mama juga tidak melarang dengan penampilannya sehari-hari. Perjalanan menuju rumah Linzi cukup lama, karena jaraknya lumayan jauh. Mungkin memakan waktu sekitar setengah jam, kalau macet bisa lebih lama lagi. Berhubungan ini hari Minggu, jadi jangan kaget Debbina berangkat lebih awal dari jadwal janjian dengan sahabatnya. Akhirnya motor yang dikendarai Debbina sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi rumah sahabatnya. Kalau saja Debbina tidak sering main ke rumah Linzi. Dia yakin pasti sudah diusir oleh satpam rumah Sudjono. Iya dong, penampilannya saja sangat berbeda dengan orang-orang yang mempunyai status sosial tinggi seperti keluarga mereka. "Mari, Pak." Debbina masuk ke dalam rumah setelah menyapa salah satu penjaga rumah sahabatnya. Meskipun mereka berdua sudah lama bersahabat, tapi Debbina masih segan terhadap orangtua Linzi terutama papa sahabatnya. Terkecuali Libra Sudjono, mereka sudah seperti kucing dan tikus kalau bertemu. "Wah, siapa ini yang datang?" Debbina mengelus d**a setelah melihat pria tampan dengan seringai menyebalkan yang sudah sangat, sangat, dia kenal. "Kebiasaan banget ngagetin orang," desis Debbina tajam, sementara pria yang tak lain adalah kakak sang sahabat memutar bola mata jengah. "Lo sendiri yang kagetan malah nyalahin gue." "Terserah deh." Debbina mengibaskan tangan di depan wajah tidak peduli, "Zee mana, Kak?" "Bii!" Belum sampai Libra menjawab, sang adik sudah memanggil Debbina. Di sana Linzi sedang menuruni tangga lantai dua. "Tuh, panjang umur, baru juga tanya dimana udah muncul orangnya." Debbina melirik Libra sebentar, lalu kembali menatap Linzi yang sedang berjalan menghampirinya. "Mau berangkat sekarang?" "Hem, biar nggak kemalaman pulangnya," jawab Linzi. Debbina mengangguk mengiyakan jawaban Linzi. "Ok, kami pergi dulu, Kak," pamit Linzi ke Libra. Libra mengangguk, "Hati-hati di jalan. Dan lo, tolong jagain adik gue!" "Iye," jawab Debbina dengan logat betawi dan raut wajah malas. Saat ini Debbina dan Linzi sudah berada di Mall bersama Karen, pengawal Linzi. Biasa, anak orang kaya memang seperti itu kan. Jadi jangan kaget ya... Karena permintaan Linzi, mereka pulang agak lama. Sebab Linzi sudah lama sekali tidak ke Mall Jakarta. Debbina hanya nurut saja, kan yang bayarin apapun sahabatnya, termasuk dua dress berwarna navy dan putih gading untuk dipakai di pernikahan Libra Sudjono nanti. Sementara itu di tempat yang berbeda... Seorang pria tampan masih saja mendesah karena bosan. Sedari tadi ia menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Kemudian ia menatap malas gadis cantik yang sedang duduk di depannya. Jangan tanya kenapa ia bisa bosan, karena ini bukan kemauannya, melainkan kemauan kedua orangtua mereka. Sebenarnya ia cukup keheranan kenapa tidak bisa menyukai gadis cantik itu. Padahal sekali saja orang lihat, gadis itu bukan gadis sembarangan. Cantik, pintar, kaya, mempunyai body yang sangat didambakan oleh setiap kaum hawa. Namun, entah kenapa ia tidak tertarik sama sekali. Keluarga mereka sudah saling kenal dan kalau mereka bisa menyukai satu sama lain. Jelas hubungan mereka akan lanjut ke jenjang pernikahan. Atau bisa disebut juga pernikahan bisnis. "Masih mau di sini? Saya mau pulang," ucapnya dengan nada datar. Gadis cantik itu mendongak lalu tersenyum ke arah pria yang akan dijodohkan dengannya. "Kenapa?" Pria itu menghembuskan napas gusar, "Karena saya banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakan di kantor." "Ini sudah malam." "Lalu?" Pria itu menaikkan satu alisnya. "Kenapa kerja?" "Perlukah gadis secerdas kamu bertanya. Meskipun malam, ada sebagian orang yang masih bekerja, bukan? Saya mau lembur. Kalau kamu mau tetap di sini, silahkan saja, saya tidak akan melarang." Meskipun nada dan raut wajah pria di depannya sangat datar, gadis itu malah tersenyum. "Kalau begitu saya juga mau pulang. Apa kata orangtua kita nanti, kalau tahu kita pulangnya tidak bareng." "Itu keinginan mereka, bukan keinginan saya." Pria itu beranjak dari duduk setelah mengatakan itu. Ia tidak peduli dianggap apa. Toh, apa yang ia ucapkan memang benar adanya. Ia tidak mau dijodohkan, tapi orangtuanya memaksa. Sementara sang gadis hanya terdiam menatap punggung lebar milik pria bermata biru itu. Bibir bisa tersenyum, namun tidak dengan hati. Ia yakin, suatu saat nanti pria yang dijodohkan dengannya akan menyukainya. Beberapa hari setelah makan malam itu. Pria itu duduk dengan tangan memijit pelipisnya. Sudah beberapa sekertaris ia pecat. Ia tidak butuh sekretaris yang tidak bisa bekerja dan malah menggodanya. Belum lagi kemarin dimarahi sang ayah karena telah memperlakukan calon istrinya semena-mena. Mengingat calon istri membuat ia mendengus kesal. Kata siapa ia setuju dengan perjodohan itu. Tidak! Ia tidak akan pernah! Besok pagi adalah hari tersibuk untuknya, sebab kakak perempuan satu-satunya akan menikah dengan sang kekasih. Ia lebih memilih di kantor daripada di rumah. Toh, yang menikah sang kakak bukan dirinya. Jadi besok saja ia akan meluangkan waktu untuk sang kakak dari akad nikah sampai resepsi. Dan lebih menjengkelkan lagi, ia harus menjemput gadis yang dijodohkan dengannya saat datang resepsi nanti. Bisakah ia datang sendiri? Sungguh malas sekali kalau harus berurusan dengan gadis itu. Untuk tempat tinggal, ia tidak bareng bersama orangtuanya. Ia tinggal di rumah bergaya minimalis berlantai dua dekat dengan tempatnya bekerja. Padahal rumah utama milik orangtuanya sangat besar. Tapi anak-anak mereka tidak tinggal di situ. Ketukan pintu membuat ia sedikit terkejut. Setelah ia mengizinkan masuk. Salah satu orang kepercayaan sekaligus pengacara andalannya masuk sembari membawa setelan jas elegan berwarna hitam yang harganya cukup mahal. "Pak, ini jas buat acara besok malam di resepsi pernikahan kakak Anda. Ibu Anda yang menitipkan ini pada saya." "Ok, terima kasih. Besok jam berapa akad nikahnya?" "Sekitar jam sembilan pagi, Pak." "Ok, pastikan semua pekerjaan beres hari ini. Sebab saya tidak mau besok pagi terganggu pekerjaan. Dan saya minta tolong ke kamu, carikan saya sekretaris baru secepatnya." Boleh kah sang pengacara mengumpat dalam hati? Salah siapa baru juga sekretaris yang lama kerja dua hari, tapi sudah dipecat oleh atasannya. Begitu pula yang sebelumnya. Kalau gini siapa yang repot coba? Untung atasan plus sahabatnya. Kalau tidak... "Baik, Pak." Sang atasan mengibaskan tangan, menyuruh temannya keluar. "Permisi, Pak." "Hem." Dalam hati sang pengacara berdoa. Semoga calon sekretaris berikutnya bertahan dan betah bekerja dengan sang atasan. Tidak terasa waktu sudah pagi. Ia menyaksikan sang kakak menangis bahagia karena calon kakak iparnya--- eh, kakak iparnya mengucapkan ijab qobul dengan satu kali tarikan napas saja. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sang kakak sangat cantik dengan riasan Jawa-Solo, padahal rambutnya pirang seperti dirinya. Ia datang sendiri malam resepsi atau lebih tepatnya tidak mau menjemput gadis yang dijodohkan dengannya. Ia tidak peduli kalau harus mendengarkan omelan sang ayah nanti. Pria itu berjalan untuk mengambil makanan dan setelah mengambil beberapa makanan ia kembali ke tempat semula. Namun ia tidak tahu dari arah berlawanan ada seorang gadis yang bergaun putih gading berjalan tergesa-gesa karena sedang menahan sesuatu. Akhirnya tabrakan itu terjadi. Mata mereka saling bertatapan beberapa menit sebelum gadis itu memekik histeris. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD