BAB 3

1426 Words
Eksistensi keseriusan lelaki berperawakan tinggi tampan bak model terkenal itu duduk dengan tenang sembari melayangkan jemarinya di atas laptop. Mengetik beberapa file penting lantas mencetaknya. Otak pintarnya bahkan habis hanya untuk memikirkan masalah yang bukan miliknya.   Rambut hitam pekatnya telah lebih dulu acak-acakan meski waktu baru saja menunjuk tepat di angka sepuluh. Masih sangat pagi hanya untuk menjadi sekedar berantakan. Dirinya akan sangat gila mengurus masalah ini, sekaligus. Sepupunya yang merangkap menjadi bos di tempatnya bernaung juga istrinya yang gila. Bagaimana tidak jika harus selalu memberi kabar dan info apa-apa saja yang lelaki itu lakukan. Bunuh saja sekarang!   Kini lantas deringan telepon entah dari saluran berapa membuatnya semakin menggeram kesal. Melempar kasar satu-satunya berkas dan segera melayangkan tangan mengangkatnya. Kerutan demi kerutan menghiasi wajah tampannya—hingga membuat beberapa wanita di bilik meja kerjanya mengerang histeris.   "Kau sungguh sialan Frankson! Aku bersumpah... Baiklah-baiklah. Akan aku cekik wanita jalang itu nanti!"   Umpatan kesalnya dengan suara yang tak di anggap rendah sontak membuat riuh seisi kantor. Bisikan-bisikan kotor lantas terlontar menyambangi telinganya.   Wanita-wanita gila itu bahkan harus rela menahan jeritan lebih dalam lagi usai lelaki itu, Cameron. Ya, Cameron August menampakkan wajah tampannya dengan rambut berantakan. Kancing kemeja teratasnya—sengaja—jelas terbuka menampakkan pemandangan indah d**a bidangnya.     Bibir tebalnya nan seksi begitu sangat ingin mereka lumat habis. Wanita-wanita gila itu bahkan terang-terangan mengabaikan tatapan tajam menusuk milik Cameron yang di layangkan langsung tanpa permisi. Otak kotor para penggila itu dengan senonoh menahan desahan. Astaga. Hanya dengan mendapati tatapan tajam tak suka dari Cameron. Benar-benar gila, pikir lelaki berjas itu.   "Baiklah Frankson! Akan aku urus segera istri gilamu itu. Ya, ya. Kau bisa mengandalkan aku berengsek! Jaga Valerie. Dan juga keponakanku!"   Melempar asal gagang telepon yang tak lagi bersarang pada tempatnya. Luapan emosi yang tengah memuncak bahkan di abaikan begitu saja tanpa melihat kondisi sekitar. Menimbulkan kericuhan jeritan tertahan, Cameron berjalan menuju keluar dari bilik meja kerjanya. Lelaki tampan berkharisma itu membutuhkan satu gelas kopi, rasanya.   ****   Valerie hanya terbaring sembari menelisik masuk gradiasi mata selembut lelehan madu di hadapannya kini. Justin benar-benar membuktikan ucapannya untuk mengukung dirinya satu hari penuh tanpa pergi ke kantor. Entah apa yang terlintas di kepala pintar kekasihnya itu hingga hal konyol seperti ini dilakukan. Mengerucutkan bibir sebal, Valerie beranjak duduk dari ranjang dan bersandar santai tanpa menghiraukan tatapan sengit Justin.   "Menyebalkan! Manusia kutub. Dasar egois!" umpatnya lirih—yang jelas di dengar justin secara terang-terangan.   Melayangkan pandang lebih lembut, Justin terkikik kecil dengan gerakan santai menelungkupkan wajah tampannya di perut datar Valerie. Seketika satu garis seksi tercetak keatas—tanpa terlihat oleh Valerie, meninggalkan kerutan sipit di sekitar matanya. Menambah nilai tersendiri bagi ketampanan serta pesonanya.   "Benihku di dalam sini tengah berkembang."   Senyumnya manis—bahkan Valerie sendiri tak bisa melihatnya. Hanya Justin dan Tuhan. Mungkin calon bayinya juga. Bahagia, tentu saja.   "Kau mengumpat sayang. Jangan buat anakku mengikuti sikap mengumpat terutama untukku," tukas Justin lugas seusai lebih lama terdiam lantas tersenyum. Membuat gadisnya merasa kesal adalah hobi barunya. Oh, dirinya bahkan amat hafal jika saat ini Valerie tengah memutar kedua bola matanya—terbukti dengan helaan napas panjang, kesal.   Tangan Valerie terulur mengusap lembut rambut halus Justin, menyatu dengan sela-sela jari lentiknya. Sesekali meremasnya semakin mengembangkan senyum bahagia Justin. Lengkap sudah, pikirnya singkat. Tapi tidak dengan Valerie.   Gadis keturunan Amerika-Inggris itu justru tengah berpikir keras. Alam bawah sadar serta badan memang berada di sini, di atas tempat tidur bersama orang terkasihnya. Namun tidak dengan pikirannya yang melanglang entah ke mana.   Satu titik mengajaknya untuk berlalu dan satu titik mengharuskannya bertahan. Bersama Justin, yang di yakini takkan bisa sampai kapan pun. Sekali pun lelaki tampan itu memaksanya. Tidak! Akan ada hati yang lebih terluka. Namun lagi-lagi, hantaman keras tentang kenyataan bahwa bayi yang tengah di kandungnya juga membutuhkan Justin sebagai sosok figur seorang ayah. Yang memang jelas-jelas darah daging Justin. Itu amat sangat mustahil jika harus di pisahkan. Dirinya mengenal Justin. Kekasihnya itu tak akan pernah berhenti, tak akan menyerah menggapai apa yang memang harus menjadi miliknya, termasuk memiliki dirinya.   Bahkan obrolan beberapa jam lalu, meski melalui via telepon dengan sepupunya sudah lebih menjelaskan semuanya tanpa Valerie tanyakan. Mencarikan rumah lantas meninggalkan Seattle.   "Kau melamun?" Usapan lembut pada pipi kanannya menyeret Valerie pada kenyataan. Justin bahkan tengah asik duduk di depannya dengan manis sembari menunjukkan wajah penuh godaan. Kedua bola mata cokelat gelapnya tak henti menatap lekat pada dua gundukan kenyal favoritnya.   "Aku ingin s**u Valerie," ujarnya manja. Seketika mengundang derak tawa dengan suara nyaring yang membuat d**a Justin menghangat dan bahagia bersamaan.   "Akan aku buatkan." Valerie bergegas menuruni ranjang sebelum akhirnya cekalan lembut di sertai usapan pada punggung tangannya menahannya. Menoleh, Valerie mendapati eksistensi Justin yang tengah tersenyum miring. Oh, Valerie tahu apa maksud senyum itu. Tapi tidak!   "Aku ingin ini sayang." Tunjuknya manja dengan dagu. Suaranya teredam seksi. Oh, sial. Kenapa juniornya amat cepat turn on.   "Kau bahkan baru saja memintanya Justin. Ya Tuhan!” Keluhnya geram. Membuat Justin terkekeh nyaring dengan satu tangan yang mulai meremas gundukan kenyal kesukaannya lembut. Benda kenyal padat yang benar-benar Justin gilai sejak pertama mengenal Valerie dan melakukan seks pertama kalinya. Gadisnya itu memang pintar membuatnya gila, meski kala itu sama-sama baru mengenal seks.   Lenguhan seksi meluncur cantik dengan desisan yang Valerie lontarkan membuat Justin semakin mengeras, lagi di bawah sana. Tersenyum, Justin memindahkan Valerie dan tepat berada di atas pangkuannya. Menjepit miliknya dengan gesekan perlahan.   Frustasi! Justin merasakan kegilaan hanya dengan gesekan perlahan yang dilakukan Valerie. Panas, dan lantas memasukkan satu puncak kepala d**a Valerie dengan satu tangan yang masih bertengger meremas d**a kanan.   Punggung Valerie melengkung semakin menekan dalam kepala Justin dengan satu gerakan tangan yang meremas rambut pirang rapinya—oh tidak lagi. Karena dengan sengaja Valerie rusak, melalui remasan-remasan menyalurkan rasa nikmat yang semakin menggelitik perutnya bersama ribuan kupu-kupu yang beterbangan.   Puas dengan d**a kiri, Justin berpindah menghisap habis d**a kanan Valerie, masih dengan sama rakusnya. Kepalanya mendongak melihat eksistensi wajah cantik gadisnya yang juga tengah menikmati permainannya. Kedua kelopak matanya merapat sempurna bersamaan kerutan yang tercetak cantik di dahinya.   