•Tinggal Bersama•

1704 Words
"Berada di bawah langit yang sama itu sudah biasa. Namun, berada di bawah atap yang sama bersama lelaki berhati sedingin es itu luar biasa. Bahkan berada dalam satu ruang lingkup yang sama. Dia diam. Aku pun diam. Kita sama-sama terdiam." -Raveira Livira Shabira- __________ "Lo keluar sekarang!" "Nggak mau!" "Keluar!" "Nggak mau, Kak!" "Gue bilang keluar!" "Gak!" "Keluar, Vei!" "Eng... gak!" "Lo ini bisa dibilangin pake omongan apa nggak sih? Lo mau gue main tangan?" "Maksud lo? Lo mau pukul gue gitu?" Vei berdecih kesal. Atta menarik lengan kanan tangan Vei, menggeret perempuan itu keluar dari kamarnya. Belum sampai Vei keluar dari bilik kamar Atta, ia sudah berhasil melepaskan cengkeraman tangan pada lengannya itu. "Keluar!" "Lo ngusir gue? Belum sehari gue tinggal di sini. Kenapa lo malah ngusir-ngusir gue sih? Lo itu gimana sih, Kak? Gue nggak habis pikir sama apa yang ada di otak elo itu! Lo baru tadi ngucapin akad nikah dan sekarang lo ngusir gue? Gue ini udah jadi istri elo, Kak. Istri lo! Lo inget nggak sih? Ah elah... gue ngerti... lo kan berengsek." Atta memijit pelipisnya sebentar. Ia tak menyangka bahwa Vei lebih cerewet dari Livi, adiknya. Seharusnya Atta tahu jika semua perempuan itu cerewet dan hobi mengomel. Tangan kanan Atta memegang lengan Vei, pandangan matanya tertuju tepat pada dua bola mata milik perempuan itu. "Dengerin gue," kata Atta dengan nada lebih pelan dari bicaranya tadi. "Gue nggak ngusir elo. Gue cuma minta elo keluar dari kamar gue. Keluar bentar aja. Gue mau sendiri." Vei mengerjap beberapa kali, menyadari dirinya sudah salah paham. "Lagian di depan ada Livi sama El. Mereka berdua temen elo, kan? Mending lo sama mereka. Gue mau sendiri dulu." "Di depan kan juga ada Livi," jawab Vei. Atta dan Vei saling menatap penuh arti. "Livi, Adik elo. Lo nggak mau ikut gabung?" "Kan gue udah bilang, gue pengin sendiri. Vei, please!" Atta membuka pintu kamarnya lebar, menyuruh Vei keluar. "Keluar bentar aja. Sebelum gue hilang akal." "Tapi, nanti gue tidur di sini, ya?" "Lo bisa tidur di kamarnya Livi hari ini," Vei menggeleng. "Nggak mau. Gue tidur di sini." "Tidur di sofa!" Atta langsung menutup pintu kamarnya rapat. Vei pun melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Di sana ada Livi dan El yang sedang menonton televisi. "Eh, Vei..." sapa El. Livi sendiri sedang cekikikan menonton salah satu reality show yang ditayangkan di kotak ajaib itu. "Nonton apaan sih?" "Tuh," El menunjuk dengan dagunya. "Padahal nggak ada yang lucu. Livi malah ketawa nggak jelas gini." "Iiih. Lucu. Lihat aja tuh. Si Aziz pake kostum apaan itu! Hahaha. Norak!" "Itu bukan norak, itu cara dia buat narik perhatian penonton." Livi mengangguk. "Iya! Dan gue dibuat tertarik sama dia." Ting... ting... ting... bakso... bakso... "Bakso!" Livi langsung bangkit dari tempat duduknya, keluar dari dalam rumah untuk mengejar si penjual bakso. "Kebiasaan dari kecil," El terkekeh melihat tingkah Livi yang tidak pernah berubah ketika melihat penjual bakso. Livi selalu dibuat tergila-gila dengan makanan yang bernama bakso itu. Meskipun tadi ia sudah makan, tapi jika ada bakso perutnya terasa lapar lagi. Seperti sekarang. "Livi suka banget sama bakso," ujar Vei. "Iya. Udah dari kecil gitu. Nggak bosen-bosen." ---------- Alat pengukur waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Vei membuka pintu kamar Atta pelan, sepelan mungkin agar tidak membangukan Atta. Karena Vei pikir, Atta sudah tidur. Ternyata salah. Vei masuk ke dalam kamar. Kalian tahu apa yang sedang dilakukan oleh seorang Atta Mahesa di dalam kamarnya sendirian? Atta sedang berdiri di depan jendela kamarnya. Udara dingin silih berganti masuk memenuhi ruangan kamar Atta saat ini. Sebelah tangan Atta mengapit rokok di sela jarinya dan tangan satunya lagi digunakan untuk mengarahkan ponsel yang berada di tangannya pada telinga kanan. "Gue nggak bisa malam ini," "Tumben? Lo kenapa? Ada masalah lagi, Nyet?" "Bokap sama Nyokap ngelarang gue keluar malam ini," "Ck, udah jadi anak penurut lo sekarang?" "Bukan gitu. Lo tahu sendiri kan hari ini hari apa?" "Emang hari apa?" "g****k! Jadi cowok itu jangan ogeb-ogeb napa!" "Gakpapa ogeb, asalkan ganteng kayak gue. Ye, kan?" "Ganteng apanya! Udah deh. Pokoknya hari ini gue nggak bisa." "Eh,eh... lo beneran nggak bisa dateng?" "GAK!" "Galak amat, Bang!" "Makanya... ya udah gue mau tidur." "Gue baru inget. Tadi pagi kan elo nikah! Wah, gue lupa. Lo sekarang kan udah punya istri. Ck,ck, ck. Baru aja lulus SMA. Baru dapet ijazah langsung IJAB SAH." "Diem lo! Kebanyakan bacot!" "Gimana istri lo? Cantik gitu, sayangkan kalo lo anggurin," "Serah! Gue mau tidur!" "Malam pertama... mainnya pelan-pelan... jangan kasar... kasihan cewek kayak Vei----" "Malam pertama pala lo peyang! Lagian nih, gue nikah sama dia itu kepaksa!" "Emang lo harus nikahin dia. Kan elo udah buntingin si Vei." "Gue nggak tahu. Dia itu cewek kayak apa... yang gue yakin... dia itu bukan cewek baik-baik..." "Maksud lo?" "Lo tau sendiri, kan? Gue ketemu dia aja di kelab. Ngapain cewek kayak dia ke tempat kayak gitu? Pikirin lagi! Dia itu bukan cewek baik-baik." Rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh pisau tajam hingga menembus ulu hati. Lagi dan lagi Atta mengatakan hal yang tidak ingin didengar oleh Vei. Vei merasa sebegitu kotorkah dirinya hingga Atta berpikiran buruk terhadapnya? "Hahahaha... berarti kalian berdua itu sama," "Cot! Gue mau tidur!" Atta langsung mematikan sambungan teleponnya. Laki-laki itu menoleh ke samping. Hal pertama yang dilihat Atta adalah Vei yang sedang duduk di sofa dengan pandangan yang nanar. Rokok yang berada di tangannya sudah habis diisap lalu ia menutup jendela kamarnya. Lantas merebahkan diri di kasur. Atta diam. Vei pun diam. Sampai akhirnya Vei buka suara terlebih dahulu, "apa pikiran lo tentang gue itu selalu buruk?" Atta tidak bersuara. "Gue udah bilang, gue itu nggak seperti yang ada dipikiran elo, Kak. Kenapa sih lo nggak percaya sama gue?" Atta tetap tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun. Yang jelas laki-laki itu belum tidur dan masih mendengarkan apa yang dikatakan Vei saat ini. "Apa yang harus gue lakuin biar lo percaya sama gue?" "Nggak ada," akhirnya Atta buka suara. "Gue mau tidur. Jangan ganggu gue." Atta merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk lalu mengangkat tangannya ke atas, melepaskan kaos abu-abu yang dipakainya. Setelah itu Atta bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke arah Vei yang sedang duduk di sofa. "Lo mau ngapain?" tanya Vei saat dilihatnya Atta semakin mendekat ke arahnya dengan bertelanjang d**a. Apa yang akan dilakukan Atta pada Vei? Pikiran-pikiran negatif pun mulai bermunculan dalam kepala Vei. Tangan Atta meraih stopkontak yang berada di belakang sofa tempat Vei duduk saat ini. Vei menahan napasnya barang sejenak. Karena ia mencium aroma wangi dari tubuh Atta. Aroma itu menyeruak memenuhi rongga hidung Vei saat ini. Aroma bunga lavendel yang segar melekat di tubuh Atta. "Jangan dimatiin," Vei mencegah tangan Atta yang akan menekan tombol off untuk mematikan lampu kamarnya. "Gue aja nanti yang matiin." Atta tak menjawab. Laki-laki itu langsung kembali ke tempat tidurnya, meraih selimut berwarna putih miliknya. Kemudian menyelimuti tubuhnya hingga menutupi bagian atas. "Kenapa lo nggak pake baju pas lagi tidur?" "Gerah!" "Kalo gerah, lo bisa nyalain AC." "Lo kebanyakan ngomong! Udah gue bilang kan, gue lebih suka lo itu diem aja." "Gue sumpahin lo masuk angin!" "Bacot mulu!" Vei menghela napas lega untuk dua hal sekaligus. Pertama, pikiran negatif Vei tentang Atta malam ini tidak benar-benar terjadi. Kedua, lampu kamar Atta tidak jadi dimatikan. Itu membuat Vei tenang. ---------- Dada Vei kembang kempis dan napasnya memburu dengan cepat. Keringat dingin bercucuran di dahi perempuan itu. Matanya terpejam rapat. Udara dingin menyelimuti sekitarnya. Vei tersentak kaget. Saat bangun dirinya berada dalam kegelapan. Benar-benar gelap. "Arrgh..." Vei menggeram. "Apaan sih lo! Ganggu orang tidur aja." Atta menyalakan lampu kecil yang berada di meja samping tempat tidurnya. Vei langsung menuju ke arah Atta. Karena kamar Atta gelap, hanya ada cahaya yang berasal di dekat Atta itu. Cahaya dari lampu kecil. "Kak..." "Apaan sih lo!" Atta akan melepaskan pelukan Vei, tapi perempuan itu menahannya. "Lepas! Gue bilang lepasin!" Vei malah semakin menenggelamkan kepalanya pada d**a bidang milik Atta. Ini sudah kedua kalinya Vei memeluk Atta. Namun, kali ini Vei memeluk Atta karena ketakutan. Dan Vei bisa langsung bersentuhan dengan kulit Atta. Karena memang Atta sedang tidak memakai baju. "Enggak!" Vei mulai sesenggukan. "Gue takut." "Lo kenapa lagi sih?" "Nyalain dulu lampunya," "Lepasin dulu ini!" Atta menunjuk tangan Vei yang melingkar di pinggangnya. "Lepasin, Vei!" Akhirnya Vei melepaskan pelukannya pada Atta. Atta langsung menjauh dari Vei. Menciptakan jarak di antara keduanya. Lalu menekan tombol on pada stopkontak agar kamarnya itu diterangi oleh cahaya lampu. Atta bisa melihat raut wajah ketakutan Vei saat ini. Wajahnya merah padam dan dilumuri oleh air mata. Jari-jemarinya sedikit gemetar. Dan yang jelas Vei masih sesenggukan. "Udah gue bilang ya... lo nggak boleh ngelanggar peraturan. Jaga jarak antara elo dan gue. Inget itu!" "Kenapa sih lo matiin lampunya?" tanya Vei disela tangisnya. "Kan emang harus dimatiin. Lo tadi bilang, lo aja yang matiin. Tapi, apa? Lo malah tidur." "Gue nggak suka gelap," ucap Vei. "Gue takut gelap." Satu hal yang baru diketahui Atta tentang Vei, yaitu ia takut akan kegelapan. Sama seperti Livi yang takut akan suara pesawat. "Kenapa elo nggak bilang? Lo seharusnya bilang!" "Gue takut elo marah," Vei memilin bajunya. "Gue takut ngelihat wajah Kak Atta pas marah." "Gue nggak bisa tidur kalo lampunya masih nyala." "Gue nggak bisa tidur kalo lampunya dimatiin." "Yaelah! Lo nyusahin aja... tidur sama Livi sana." "Nggak mau," "Mulai besok lo tidur sama Livi. Titik. Nggak ada penolakan." "Enggak! Gue nggak mau. Gue mau tidur di sini." "Astaga... lo buat gue emosi!" "Jangan marah," Vei menunduk sembari menggigit bibir bawahnya. "Gue nggak bermaksud buat elo emosi." "Serah lo! Gue mau tidur sekarang!" "Jangan tidur dulu," Vei menahan lengan Atta. "Lepasin nggak!?" Atta memberi tatapan yang menghunus tajam, seakan tatapannya itu mematikan. "Nggak usah pegang-pegang!" "Gue masih takut, Kak." "Nggak usah manja jadi orang!" "Boleh ya... gue tidur di sini..." Vei menujuk tempat tidur di samping Atta. "Cuma malem ini. Please, Kak!" Atta memandang Vei dengan tatapan tidak percaya. "Gue janji nggak akan ganggu elo. Nggak akan nyusahin elo lagi. Gue cuma pengin tidur bareng elo." Atta memiringkan kepalanya. "Tidur bareng gue?" Vei mengangguk antusias, penuh semangat. Akankah Atta mengizinkan Vei untuk tidur bersamanya? Bisakah Atta membuka hatinya untuk menerima Vei? Perempuan yang telah dilukai batin dan fisiknya secara tidak langsung. Mungkinkah sikap dingin Atta bisa mencair seiring berjalannya waktu yang akan mereka lewati bersama? Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD