BAB 2

1405 Words
Memahami makna dari pengorbanan. Bisa kau lepaskan semuanya. Lepaskan semuanya dan datang padaku. Mendekat padaku dan berbagi dunia. Aku berikan duniaku dan kau berikan duniamu.   Tidak! Kau tak perlu khawatir dan bertanya bagaimana. Aku sudah menggenggammu. Aku menggenggam tanganmu dan kita saling memberikan. Mata dengan mata. Ingat apa yang aku katakan.   Kau tak perlu takut. Tidak, aku sudah lebih dulu menggenggammu.   ****     Jemari lentik Valerie bergerak luwes membenarkan letak kancing kemeja yang Justin kenakan dengan santai. Bibirnya tak sedikitpun tertekuk meski perlakuan manja Justin amat mengganggunya. Tapi tidak. Bagi gadis berumur 23 tahun itu adalah sebuah kesenangan tersendiri menyaksikan wajah manja kekasih tampannya itu.   Setelah merajuk habis-habisan lantas merayunya dengan godaan dan hasilnya ya. Tak cukup memuaskan, toh pada akhirnya Justin luluh. Mengikuti ucapannya untuk datang.   "Aku suka gaunnya Justin," ucap Valerie diselingi senyuman manis. "Terima kasih, King," bisiknya lirih di telinga Justin. Mengecup daun telinga milik lelaki jangkung yang berstatus kekasihnya hingga desisan meluncur seksi di celah bibirnya.   "Kau memulai, maple." Satu cengiran polos berhasil Valerie sematkan begitu mendengar penuturan tajam Justin. Ya, itu hanya makna kiasan lembut untuk segera berhenti sebelum berakhir di atas ranjang, lagi.   "Perfect," pekik Valerie girang. Satu tangannya terangkat ke atas menyematkan pomade guna merapikan tatanan rambut Justin.   "Ngomong-ngomong gaunmu cantik Miss Frankson." Satu pelukan erat mampu membuat Valerie terdiam mematung. Namun, bukan itu masalahnya. Hanya saja, ungkapan akhir dari kalimat yang Justin ucapkan benar-benar menohok hatinya. Panggilan Frankson terdengar lain di pendengarannya, bahkan terkesan hambar bagi Valerie yang muak dengan permainan ini.   Mengembuskan napas dalam, Valerie menghirup aroma maskulin menenangkan milik Justin. Sedikit memberinya rasa rileks.   "Kau yang terbaik Valerie. Hanya kau. Apa ini menyakitimu?"   ****   Valerie terdiam mematung di sudut ruangan—menjauh dari kemewahan pesta.   Menatap nanar setiap tamu yang melintas—sembari memberikan tatapan iba lewat sorot matanya. Menjijikkan! Valerie mendengus memalingkan wajahnya. Teringat mengenai pertanyaan Justin beberapa jam yang lalu sebelum tungkainya berdiri di ruangan megah ini. Dan jawaban diam Valerie tunjukkan. Tapi hatinya mengerang sakit. Terkekeh dalam diam, Valerie benci menjadi munafik.   Menyesap Wine dengan gerakan santai dan anggun, mencecap rasa yang tertinggal di bibirnya lantas membiarkan minuman itu melewati kerongkongannya yang mengering.   "Aku mencarimu." Tersenyum. Valerie mendengar satu suara yang amat di sukainya, Justin.   "Kau tak seharusnya di sini." Tegasnya lugas penuh penekanan. Ya, lelaki tampan itu tak pernah tanggung-tanggung menunjukkan wibawanya dan jangan lupakan soal tempat, karena baginya tempat bukanlah penghalang.   "Aku tak ingin mengganggu." Valerie mengusap pipi Justin perlahan. Memandang bahagia dengan binar bening netra cokelatnya. Beradu pandang menembus kelamnya pesta tepat di manik lelehan madu kekasihnya. "Apa pemberkatannya lancar?" Konyol! Itu jelas pertanyaan konyol yang lantas mendapat dengusan kesal dari Justin.   "Aku melakukan semua ini karenamu, maple. Kau tahu, aku amat sangat mencintaimu. Dan... Jangan ada penolakan usai ini. Kau harus tinggal bersamaku. Ikut denganku!" Itu perintah termanis yang pernah Valerie dengar hingga membuatnya terkekeh. Badannya bergetar dengan bahu naik turun.   "Kau tampan, King." Mengalihkan pembicaraan, Valerie menelisik teliti pakaian Justin. Kagum, oh benar-benar kekasihnya itu sangatlah tampan. Membuat siapa pun histeris.   Tuxedo hitam elegan berpadu padan dengan kemeja pulkadot dan dasi yang terlilit rapi di lehernya. Bagian kesukaannya adalah rambut cokelat madunya yang halus. Tatanan itu akan sangat menambah kesan seksi ketika jari-jari lentik milik Valerie meremasnya. Menyalurkan tahanan desahan serta kenikmatan secara bersamaan.   "Kau juga sangat cantik sayang. Tapi..." Berdehem pelan, cool. Hanya itu yang mampu Valerie tangkap. Oh, kenapa sikapnya sangat kekanakan semacam remaja high school. Bahkan dirinya telah menjadi kekasih Justin selama satu tahun dan terus saja terpukau.   Justin meremas pinggang ramping Valerie lembut, mendekat hingga tak ada celah jarak yang tercipta, sedikit mengendus wangi parfum memabukkan milik gadisnya.   "Sepertinya aku salah memesan gaun ini karena sialan b******n itu menatapmu lapar." Manis sekali. Jemari Valerie menyusuri leher Justin dan berhenti tepat pada tato sayap di belakang lehernya. Tato kesukaannya—menambah kesan wibawa tinggi dan misterius bersamaan. Kekasihnya itu sangat imut jika sedang cemburu seperti ini.   "I'm yours King." Itu kenyataan bukan. Tak ada celah untuk melawan. Kekasihnya tak suka di lawan.   "Meski begitu.,. Astaga aku bodoh sekali menjadikan kekasihku objek tatapan lapar." Menggeram kesal, Justin melayangkan tatapan benci tepat di sudut ruangan sebelahnya dengan tajam. Lelaki itu berjengit kaget lantas berlalu pergi. "Lihatlah Justin. Kau tak salah memilihkan gaun untukku. Ini masih tertutup. Hanya lengan yang sedikit terbuka." Jelas Valerie mencoba memberi pengertian untuk Justin—meski tak mudah. Lelaki tampan itu sangat suka mengandalkan emosinya ketimbang lebih dulu menahannya.   Justin terdiam. Lantas melayangkan pandang dengan mata menyipit. Di akuinya bahwa gadisnya semakin cantik walau hanya memoles wajah polosnya dengan riasan tipis. Bibir seksi yang terlukis dengan merahnya lipstik, sedikit menggoda untuk segera melumatnya. Rambut cokelat lembutnya yang harus terurai rapi. Membuang muka meski Justin mengagumi kecantikan alami Valerie.   "Baiklah sayang baik. Aku mengalah."   ****   "Kupikir tak ada undangan khusus untuk jalang di pesta pernikahanku. Bukankah begitu, Sasha?" seru sebuah suara pelan namun menyakitkan. Menggelitik pendengaran gadis yang kini tengah memandang keluar ruangan menatap lalu lalang manusia di bawah sana. Membalikkan badannya santai lantas mendapati sosok cantik dengan balutan gaun pengantin, tersenyum. Meski teriris.   "Kau cantik, Charlotte," jawaban jujur walau terkesan menyakitkan. Jika egonya lebih tinggi tidak akan ada ijin pernikahan bagi kekasihnya. Orang bodoh mana yang merelakan kekasihnya bersanding dengan wanita lain. Sepertinya, hanya dirinya.   Benar ungkapan kekasihnya tempo hari yang berdebat mati-matian soal pernikahan gila ini.   "Aku tak butuh pujian memuakkan itu darimu Valerie! Kau harus menjauhi Justin! Atau..."   "Atau apa nona Cowell?" Belum sempat melanjutkan ucapannya dan terpaksa harus terdiam. Mendapati eksistensi Justin yang datang dengan langkah santai—tanpa ragu merangkul Valerie mesra di depan wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Bagi negara dan hukum, tapi tidak bagi Justin.   Hal itu tak pelik mengundang tatapan benci penuh hujatan yang tertuju pada Valerie.   "Jangan coba-coba mengancamnya Charlotte. Kau harusnya bersyukur karena gadisku dengan sengaja meminjamkanku untukmu. Ingat, meminjamkan." Tekan Justin acuh.   "Aku istrimu Justin." Protesnya dengan geraman tertahan. Mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat membuat atmosfer terasa berbeda meski pendingin ruangan telah di nyalakan stabil.   