Melepas sekejap, memerhatikan wajah manis teduh yang tak pernah jenuh di pandangnya. Wajah dengan sejuta keteduhan lebih yang membuatnya bahagia memberi hantaran perubahan drastis pada dirinya. Ah, betapa beruntungnya dirinya mendapatkan sosok Valerie.   "Aku tak akan pernah melepasmu, ingat?" Buka Justin seusai lama memandang wajah teduh Valerie lantas meniupnya pelan hingga kedua kelopak mata indahnya terbuka perlahan. Dapat Justin tangkap, kabut hasrat rangsangan mulai menyelubungi binar bening mata cokelatnya. Warna terang yang meneduhkan bagi hati Justin.   Valerie menatap lekat selepas membuka kedua bola matanya. Tersenyum, miris. Namun, tak nampak bagi Justin.   "Kau tercipta untukku, dan aku tercipta untukmu. Jadi, aku tak pernah main-main dengan ucapan..."   "Kenapa Justin?" Potongnya cepat, membuat Justin terdiam seketika dengan heran mendengar pertanyaan Valerie.   "Apa yang ken.." "Tidak! Dengarkan aku kali ini." Tercekat, suaranya kembali tertahan mendapati rasa panas menjalar pada kedua bola matanya. "Apa begitu sulit bagimu hanya untuk melepasku Justin. Kau tahu, Charlotte sangat mencintaimu. Kenapa kau tak mau menger..."   "Cukup!" sergah Justin cepat. Membuat Valerie berjengit kaget mendengar suara Justin yang naik satu oktaf. Justin marah, jelas. Terlihat jelas kepalan tangan hingga buku-buku kukunya terlihat. Tak seperti biasanya Justin semarah ini.   "Kau yang dengarkan aku Valerie. Dengarkan baik-baik dan jangan buat aku mengulangnya lagi." Meregup kedua bahu Valerie dan meremasnya perlahan. Justin tahu, sangat tahu. Bahwa gadisnya kini tengah tertekan, terlebih dengan kehamilan yang dengan lambat belum ada tindakan untuk segera menikahinya.   Mengatur napas, perlahan lantas menutup rapat kedua bola matanya. Tidak! Dirinya harus bisa mengontrol emosinya. ‘Bukankah aku calon daddy? Tidak! Jika aku tetap kasar akan semakin membuat Valerie tertekan.’ Menekan rasa sakit pada dadanya yang sesak. Justin kembali membuka kedua bola matanya dan menghujam langsung pada manik milik Valerie. Lelehan bening sialan tengah asik menggenang di kedua pipi mulus milik Valerie. Tak ada isakan atau sesenggukan yang Valerie keluarkan.   "Maaf," bisiknya pelan sembari mencium lama kedua kelopak mata indah milik Valerie, bergantian. Baginya, itu amat sangat berarti yang harus di jaganya.   "Maaf sayang," bisiknya sekali lagi pelan hampir tak terdengar dengan wajah yang tersembunyi di ceruk leher Valerie. Menciumnya lama dan lantas kembali menelisik masuk manik mata indah kekasihnya.   "Dengarkan aku sayang. Dengarkan dan ikuti semuanya. Jangan pergi dariku, apapun yang terjadi. Aku berjuang, tidak—tapi kita. Kita akan berjuang untuk dia." Tangan Justin mengusap perut datarnya usai berucap. Hangat, Valerie mendapati rasa hangat yang tersalur bersamaan haru bahagia.   "Aku sudah menyiapkan semuanya. Rumah, bahkan semua untuk pernikahan kita. Beri aku waktu, paham. Satu waktu saja. Aku memohon Valerie. Dan Ibuku akan berkunjung petang nanti." Terbelalak. Valerie membulatkan kedua bola matanya lagi hingga serasa ingin melompat keluar dari tempatnya. Apa Justin gila? Apa bercinta di pagi hari membuat otaknya melenceng dari tempatnya.   "Kau..." Tunjuknya dengan satu jari lentiknya lantas tangan satu yang tengah bebas membekap mulutnya yang tengah menganga.   "Apa?" balas Justin sarkastik. Tak pelak satu ciuman dengan senyum tersemat manis secara bersamaan.   "Kau tahu, Mom sangat senang mendapati kau tengah mengandung cucu pertamanya dan aku yakin kau akan mendapat omelan panjang soal itu."   //
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD