E M P A T
Melissa kembali memainkan sedotan jusnya untuk menyalurkan rasa panik dan takutnya. Entah untuk apa rasa itu. Karena jelas saja wanita yang menemuinya bukan hantu sehingga Melissa harus takut atau panik.
Wanita itu hanyalah seorang Julia Grass. Yang cantik mempesona dan berhati mulia. Ya, berhati Mulia karena wanita itu dengan senang hati mewujudkan kembali mimpi Lexa. Membangunkan kembali masa depan indah yang pernah Lexa kubur dalam-dalam. Wanita luar biasa yang sudah menganggap Lexa anaknya sendiri.
Meskipun awalnya, Melissa pernah meragukan Julia. Namun setelah hari pertunjukkan itu, Melissa tau. Julia Grass sangat menyayangi Alexandra Eleanor. Sementara Julia masih terus menceritakan tujuannya menemui Melissa siang ini. Oh, bukan untuk Nathan yang beberapa hari terakhir terus ditolak Melissa.
Tapi membicarakan tentang sesuatu yang lain. Sesuatu yang membahagiakan. Yang membuat Melissa ikut bahagia.
"Jadi, Tante minta tolong sama kamu Melissa. Tolong suruh Mama kamu kesini besok lusa. Tante hanya ingin di hari Dylan membuktikan cintanya pada Lexa, semua orang yang menyayangi Lexa ada disana. Menyaksikan Lexa mereka yang pernah terpuruk, akhirnya mendapatkan kebahagiaan," ujar Julia lembut.
"Iya, Tante. Saya akan minta Mama saya untuk kesini."
"Terima kasih Melissa. Oh ya ini," Julia menyerahkan amplop putih dengan logo salah satu penerbangan pada Melissa, "Untuk tiket Mama kamu."
"Ah tante gak perlu repot-repot. Say--"
"Ini permintaan Dylan, Melissa. Please," Julia terlihat memohon, "Kamu terima ya, Tante tau kok Mama kamu siapa. Tapi ini Dylan yang minta."
Melissa menampilkan senyum segan sambil menerima amplop itu. Dan juga Julia kini menyerahkan goodie bag dengan logo butik terkenal di kota ini pada Melissa.
"Dan ini, tolong kamu nanti juga datang ya. Tante sudah pilihkan gaun buat kamu dan Lexa.”
“Dan juga alamat salon langganan Tante, begitu Lexa sampai, kamu ajak Lexa kesana ya Melissa?" Julia kembali berujar lembut. Melissa kembali mengangguk dan dengan ragu menerima paperbag itu.
"Terima kasih Tante," kata Melissa, mengulas senyum. Julia merekahkan senyumnya.
"Sama-sama, kamu juga boleh kalau mau panggil Tante, Mama kayak Lexa. Biar kita lebih akrab."
Whaaat?
"Iya Tante." Melissa kembali tersenyum.
"Kalo gitu Tante permisi ya. Terima kasih kamu mau membantu Tante dan Dylan." Julia beranjak dari duduknya. Diikuti Melissa yang juga bangkit dari duduknya. "Nathan lagi di Singapore, untuk menjemput papa Lexa dan kakak sepupunya. I just want you to know that," lanjut Julia lirih. Kemudian merengkuh Melissa sejenak.
"I.. iya tante," kata Melissa gugup. Namun jelas merasakan kelegaan setelah mengetahui bocah alim nan ganteng itu berada dimana.
"Dia berangkat subuh tadi, katanya mampir dulu ke rumah kamu untuk memberikan bekal sarapan kamu."
"Nathan itu anaknya baik, Melissa. Tidak seperti Dylan, Nathan memang sedikit nakal waktu masih remaja, itu karena tante yang selalu memaksanya. Tapi sekarang dia jauh lebih baik."
Melissa seketika tersenyum. Bukan. Bukan senyum senang. Tapi senyum tidak enak. Seperti..senyum yang dipaksakan.
"Iya Tante."
"Terima kasih ya Melissa." Julia berlalu. Meninggalkan Melissa yang langsung terduduk lemas.
Ah..ini gak akan mudah. Bahkan Mamanya Nathan sudah ikut dalam urusan ini.
--The Only Exception--
Dan hari itu pun datang. Hari dimana Dylan akan membuktikan cintanya pada Lexa. Mengakhiri segala mimpi buruk yang beberapa minggu ini menghantui Lexa.
Melissa masih memacu mobilnya menjauh dari bandara. Menuju alamat salon kecantikan yang kemarin diberikan oleh Julia padanya.
"Mel, kenapa kita malah kesini ? Kenapa kita gak ke rumah lo aja?" tanya Lexa lagi.
Ke rumah gue? Dan lo akan nemuin Mama gue, Papa lo sama warga lainnya disana? NOPE.
"Diem gak bisa ya lo? Mertua lo kemaren ke kampus, bilang kalo acara ulang tahunnya digelar hari ini da--"
"Hari ini Mel?" mata Lexa sukses terbuka lebar, "Gue gak ada kado."
"Apa menurut lo, Mamanya Dylan itu sejenis orang yang mengharapkan kado di hari ulang tahunnya?" Melissa langsung saja menarik lengan Lexa menuju dalam salon.
Mengabaikan segala jenis protes dari Lexa.
--The Only Exception--
Nathan. Pria tampan itu kini terlihat luar biasa tampan. Mengenakan setelan tuxedo. Dan sekarang Nathan sedang berada di depan cermin di apartemen Leo.
"Heh, bego kecil, lepasin gak tuh baju gue," hardik Dylan,mendaratkan pukulan kecil di kepala Nathan.
"Ampun bang. Gue coba bentaran doang. Yaelah gue udah mandi juga. Udah wangi," Nathan mencebik.
"Lepasin gak?"
"Iya iya gue lepas. Pelit banget lo sama adik sendiri." Nathan mulai melepas tuxedonya.
"Gimana lo sama Melissa?" seru Leo yang kini sedang membuatkan Angel s**u.
"Gak tau. Rasanya susah banget menjamah hatinya. Dia itu dulu dikasih makan apa coba sama Mamanya, sampe bisa sebegitu kuat dan beku," Nathan berkata lemah. Merebahkan badannya pada sofa. “Beda banget sama Lucas yang selalu bersikap hangat sama siapapun.”
"Ya lo semangat dong. Seenggaknya kisah cinta lo gak akan sama kayak gue. Harus berdarah-darah puluhan episode baru menemui ending," kata Dylan menepuk bahu adiknya pelan. Seolah memberi semangat.
"Masa lalu lo udah jelas bersih, masa depan lo juga udah pasti bersih, Nathan," Angel ikut menyemangati.
"Iya lo gak harus jadi hidangan makan malam para tante kesepian baru setelahnya mendapatkan kebahagiaan," Leo menimpali.
"Oh C'mon," Nathan mulai kesal. Beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan Angel, Leo dan Dylan.
Menuju balkon apartemen Leo. Memejamkan sejenak kedua matanya. Sekedar untuk membayangkan Melissa.
--The Only Exception--
"Lo serius gak nganter gue Mel?" tanya Lexa begitu mobil Melissa berhenti di depan hotel yang dimaksud.
"Nope, gue ada sesuatu yang harus dikerjain. Lo buruan masuk sana, gue udah telat," usir Melissa.
"Telat kemana sih?" Lexa terlihat enggan menuruni mobil Melissa. Walau pun satu tangan Lexa bergerak pasti melepas seatbelt dan mulai membuka pintu mobil Melissa.
Telat make up Lexa, kan gue juga harus dateng disini. Teriak Melissa dalam hati.
--The Only Exception--
Dan acara kejutan untuk Lexa pun berhasil. Berhasil membuat Lexa akhirnya mendapatkan kebahagiaannya kembali setelah pernah direnggut untuk kedua kalinya.
Melissa benar-benar tidak bisa menahan haru. Tidak bisa menahan air matanya untuk tidak membanjiri wajah cantiknya saat Dylan memasangkan cincin di jari manis Lexa. Juga saat kedua insan itu berdansa sejenak.
"Congratulation," ujar Melissa di tengah tangis harunya, saat Lexa menghampiri Melissa. Dua sahabat itu kemudian berpelukan.
"Thank you, Melissa. I know it's all because of you." Lexa melepas pelukannya.
"No. It's all because you deserve it, Lexa. Gue bener-bener bahagia akhirnya lo bahagia." Melissa mengusap bahu Lexa.
"Mel, as you see, gue udah bahagia. Now it's your turn. Seperti yang selalu lo bilang, lo akan mulai memikirkannya setelah gue bahagia," kata Lexa sungguh-sungguh, "Love," lanjut Lexa seraya melempar pandang pada manusia tampan lainnya di sudut ruangan.
Nathan. Yang sedang bersandar pada dinding dengan gelas yang entah berisi apa di tangannya. Nathan dengan pandangan kosong. Yang entah menatap siapa.
"He deserves to be happy too, Mel. And his happiness is on you. Cobalah untuk memberinya kesempatan," lanjut Lexa saat kedua mata abu-abu Melissa menatap Nathan.
"Why? Kenapa gue harus kasih dia kesempatan?" tanya Melissa, masih menatap Nathan.
"Because it's your turn. Your turn to believe that love does exist," kata Lexa sembari mengusap bahu Melissa. Membuat Melissa mengalihkan pandangannya pada Lexa. Lexa dengan senyumnya yang merekah.
"I'll try."
"Okay."
Setelahnya Lexa mengedikkan bahunya. Pada Dylan yang sedang berdiri menatap Lexa. Tanpa menunggu Melissa merespon, Lexa berlalu. Meninggalkan Melissa yang berniat membalikkan badan, menuju Nathan.
Namun..
--The Only Exception--
Mempercayai bahwa cinta itu ada, kenapa harus sesulit ini? Kenapa cinta tidak pernah bisa sederhana.
Kenapa cinta harus pelik dan membingungkan.
Oh, bukan cinta yang pelik dan membingungkan. Tapi kehidupanlah yang membuat cinta terlihat rumit.
--The Only Exception--