T I G A
Melissa melempar tubuh rampingnya di sofa ruang tamunya. Membiarkan rasa lelahnya berpindah pada empuknya sofa. Melissa berniat memejamkan matanya. Namun suara ponsel mengurungkan niat mulianya.
Lexa.
"Kenapa Lexa?" ucap Melissa malas.
"Lo kok gitu sih Mel. Kan gue udah bilang, Nathan itu ibarat penyeimbang lo," cerocos Lexa.
"Ya ampun, tuh bocah ngadu ke lo?"
"Lagian lo kenapa nolak Nathan sih?"
"Nolak apaan Lexa?" Melissa mulai kesal.
"Ya nolak perhatian Nathan, Melissa. Dia itu seriusan tau perhatian sama lo," Lexa memelankan suaranya di seberang.
"Gue juga serius, gak suka gue diperhatiin sama cowok. Kan lo tau sendiri."
"Tapi Nathan itu beda Mel. Dia bukan cowok. Tapi pria.”
“Sama aja. Apa bedanya?”
“Kalo cowok itu suka mainin cewek, kalo pria bertanggung jawab dan serius sama cewek."
Melissa memutar kedua bola matanya malas. Ada gitu pria tukang ngadu? Perasaan dulu adiknya yang ganteng itu biasa-biasa aja.
"Kenapa lo jadi belain Nathan sih? Kenapa lo jadi dukung Nathan segala?" omel Melissa.
"Ini bukan masalah ngebelain atau ngedukung Mel. Ini itu..." Ini itu wujud rasa bersalah gue ke Nathan..
"Lexa... Pokoknya gue gak suka Nathan ikut campur dalam kehidupan gue yang baik-baik aja," hardik Melissa.
"Baik-baik aja? Melissa... lo pernah bilang, kalo gue udah bahagia, lo akan mulai mikir urusan cinta..Gue--"
"Emang lo udah bahagia? Kalo lo udah bahagia, kenapa lo gak balik?" potong Melissa.
"Gue akan balik kok. Segera setelah urusan gue disini kelar."
"Kapan urusan disana kelar? Urusan disini juga butuh lo kelarin. Ada cowok yang nyaris gila karena nunggu lo."
Hening. Baik Lexa maupun Melissa tidak ada yang berbicara.
Hingga suara ketukan pintu rumah Melissa membuat Melissa harus menyudahi panggilan telpon.
"Gue ada tamu, miss you Lexa."
Panggilan itu terputus tanpa menunggu Lexa menjawab. Melissa berjalan malas menuju pintu rumahnya. Membukanya dengan malas juga karena dia sudah tau siapa yang akan bertamu malam ini.
Dan benar saja. Nathan. Dengan tampannya berdiri di depan pintu. Mengeluarkan senyum menggemaskan itu lagi.
"Gue nganter mobil lo. Nih kuncinya, sama kunci rumah lo juga," kata Nathan, menyerahkan kunci yang dia maksud. Melissa menerima kunci itu dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa lo balikin? Lo besok gak kesini?"
"Emang kalo besok gue kesini, lo bisa mastiin kalo gue gak akan dapet penolakan dari lo?"
"Serah lo deh Nath." Melissa membalikkan badannya. Enggan untuk menanggapi Nathan lebih lama. Baru saja badan Melissa memunggungi Nathan. Dengan kuat tangan Nathan menarik tangan Melissa. Membuat Melissa berbalik.
"Denger Mel, gue pasti akan dapetin lo,” seru Nathan menatap Melissa sendu.
“Gue pasti akan dapat menghangatkan relung terdalam hati lo, yang lo bekuin entah untuk alasan apa. One day, you're gonna be mine, Melissa," ucap Nathan sungguh-sungguh. Dengan tatapan tegas dan nada suara yang seperti janji. Janji yang akan dosa jika tidak ditepati. Dan Nathan jelas salah satu dari umat Tuhan yang takut dosa.
Melissa merasakan kerongkongannya mendadak kering tandus. Susah payah Melissa meneguk kembali salivanya. Mendengar ucapan Nathan yang terdengar seperti sumpah palapa patih gajah mada, membuatnya bergidik ngeri.
"Kenapa diem?" tanya Nathan, satu tangannya masih memegang tangan Melissa.
"Lakuin apa yang mau lo lakuin Nath. Gue cuma mau kasih tau, menghangatkan sesuatu yang udah beku, gak semudah ngedipin mata," setelahnya Melissa melepaskan tangannya dari genggaman tangan Nathan. "Sometimes you--"
"Gue akan lakuin apa aja Mel,” Nathan menyela, “Apapun yang bisa membuat lo berada di sisi gue. Sekalipun gue harus jatuh, terperosok dan berdarah-darah.”
Nathan Menatap tajam pada mata abu-abu Melissa. Membuat Melissa kembali merasakan ngeri. Nathan sendiri entah darimana bisa mendapatkan kekuatan untuk mengatakan hal ekstrim seperti itu.
Kenapa hal ekstrim? Karena ini berhubungan dengan wanita. Makhluk ciptaan Tuhan yang belum pernah dia jamah. “Apapun asal akhirnya lo jadi milik gue.”
"Good luck with that." kata Melissa terdengar dingin. Dengan mantap Melissa membalikkan badannya. Kembali memasuki rumahnya. Dengan pasti meninggalkan Nathan.
--The Only Exception--
Ada rasa bersalah yang kini mulai menghantui Melissa. Ucapan dinginnya pada Nathan semalam. Juga perasaan kehilangan manakala pagi ini dia bergegas ke kampus namun tak melihat Nathan di depan rumahnya.
Melissa menutup pintu rumahnya. Kemudian berjalan menuju mobilnya. Membuka pintu mobilnya dan terduduk di balik kemudi mobil.
"Inilah yang gue benci dari cinta. Merasa kehilangan bahkan sebelum saling memiliki."
Ada yang mengganggu konsentrasi menyetir Melissa sepanjang perjalanan menuju kampus. Sesuatu yang aneh. Yang membuat Melissa ingin menoleh ke samping.
Dan begitu Melissa menoleh, dia mendapati ada paperbag di kursi penumpang sampingnya. Melissa buru-buru menepikan mobilnya di pinggir jalan. Meraih paperbag itu dan membukanya.
Yang pertama menarik perhatian Melissa adalah kartu berwarna kuning.
~Jangan lupa sarapan ya :) Karena pura-pura gak peduli itu juga butuh energi yang banyak. Sama banyaknya dengan berjuang untuk menjangkau hatimu yang beku.~
Melissa melirik ke dalam paperbag dimana ada kotak bekal dan botol minuman. Ah juga sticky notes yang tertempel di atas kotak bekal.
~Gue masak sendiri kok, jadi dijamin higienis. Jangan khawatir gue kasih racun atau pelet. Karena gue masih yakin bahwa Tuhan akan mengabulkan doa-doa gue agar bisa bersanding sama lo :) Nathan.~
Senyum Melissa merekah begitu saja. Pipinya jelas saja merona. Entahlah untuk alasan apa.
Mungkin karena bekal itu menyelamatkan Melissa dari antrian sarapan di kantin. Atau mungkin karena surat Nathan yang mulai membuat hatinya merasa hangat.
Yang Melissa tau, saat ini dia ingin sekali bertemu dengan Nathan. Mengucapkan terima kasih.
But NO. Gak semudah itu lo menyerah Mel. Menyerah untuk seorang pria. Untuk cinta dari seorang pria.
--The Only Exception--
"Okey, see you guys," seru Melissa mengakhiri kelasnya siang ini. Setelah melempar senyum ramah pada dua lusin pasang mata di depannya, Melissa segera saja melangkah meninggalkan kelas. Meraih ponsel di dalam tasnya.
"Nothing?" gumam Melissa, mengambil duduk di kursi depan kelas.
Sesuatu yang kecil di sudut hati Melissa mengharapkan Nathan mengiriminya pesan seperti biasanya. Tapi hingga siang ini, Nathan sama sekali tidak mengiriminya pesan. Seolah Nathan melupakan ucapannya yang tentang akan mendapatkan Melissa.
Bravo. Bahkan Lexapun mengabaikan Melissa.
"Tenang Melissa, ini baru satu hari. Bukankah lo udah menghabiskan ribuan hari tanpa adanya lelaki dalam hidup lo?" Melissa menggumam. Memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya.
Jadi untuk apa perasaan ini? Buat apa menunggu untuk sesuatu yang gak terlalu lo inginkan? Untuk sesuatu yang bahkan gak lo harapkan akan hadir? Untuk sesuatu yang bernama cinta?
Ah, lo udah memutuskan untuk tidak peduli dengan cinta.
Melissa memejamkan matanya sejenak. Menyandarkan badannya pada dinding di belakang punggungnya.
Mencoba menepiskan perasaan aneh ini. Menepiskan bayangan Nathan di setiap kali matanya terpejam.
"Melissa.." panggil sebuah suara perempuan. Suara keibuan. Melissa langsung saja membuka kedua matanya. Berharap itu adalah mamanya.
Tapi bukan.
"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" ujar Melissa ramah. Meskipun dalam hati dia ingin mengeluarkan pertanyaan lain. Misalnya, untuk apa anda menemui saya?
--The Only Exception--