Justin tersenyum miring. Menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Muak. Itulah yang lelaki berdarah Kanadian rasakan saat ini. Jika bukan permintaan gadis yang tengah dirinya rangkul takkan sudi dirinya melakukan pernikahan menjijikkan ini.   "Bagimu! Tidak bagiku," jawabnya sarkastik usai mengembuskan napasnya berat.   Valerie terdiam, kembali. Menyaksikan perdebatan gila itu lantas menunduk dalam.   "Semua karenamu jalang." Tandasnya tanpa ragu, bahkan di depan wajah Justin. Ingat! Di depan wajah Justin yang lantas membuat darah lelaki itu berkumpul pada satu titik di kepalanya. Wajahnya merah padam menahan gejolak emosi untuk segera menampar mulut sialan Cowell—jika saja tangan mungil kekasihnya tak menghalanginya. Dirinya sangat tahu bahwa sosok gadisnya tak menyukai kekerasan untuk setiap masalah.   "b*****h!" Lagi. Mulut lancang Cowell benar-benar membuat Justin emosi.   "Jangan sampai aku membuat keluargamu berakhir menderita dengan satu hentakan kaki, Cowell. Kau mencari masalah denganku. Yang kau panggil jalang itu gadisku. Kau mau tahu?" tanya Justin tegas dengan tatapan menusuk bagai sebilah belati.   "Jika bukan karena gadisku, kau takkan di sini bersamaku. Atau setidaknya, keluargamu tetap tertawa menikmati pesta. Bahkan mungkin kau akan tidur di jalanan. Kau tak lebih dari seorang jalang di kelab malam. Jangan lupakan soal Valerie yang pertama untukku dan aku untuknya. Aku bahkan tak sudi menyentuhmu yang kotor. Kau sisa jamahan lelaki lain!"   ****   Valerie terdiam. Justin terdiam. Sunyi. Hening. Suasana mobil ini dingin melengkapi suasana yang tengah tercipta. Menatap ke arah luar jendela menikmati sapuan matanya dengan hingar bingar kota Seattle yang tak pernah mati.   Justin menepikan mobilnya lantas membuat Valerie menoleh menatap keheranan. Bahkan jarak apartemen masih sekitar sepuluh menit lagi.   Tangannya terulur menggenggam lengan kekar Justin lantas menempelkannya pada satu sisi pipi kirinya. Dirinya tahu, kekasihnya itu tertekan. Ya, tak hanya tekanan dalam hubungan mereka namun juga pada keluarganya.   "Kau lelah. Kita harusnya bergegas kembali," kata Valerie memulai.   "Kau mengabaikanku!"   Kembali hening. Valerie masih enggan melepaskan genggaman tangan itu lantas menciumnya lama.   "Justin, dengarkan aku..."   "Tidak! Kali ini kau yang dengarkan aku," potongnya cepat sebelum Valerie melanjutkan. Bahkan kini badan mungilnya telah bersatu tepat di d**a bidang milik Justin.   "Hanya kau. Ingat? Aku melakukan semua ini untukmu. Kau tahu, maple? Aku tak mengerti dengan jalan pikiranmu yang gila. Sungguh. Kau dengan senang hati membiarkanku menikahi gadis sialan itu tapi, bisakah kau mengerti aku amat tersakiti di sini." Tangannya menuntut Valerie menyentuh d**a bidangnya yang beberapa menit lalu di sandarinya.   "Jelas kau tahu, bahwa aku hanya ingin berbagi rumah denganmu. Kau menjadi gadis tercantik untukku tapi kau..."   "Tidak Justin. Kau tak boleh berpikir hanya sepihak."   "Aku benci dengan pikiranmu yang begitu peduli pada orang lain. Kau berbohong Valerie. Kau berbohong. Ingin berapa lama lagi, hm? Kau bahkan berbohong soal anak yang sedang kau kandung. Apa kau berniat memisahkanku darinya?"   Valerie menegang. Badannya serasa kaku meski telah lebih dulu mengubah raut wajahnya. Hanya satu pertanyaan yang melintas di kepala cantiknya sekarang.   "Bagaimana bisa Justin tahu soal kehamilannya?"   "Kau tak bisa pergi dariku Valerie. Tidak! Aku memberimu perintah dan jangan membantah. Kita akan segera menikah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD