•Peraturan•

2227 Words
"Tak apa menjadi istriku. Tak apa berada dalam satu ruang denganku. Asalkan jangan dekat denganku, seolah kita punya hubungan lebih." -Atta Mahesa- __________ "Boleh ya... gue tidur di sini..." Vei menujuk tempat tidur di samping Atta. "Cuma malem ini. Please, Kak!" Atta memandang Vei dengan tatapan tidak percaya. "Gue janji nggak akan ganggu elo. Nggak akan nyusahin elo lagi. Gue cuma pengin tidur bareng elo." Atta memiringkan kepalanya. "Tidur bareng gue?" Vei mengangguk antusias, penuh semangat. Ia langsung duduk di tepi ranjang tempat tidur Atta, membuat laki-laki itu beringsut menjauh. "Jangan deket-deket gue!" Vei mengambil guling milik Atta lalu meletakkannya di tengah. "Ini batasnya... jadi, nggak boleh ada yang ngelewatin batas ini. Ok?" "Ngaco lo!" pandangan mata Atta terarah pada sofa yang berada di depannya. "Balik sana ke tempat lo!" "Please, malam ini aja, Kak. Ya, ya, ya?" Vei masih memohon pada Atta, berharap laki-laki itu berubah pikiran. "Ya, Kak? Iya? Iya, kan? Ah... bilang iya aja susah banget sih lo!" Atta membuka matanya lebar-lebar seakan tidak percaya dengan perilaku Vei saat ini. "Gue nggak akan ngapa-ngapain lagi. Gue nggak bakal nyusahin elo, Kak. Gue akan nurutin semua perintah elo. Gue bakal naatin peraturan yang lo buat itu, tapi buat malam ini... izinin gue tidur sama elo," dengan satu helaan napas ia melanjutkan. "Gue bakal diem mulai sekarang." Vei memajukan wajahnya dan Atta malah semakin menghindarinya. Dengan tertawa kecil Vei menarik selimut putih milik Atta dan tertidur di ranjang itu. "Hei!" Atta memekik keras. "Siapa yang ngizin lo tidur di sini?" "Elo," jawab Vei masih dengan memejamkan matanya. "Bangun!" Atta menarik selimut yang menyelimuti tubuh Vei saat ini. "Tidur. Di. Sofa. Sekarang!" kata-kata yang Atta katakan, ia ucapkan dengan penuh penekanan. "Nggak mau!" Vei merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Lagian kasur lo ini besar, ukuran king size bukan sih? Muatlah buat kita berdua... lo nggak bakal kesempitan kok. Lagian nih yah... sekarang itu udah jam 2 pagi... bentar lagi subuh... jadi, biarin gue tidur di sini sebentar aja..." "Mulut lo tuh nyerocos terus! Nggak bisa berhenti apa? Heh!" "Gue lagi memberi penjelasan sama elo, Kak." Vei menyatukan rambutnya menjadi satu lalu menggulungnya secara asal, membuat lekukan leher jenjangnya terlihat dengan jelas. "Penjelasan yang sejelas-jelasnya buat lo! Biar pikiran lo itu terbuka!" Atta bersusah payah menelan ludahnya sendiri. Ia tidak pernah merasa seperti ini. Merasakan hawa panas disekujur tubuhnya setiap kali melihat Vei. Entah apa pun yang dilakukan perempuan itu selalu bisa membuat Atta tertegun untuk beberapa saat. Ada rasa baru yang menyelimuti hatinya saat ini. Membuatnya diam seribu bahasa dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. "Lo diem aja, kan?" Vei kesal karena Atta hanya diam tak memberi respons apa pun, sedangkan dirinya sendiri sudah mulai dilanda rasa ngantuk yang tinggi. "Lo diem, itu artinya lo ngizinin gue tidur di sini." "Enggak!" bentak Atta, tangannya menyikap selimut yang menutupi tubuh Vei. "Berdiri! Balik ke tempat elo lagi." "Gue takut," "Nggak bakal gue matiin lagi lampunya." Atta memberi tatapan tajamnya pada Vei. Pandangan mata Vei menunduk, tidak ingin beradu tatap dengan bola mata tajam milik Atta. "Tapi, gue---" "Nggak usah cari alesan." "Gue nggak bisa tidur, Kak." Atta mengacak rambutnya dengan frustasi. Menyadari sikap Vei yang begitu keras kepala. "Vei, please!" "Sekali ini aja, Kak. Gue mohon," Vei menggigit bagian bawah bibirnya, berharap Atta berubah pikiran. "Gue nggak bakal ngapa-ngapain kok. Gue bakal diem aja. Janji. Gue janji." Vei mengangkat jari kelingkingnya, menyatakan bahwa ia berjanji dan tidak akan mengingkarinya. Lo nggak bakal ngapa-ngapain, tapi gue? Gue cowok normal yang nggak bisa diem aja tidur satu ranjang sama cewek. "Kak?" Tetap tidak ada respons dari Atta. "Gue bakal diem kok, Kak. Kan gue udah janji." Lo mungkin bisa diem tidur satu ranjang sama gue, sedangkan gue? Gue nggak bisa tinggal diem gitu aja. Atta memejamkan matanya sebentar lalu mengepalkan tangannya. Mencoba meredam amarahnya sendiri. "Lo tidur di sofa," Vei langsung membuka mulutnya, bersiap untuk menyela perkataan Atta itu. "Nggak ada penolakan. Sebelum gue hilang akal dan ngelakuin hal yang enggak lo ingini." Atta memajukan wajahnya tepat di depan wajah Vei, membuat perempuan itu menahan napasnya. Berada di dekat Atta itu selalu bisa membuat Vei tidak bisa bernapas dengan lancar. Walaupun Vei sudah menahan napasnya, tapi ia masih bisa mencium aroma bunga lavendel dari tubuh Atta. Aroma yang bisa membuat Vei merasakan kehangatan tanpa harus saling bersentuhan. "Inget baik-baik! Karena gue nggak akan ngulang ini untuk yang kedua kalinya." Bola mata Atta memberikan tatapan mengintimidasi pada Vei, membuatnya membelalak. "Gue bukan cowok baik-baik!" Vei sudah tahu itu. Dari awal Vei sudah tahu bahwa Atta itu bukanlah laki-laki yang baik, yang diharapkan oleh banyak perempuan di luar sana. "Gue orang jahat!" Atta mengamati setiap gerak-gerik Vei. Namun, Vei tidak pernah merasa terancam dengan semua perkataan yang Atta ucapkan. "Gue bisa dengan mudah nyakitin elo! Jadi, jangan buat gue marah." "Gue nggak bakal buat lo marah, Kak." Vei berucap dengan nada lirih, tatapannya pun tidak pernah lepas dari dua bola mata milik Atta. "Gue juga bisa ngelakuin banyak hal yangg nggak lo ingini." Mulut Vei sedikit terbuka, perempuan itu bingung dengan maksud dari perkataan Atta barusan. Baru saja Vei akan menyela, tapi tangan Atta sudah terlebih dahulu menangkup kedua sisi wajah Vei. "Salah satunya ini," Atta mengusap bibir Vei. Hanya dengan usapan itu saja bisa membuat tubuh Vei merasakan hawa panas. Keringat dingin mulai bercucuran di kening perempuan itu. "Gue bisa ngelakuin banyak hal gila... kalo lo tidur satu ranjang bareng gue. Tidur bareng gue!" ada penekanan disetiap suku kata yang diucapkan Atta. Vei tahu betul apa maksud dari perkataan Atta itu. Perempuan itu paham dengan semua keinginan Atta saat ini. "Kak Atta..." Vei berusaha keras menyembunyikan rasa takutnya saat ini. Perempuan itu tidak mau terlihat lemah dihadapan Atta. "Oke. Gue nggak bakal minta tidur bareng lo lagi." Vei menghela napas lega saat Atta menurunkan tangannya dari sisi wajahnya yang memerah. "Sebelum ngomong... seharusnya lo bisa pikir dulu," Atta menunjuk kepala Vei dengan jari telunjuknya. "Pikir pakai otak elo!" Saat Atta sudah menciptakan jarak di antara keduanya, cepat-cepat Vei melangkahkan kakinya menuju sofa. Tidak ingin berhadapan dengan Atta lagi. "Seharusnya lo tahu maksud dari perkataan lo tadi, lo bilang pengin tidur bareng gue?" tanya Atta dengan senyum mengejek. "Gue tadi..." Vei gugup. "Maksud perkataan gue tadi nggak kayak yang lo pikirin." "Oh ya?" Atta tidak percaya. "Gue pengin tidur bareng elo. Itu artinya cuma tidur bersebelahan, Kak. Nggak lebih dari itu." Vei memberi penjelasan, sedangkan Atta tidak menanggapinya. "Lo tahu nggak kalo lo hari ini itu udah banyak ngomong." Vei merasa Atta akan melakukan hal gila kali ini. Hal gila yang bisa membuatnya menahan napas lagi. "Lo masih inget kan sama peraturan yang gue buat tadi pagi?" Vei mengangguk. "Itu artinya lo udah ngelanggar peraturan karena lo udah banyak ngomong. Dan orang yang udah ngelanggar aturan itu harusnya dihukum, kan?" "Gue nggak sengaja, Kak." "Sengaja ataupun enggak... gue tetep akan hukum elo, kalo lo masih ngomong ini-itu yang nggak jelas." Diam. Antara Vei dan Atta saat ini hanya ada keterdiaman. Vei merasa sudah melakukan kesalahan besar mencoba untuk dekat dengan Atta, sedangkan Atta merasa dirinya terganggu dengan kehadiran Vei dalam hidupnya saat ini. "Hari ini gue nggak akan hukum elo! Tapi, untuk besok dan seterusnya..." Atta kembali membuat Vei merasa takut. "Gue akan hukum lo, kalo lo ngelanggar peraturan yang gue buat. Kalo lo nggak ngelanggar sih, gue nggak usah repot-repot buat hukum lo. Jadi, kalo lo pengin aman tinggal di sini... turutin perintah gue. Ngerti?" Vei mengangguk secara perlahan. ---------- Morning sickness. Kini hampir setiap paginya Vei mengalami mual-mual karena memang itu merupakan ciri utama pada saat hamil. Atta terbangun dari tidur nyenyaknya saat mendengar suara gaduh dari kamar mandi. Ya, itu adalah Vei. Vei keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah lesu. Sebenarnya, Atta merasa bersalah membuat Vei harus merasakan itu semua karena ulahnya. Karena dirinya Vei merasakan apa yang seharusnya tidak dirasakannya saat ini. Diusianya yang cukup muda ini perempuan itu harus mengandung anaknya. "Kenapa?" Vei menggeleng. "Nggak papa kok." "Lo pikir gue bego?" "Hah?" Vei balik bertanya. "Gue lihat lo bolak-balik ke kamar mandi dan lo bilang nggak papa? Lo hari ini muntah-muntah?" "Kalo lo udah tau kenapa lo masih tanya lagi sih, Kak?" Deg. Benar juga apa yang dikatakan Vei. Atta sudah tahu kalau perempuan itu sedang mengalami morning sickness, tapi ia tetap menanyakan apa yang terjadi. Mungkin maksud Atta untuk sekadar berbasa-basi. Atta mengusap tengkuknya lalu berlalu meninggalkan Vei yang duduk sendiri di sofa. "Vei, ayo sarapan dulu!" Nila kini sudah berada di depan kamar Atta. "Atta di mana?" "Kak Atta masih di kamar mandi, Ma." Suara Vei semakin mengecil diakhir kalimat karena dirinya belum terbiasa memanggil orang lain dengan sebutan mama. Rasanya masih sama. Vei masih belum rela. Padahalkan Nila itu ibu mertuanya, tapi ia belum bisa menganggap seperti itu. Sebab semua terjadi tanpa aba-aba. Membuat Vei sedikit tersentak dengan apa yang dihadapinya saat ini. "Nggak usah sungkan sama Mama. Kalo ada apa-apa bilang, ya," Nila menepuk pundak Vei pelan lalu mengajak perempuan itu keluar dari kamar menuju ruang makan yang berada di dapur. "Kita sarapan dulu sekarang ini." Di ruang makan sudah ada Livi dan Teguh. Mereka berdua sibuk membaca koran dan membicarakan berita hangat yang sedang beredar di kalangan masyarakat saat ini. Vei merasa iri melihat kedekatan Livi dan Teguh. Vei iri karena Livi masih mempunyai kedua orang tua yang utuh, yang masih sangat menyayanginya. "Vei, gimana tadi malem?" "Gimana apanya?" "Lo sama Kak Atta," Livi berucap dengan setengah berbisik. "Lo ngapain aja sama Kak Atta?" Vei sekilas membasahi bibirnya dengan air ludahnya. "Nggak ada." "Nggak ada?" Livi mencebikkan bibirnya. "Nggak ada sama sekali?" "Ya udahlah. Nggak usah dibahas." Vei mengakhiri percakapan keduanya karena melihat Atta yang berjalan menuju meja makan. Atta langsung duduk di meja makan dengan biasa. Selama sarapan tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya ada suara alat-alat makan yang saling beradu satu sama lain. Sampai suara seseorang yang bisa mencairkan suasana itu datang. "Assalamu'alaikum, Mamer dan Pamer..." Livi mendengus kesal. Lagi-lagi pagi harinya selalu didatangi oleh makhluk menyebalkan. "Wa'alaikumsalam. Masuk aja, El." Nila menyuruh El masuk dan ikut bergabung menikmati sarapan pagi. "Kalo gue nggak salah denger, tadi lo bilang... Mamer? Pamer?" tanya Vei karena ia tidak tahu maksud El. "Itu maksudnya apa?" El tersenyum semringah melirik Livi yang cemberut. "Lo nggak tau maksud gue?" Vei menyantap satu sendok nasi goreng lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaan dari El itu. "Mamer itu artinya Mama mertua, sedangkan Pamer artinya Papa mertua," El menatap Nila dan Teguh secara bergantian. "Iya, kan Ma, Pa?" Teguh menganguk, tangan kanannya terulur menepuk bahu El. Laki-laki paruh baya itu seakan akrab sekali dengan El. "Enggak! Nggak usah aneh-aneh deh, El!" Livi merajuk. "Ini masih pagi, El! Jangan buat gue emosi!" El menjulurkan lidahnya, mengejek Livi agar kemarahannya semakin meluap. Livi sebisa mungkin menggeram, menahan amarahnya. Vei, Nila, dan Teguh terkekeh geli dengan kelakuan dua remaja itu. Lain dengan Atta yang tampak menikmati sarapannya tanpa memedulikan keadaan sekitarnya. Tak memedulikan apa pun yang terjadi di sana. Livi beranjak dari tempat duduknya sembari membawa piring kotor yang ada di tangannya. "Liv, tungguin gue napa sih!" Livi tak menghiraukan El yang terus-terusan memanggil namanya. Dengan cepat El melahap habis makanan yang masih tersisa di piringnya lalu mengikuti dari belakang. Livi selalu saja dibuat risi oleh kehadiran El karena ia merasa laki-laki itu selalu saja menempel padanya seperti permen karet. "Ma, aku berangkat dulu, ya!" pamit Livi pada Nila. "Aku juga ya, Mamer." Sahut El yang dibalas sikutan siku oleh Livi. "Sakit, Liv." "Yah, hari ini aku ujian... do'ain ya!" Livi memasang wajah speechless miliknya pada Teguh, membuat laki-laki tertawa kecil. "Iya, Ayah do'ain kok. Minta do'a juga sama Mama kamu," "Kalo sama Mama udah dari kemaren." "Pamer, hari ini aku juga ada ujian, do'ain juga, ya!" Livi langsung menjitak kepala El. "Aw!" ringisnya. "Liv, jangan kasar gitu!" Nila memperingatkan Livi karena sedari tadi dirinya melihat anak perempuannya itu berlaku kasar pada El. "Ma! Aku itu lagi sebel sama El!" "El salah apa sih sama kamu? Hah?" Livi tampak berpikir sebentar lalu menggelengkan kepalanya. "El nggak salah apa-apa, tapi aku sebel sama dia." "El nggak papa kok, Mamer. El selalu sabar ngadepin Livi." "Ah elah! Ini tuh masih pagi El, kenapa sih lo udah ganggu gue? Ish," "Udah-udah mending kalian berangkat sekarang." Nila menyiapkan kotak makan siang untuk Livi. "Astaga!" El menepuk keningnya sendiri. "Gue lupa!" "Apa lagi?" "Lo hari ini berangkat sendiri, bisa? Gue ada urusan mendadak." "Alhamdulillah!" seru Livi senang. "Akhirnya lo nggak ganggu hidup gue." "Maaf banget," El mengetikan balasan pesan di ponselnya untuk seseorang lalu melirik Livi. "Tapi, nanti siang pulang bareng gue, ya!" "Serah lo!" El bersalaman dengan Nila dan Teguh. "Mamer, Pamer... aku berangkat dulu, ya. Maaf pagi ini aku nggak bisa jagain Livi." "Udah sana berangkat!" Livi mengusir El. "Kapar, gue berangkat dulu!" pamit El pada Atta dan Vei. Vei hanya bisa mengernyitkan keningnya, bingung dengan ucapan El itu. "Nggak usah terlalu dipikirin, Vei. Dia emang rada sinting. Eh, kayaknya emang udah sinting deh." "Hush! Livi nggak boleh ngomong gitu." "Ma!" "Ya udah. Cepet berangkat sana! Nanti terlambat." "Yah, aku berangkat dulu, ya." Livi bersalaman dengan Teguh lalu mengecup pipi laki-laki paruh baya itu sekilas. "Sayang, Ayah." Atta yang melihat itu lalu beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan ruang makan. Bagi Atta, keluarganya itu selalu tidak adil padanya. Atta merasa kedua orang tuanya itu hanya menyayangi Livi, sedangkan dirinya tak dianggap kehadirannya. Vei secara tidak langsung bisa merasakan apa yang Atta rasakan. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD