Pembatalan

1682 Words
Sebenar-benarnya sabar adalah ketika emosi diri ingin membludak namun tindakan kita hanya diam. (Untuk kamu yang ku sebut imam) _______________ Sejatinya manusia sudah sifat dasarnya memiliki perasaan Ragu. Dan tidak di ragukan lagi, bahwasanya sebelum pernikahan akan terjadi gejolak yang sangat mengganggu, seperti yang telah Niswah rasakan pada saat ini, Keramaian yang ada di kantin sama sekali tidak mengganggu aktivitas melamun Niswah, bahkan gadis itu tidak mendengar panggilan sang sahabat yang sudah terlihat sangat kesal. "NISWAH!" teriak Nabila yang langsung menjadi pusat perhatian seisi kantin. "Astagfirullah ... jangan teriak, Bila! ini bukan hutan!" "Habis kamu, melamun mulu mikirin apa sih?" "Menurut kamu, pak Hafidz serius?" Ini yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Niswah, baginya sangat tidak mungkin Hafidz yang notabennya adalah dosennya sendiri mau mengkhitbahnya secara mendadak, ia bukanlah mahasiswi yang terkenal ataupun famous sampai-sampai sang dosen tergila-gila. Ini seperti mimpi, tapi faktanya ini nyata, Hafidz datang bersama keluarga dengan maksud untuk melamarnya secara mendadak, meski sang Abi telah mengatakan bahwa ada yang ingin mengkhitbahnya, akan tetapi ia tidak pernah berfikir bahwa dosennya sendirilah yang akan menjadi calon imamnya. Nabila yang mendengar pertanyaan bodoh sahabatnya pun merasa geram, ia tau apa yang ada di fikiran Niswah, tapi tidak sepantasnya ia bertanya seolah-olah yang terjadi semalam adalah mimpi. "Aduh Niswah, gak mungkin gak serius, Astagfirullah, Ya kali cuma main-main sampe datang ke rumah." Ada benarnya juga, tapi apa yang membuat Hafidz mengkhitbahnya? Dia bukan gadis yang begitu terkenal di kampus ini. "Sudahlah! aku hanya mengikuti takdir Allah saja, Allah yang tau apa yang terbaik untuk hambanya." Nabila menatap temannya yang mungkin sedang ragu pada calon suaminya. Handphone Niswah bergetar, dan di layarnya tertulis nama yang sedang ia bicarakan. Hafidz calling... "Assalamu'alaikum, Halo." "Wa'alaikumsalam, Niswah, maaf mengganggu, bisakah kita bertemu ada yang ingin saya bicarakan." "Baiklah pak, saya akan kesana, bapak share saja lokasinya." Nabila melihat Niswah heran, apa-apaan itu, bapak? Seperti anak dengan bapak , bukan seperti pasangan yang akan menikah. "Kamu kenapa, Bil?" "Kamu tadi memanggil bapak? Gak ada romantis-romantisnya." "Yah terus mau manggil apa? Yayang, beib atau habibi? Belum muhrim." Lalu Niswah meninggalkan Nabila yang masih terlihat kesal. Apakah ketika ia dijodohkan nanti akan seperti Niswah juga, kaku dan kesannya sangat formal, Nabila langsung menggelengkan kepalanya kuat, jangan sampai ia mengalami yang namanya perjodohan, pulang dari kampus ia akan menemui sang Abi untuk membuat perjanjian agar ia tidak dijodohkan seperti Niswah, yah! Harus ada perjanjian bahkan bila perlu memakai materai 6000 ataupun 100.000 biar sangat sah dan tidak bisa di ganggu gugat! Setelah menempuh dua puluh menit perjalanan, sekarang Niswah sedang berdiri didepan resto tempat Hafidz menunggunya atau lebih tepatnya ia lah yang menunggu Hafidz. Degupan jantung Niswah semakin keras tatkala ia mengingat akan bertemu dan bicara empat mata dengan Hafidz, calon suaminya, matanya menatap ke jalanan kota yang terlihat ramai akan kendaraan yang berlalu lalang tiada henti. "Assalamualaikum, maaf saya telat." Niswah melihat pria yang baru saja sampai dengan wajah ramah. Bagaimana pun hafidz adalah dosen yang merangkap menjadi calon suaminya kelak. "Tidak apa-apa, saya juga baru sampai." Tak lama seorang writers tiba dan membacakan menu. Niswah dan hafidz sendiri masing-masing menyebutkan menu yang akan menjadi teman mereka bicara nantinya, namun beberapa menit setelah writers itu pergi, Hafidz sama sekali belum membuka mulut, padahal ia yang mengajak Niswah untuk bicara, jika sudah begini Niswah pun bingung jadinya, ia tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk memulai pembicaraan terhadap orang asing apalagi laki-laki. "Niswah, ada yang ingin saya sampaikan." Niswah hanya menatap lalu mengalihkan pandangannya. "Saya ingin membatalkan ta'aruf kita." Seperti terhantam ribuan ton beton, rasa sesak melingkupi relung hatinya, semua harapan yang baru saja ia susun hancur tak berbekas, hatinya membeku mendengar penuturan Hafidz, padahal jika di telisik, dia pun merasa ragu untuk melanjutkan perjodohan ini, tapi entah mengapa ia merasakan sakit yang mendalam, seperti ia merasa terbuang. tak ada yang melihat air mata Niswah hendak jatuh merembes melewati pipinya, karena saat itu Hafidz menundukkan kepalanya tak tega melihat Niswah yang terluka akibat pembatalan. Ia tau akan ada dampak besar dari tindakannya ini, tapi sungguh ia tidak bisa membawa gadis anggun ini masuk terlalu jauh kedalam kehidupannya, ah! Bukan tidak bisa, hanya saja Hafidz memang tidak mau. Ia masih menanti seseorang dimasa lalunya untuk kembali, meski ia tau ini tidak mungkin. "Maafkan saya Niswah, tapi pernikahan tak bisa saya lakukan dengan wanita yang baru saya kenal, saya tidak bisa, saya pamit, minuman biar saya saja yang membayar." Setelahnya Hafidz meninggalkan Niswah yang terdiam membisu, takdir mempermainkan hatinya sedemikian rupa tanpa memberinya bahagia, ada apa ini apa salahnya? Kenapa Hafidz tiba-tiba membatalkan secara sepihak tanpa alasan. Tugas manusia hanya menulis serta merangkai angan dalam catatan takdir, tapi sang pemegang penghapus dan penentu adalah Allah SWT, lalu manusia bisa apa? Selain hanya menerima -------------------------- Semua takdir Allah adalah yang terbaik namun sebagai manusia yang belum siap menerima takdir itu akan merasa takdir ini buruk. Lihatlah Niswah gadis yang tengah duduk di kantin kampus dengan pandangan kosong dan tatapan sayu, Nabila yang melihat itu mulai merasa kasihan ia mengerti bagaimana perasaan sahabat baiknya ini, jelas sakit ketika hati sudah berharap namun tak kesampaian tapi berharap kepada makhluk ciptaan Allah memang harus siap menelan pil kekecewaan hanya karena milik Allah sematalah kepastian akan takdir. Ibarat ketika kita akan memakan makanan yang menurut kita lezat, tetapi ketika hendak masuk kedalam mulut makanan itu terjatuh, seperti itu pula ibarat pengharapan kita telah berimajinasi setinggi langit, namun ketika takdir Allah membalikkan harapan maka semua akan hancur. "Niswah! Sudahlah buat apa kamu bersedih, jodoh sudah ada yang mengatur, jika Allah berkehendak maka jalan kalian akan di permudah." Niswah menatap lurus ke depan, tidak menjawab sama sekali, bukan ia tak mendengar hanya saja ia ingin merenungi semua yang terjadi. "Niswah, bukannya kamu tahu jika ta'aruf itu dapat dibatalkan jika tidak ada kecocokan, mungkin pak Hafidz tak merasa kalian berdua cocok." "Tapi mengapa harus sepihak?" "Itu tidak sepihak, jika sepihak maka ia tidak akan memintamu menemuinya." Terlihat Niswah menarik nafas dalam, omongan Nabila ada benarnya, tak seharusnya ia merasa tidak terima pada takdir yang Allah berikan. "Tapi, bagaimana aku menjelaskan kepada Ummi dan Abi, Bila? Aku tidak berani mengatakannya." "Katakan yang sejujurnya,mereka akan mengerti dengan sendirinya, Niswah." Tak semudah itu, Niswah yakin kedua orang tuanya akan kecewa, namun ia bisa apa ketika sang laki-laki yang membatalkannya.Sedangkan di lain tempat seorang laki- laki tengah duduk terdiam mendengarkan setiap rentetan kemarahan sang Abi. "Apa apaan kamu, Hafidz? Astagfirullah, apa yang akan Abi katakan kepada keluarga Niswah?" "Kamu kenapa, Nak! Apa yang kurang dari Niswah coba jelaskan, Ummi tak mengerti semua ini mengapa Hafidz ingin membatalkan semuanya." Hafidz hanya terdiam jika boleh jujur Niswah adalah sosok istri idaman, tapi ia harus membatalkannya karna pada faktanya hati Hafidz tidak ada untuk Niswah, biarlah menyakiti sekarang dari pada menyakiti kelak pikir nya. "Abi kecewa, Hafidz." Ucapan terakhir abinya sungguh menohok hatinya bagaimana tidak selama ini ia adalah sosok yang paling di banggakan dalam keluarganya, tapi hari ini semua rasa bangga itu lenyap dalam hitungan detik. Hafidzmerasa bodoh, tapi apa yang bisa ia perbuat? Hatinya tidak ada pada Niswah. "Abi kecewa, Hafidz." Ucapan itu terus terngiang, seolah-olah itu adalah kaset yang terus diputar dalam otaknya. Baru kali ini sang Abi memberikan tatapan kecewa serta nada suara yang asing ditelinganya, ia seolah kehilangan kasih sayang Abi sebentar lagi, sedangkan Ummi tadi hanya menatapnya dalam diam tanpa melepaskan sorot lembut dari matanya, meski Hafidz tau dimana itu ada tanda tanya besar yang butuh akan jawaban darinya. "Wah ada apa dengan bapak dosen Hafidz?" Rian masuk dan duduk tanpa di persilakan oleh sang empu, tanpa banyak berkomentar Hafidz hanya melihat Rian yang dengan santainya duduk dan mengobrak abrik berkas yang tergeletak. "Assalamu'alaikum." Tanpa melihat pun Hafidz sudah tahu jika itu Lukman "Ada apa?" Ucap Lukman yang heran melihat Hafidz tiba-tiba menyuruhnya datang. Tak seperti biasanya hafidz mengundang mereka disaat jam kerja, Terdengar helaan nafas Hafidz menandakan ia lelah dengan masalah yang di hadapinya. "Aku membatalkan perjodohan ini." "APA!" Jika kalian fikir itu suara Lukman maka salah karna itu suara berasal dari Abangnya Niswah yang sebenarnya ingin menjemput Niswah namun niatnya urung karna ingin bertemu dengan Hafidz yang sebentar lagi akan menjadi adik iparnya. "Apa kah aku salah mendengar, Hafidz?" "Tidak! Aku memang sudah membatalkan, tanyalah kepada Niswah." Naufal terlihat sangat marah buku jari nya memutih seiring langkah nya mendekati Hafidz yang menundukkan pandangannya melihat amukan Naufal. Bugh! Suara seperti sesuatu yang patah terdengar jelas, Lukman yang melihat itu segera memisahkan Naufal yang membabi buta. "Tenanglah ini masalah bisa kita selesaikan." "Aku sebagai kakak Niswah tak terima kau memutuskan secara sepihak seperti ini, Hafidz, jika kau ingin membatalkan maka datanglah kerumah bicara baik-baik, bukan seperti ini," ucap Naufal yang mulai sadar dari kemarahannya, setelah itu Lukman meninggalkan ruangan Hafidz yang masih hening sesekali terdengar ringisan Hafidz. "Lihatlah Hafidz, kamu menimbulkan masalahnya sendiri, sebenarnya apa yang kamu fikirkan aku tidak mengerti," ucap Lukman yang kecewa melihat keputusan bodoh Hafidz. "Aku tak bisa, Lukman, aku tak bisa." "Ayolah Hafidz, jangan seperti pecundang belum apa-apa kamu menyerah." Akhirnya setelah diam membisu Rian ikut memberikan nasehat kepada Hafidz "Apa yang kurang dari Niswah, dia sempurna sebagai seorang istri." "Aku tidak mencintainya, itu masalahnya." "Oh ayolah! Hafidz, cinta ada karna terbiasa cobalah untuk menerima Niswah tak selamanya orang kamu cinta dapat membuatmu mengarungi tangga yang sakinah, mawaddah, warrahma." "Kepada siapa cintamu? Masih kepada wanita yang meninggalkanmu disaat kamu kesusahan, kepayahan, Hafidz dari itu saja kamu ku rasa sudah mampu menimbang mana yang terbaik." "Begini saja, coba kau jalani saja dulu. Masa lalu boleh pahit tapi tidak dengan masa depan," ucap Rian bijak "Kamu terlalu fokus dengan masa lalu mu sampai lupa cara bahagia dimasa depan." Lukman diam melihat Hafidz yang tidak merespon. Yang di katakan Lukman benar ia selama ini hanya fokus pada masa lalu yang seharusnya ia buang jauh. Drtt drttt drrttt Dering handphone Hafidz memecah keheningan yang terjadi. "Assalamu'alaikum, ada apa mi?" "....." "APA!" Hafidz langsung berlari meninggalkan Lukman dan Rian dalam kebingungan. Assalamualaikum... Ini cerita pertama yang lala uploud ke aplikasi ini, semoga suka Terimakasih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD