Tiga

1533 Words
Nawang menatap lekat laki-laki yang menjadi teman sebangkunya itu, kepalanya ia miringkan dengan mata yang memicing. "Dahi lo kenapa?" tanyanya, mengamati dahi Abi yang memerah dan benjol. Spontan, Abi menyentuh dahinya. Meringis, kemudian tersenyum tipis. Tangannya ia gerakan membentuk isyarat yang syukurnya dimengerti oleh Nawang. "Seriusan kejedot? Kok konyol, sih?" tanya Nawang kurang yakin, terantuk benda apapun di usia mereka saat ini terdengar konyol bagi gadis itu. Abi hanya mengangguk membenarkan. Ia berusaha setenang mungkin agar teman sebangkunya itu percaya dengan alasannya. Lalu ia kembali menatap ke arah depan, ke arah Bu Yeti yang sedang menerangkan materi. Nawang mengikuti, pandangannya ia alihkan ke depan sampai tidak sengaja bertatap mata dengan seorang lelaki yang duduk di barisan paling depan. Lelaki berwajah indo dengan rambut kecokelatan itu tersenyum sangat ramah ke arah Nawang, yang langsung Nawang balas dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa saat ia mengenalkan diri pun, pria itu juga tidak berhenti menatap ke arah Nawang. Lalu saat Nawang menoleh sekilas ke arah Abi, Nawang mengernyit bingung saat menyadari tatapan tajam yang Abi berikan ke arah pria yang memberi senyum padanya tadi. "Bi?" panggilnya pelan, karena pelajaran masih berlangsung. Abi menoleh, mengangkat sebelah alisnya dengan gestur bertanya. "Cowok depan itu siapa?" tanya Nawang, pertanyaan yang memiliki arti tersirat. Abi terdiam, lalu mengetikan sesuatu di tabletnya. "Ketua kelas." Kali ini Nawang yang terdiam, sebenarnya bukan jawaban itu yang dia mau walaupun itu juga informasi yang belum dia tahu. Tapi Nawang berharap sedikitnya bisa tahu kenapa Abi menatap tajam ke arah ketua kelas tadi. Apa mereka berdua bersaing? Dalam hal pelajaran? Atau perasaan? Cih. Jika memang karena perasaan, Nawang akan menjadi satu-satunya orang yang tertawa dengan keras. Drama sekali mereka. Perihal perasaan saja sampai musuhan dan sebagainya. "Nawang, bukunya sementara join sama Abimana dulu, ya." Nawang terkesiap, suara Bu Yeti masuk ke pendengarannya. Dengan kikuk ia mengangguk. "Baik, Bu." Bu Yeti tersenyum, "Kalau ada yang belum mengerti, bisa tanya ke Abimana juga. Dia juara kelas, loh." Sontak Nawang menoleh ke sebelahnya, pria yang dimaksud justru menunduk begitu dalam. Sempat tertangkap ada semburat merah di pipi Abi, pria itu malu rupanya. "Iya, Bu," jawab Nawang ke arah Bu Yeti. Lalu tangannya dengan iseng mencolek lengan Abi yang membuat pria itu terkejut bukan main. "Cie, juara kelas," godanya. Abimana terdiam, menatap lurus ke arah Nawang yang kini fokus ke arah depan. Dia tidak menyangka bahwa Nawang akan bertindak impulsif terhadapnya. Memang tidak aneh, tapi Abi belum pernah mengalami hal sesederhana itu sebelumnya. Ditambah, Nawang terlihat biasa saja setelah melakukan itu. Ada apa dengan gadis di sampingnya? Kenapa bersikap seolah mereka adalah teman dekat? Padahal ini hari pertama gadis itu duduk disebelahnya, tapi Nawang tidak terlihat canggung sedikitpun. Apa mungkin karena Nawang memang tipikal gadis yang supel? Tapi apa gadis itu tidak risih bersikap sebegitu baiknya pada Abi? Mungkin jika Nawang tahu bahwa Abi adalah satu-satunya yang dikucilkan, maka Nawang akan langsung menyesal sudah bersikap begitu akrab padanya. Dan mungkin Nawang akan langsung menjauh secara perlahan. ~ Abi menghitung pelan dalam hatinya, mengusir gugup yang kerap melanda dirinya setiap jam istirahat. Hal ini sudah ia alami sejak naik kelas 11, tapi dirinya masih tidak terbiasa. Apalagi hari ini Abi seakan menantang maut, sengaja melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Entah kenapa Abi begitu nekad hari ini, tapi dia ingin membuktikan bahwa tidak selamanya dia bisa di perlakukan seenaknya oleh semua orang. Memejamkan mata, Abi menahan nafas saat suara ketukan sepatu mendekat dengan cepat ke arahnya. Waktunya sudah tiba. "Mana bekal gue?" tanya Putri, tangannya menengadah ke arah Abi. Sedangkan Abi tidak merespon apa-apa, tidak juga menyerahkan bekal seperti biasanya. "Heh, Gagu! Sekarang lo engga cuma bisu tapi tuli juga?!" bentak Putri mengundang tatapan tertarik dari beberapa anak yang masih berdiam diri dikelas. Sedangkan teman sebangku Abimana, Nawang, sedang berkeliling sekolah ditemani wakil ketua kelas jadi dia tidak bisa menyaksikan tontonan yang setiap hari terjadi dikelas. Dibelakang Putri, Gallen justru tersenyum sinis. Dia tidak berpikir untuk menghentikan aksi kekasihnya kali ini. "LO DENGER ENGGA? MANA BEKAL GUE??!" Abi memejamkan mata, menulis sesuatu di tabletnya dan memperlihatkan ke arah Putri. "Saya engga bawa bekal hari ini." Jawaban yang langsung membuat Putri semakin murka. Dengan sekali gerakan, dia merebut tablet dari tangan Abi dan melemparnya ke lantai. Membuat tablet itu hancur seketika, dengan layar yang pecah parah. "Berani-beraninya lo ngelewatin kewajiban lo. Lo nantang gue?" desis Putri menakutkan. Abi terdiam menatap tabletnya yang sudah hancur. Layarnya retak parah dan padam. Sedangkan Putri yang merasa di abaikan, semakin emosi dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke arah Abi. Yang ada di pikirannya kali ini adalah menghajar pria gagu yang sudah berani melawannya. Sayangnya, tangannya yang terangkat tinggi, setinggi emosinya itu, tidak pernah sampai pada wajah rupawan Abi yang tengah menatap terkejut ke arahnya. Bukan, bukan ke arahnya. Tapi ke arah belakang tubuhnya dimana seseorang sedang menahan tangannya yang siap meluncur mulus ke arah Abi. Putri menggeram marah, dia menoleh ke belakang, ingin menghajar seseorang yang dengan kurang ajar menahan serangannya. Tapi dia justru mengernyit saat mendapati Gallen yang tengah mencekal tangannya. "Kenapa kamu ngehalangin aku?" tanya Putri tidak terima. Gallen tersenyum. Jenis senyum yang selalu ia gunakan saat mencari muka di depan semua guru. "Kita kan bisa bicarain baik-baik, jangan kasar dong, Put," ujarnya halus. Sangat memuakkan di mata Abi yang masih terdiam menatap mereka. Putri semakin bingung dengan tingkah kekasihnya, dia mengedarkan pandangan ke penjuru kelas karena biasanya Gallen bersikap seperti ini saat ada guru yang melihatnya. Tapi Putri tidak menemukan satu guru pun, karena ini masih jam istirahat. Yang ia lihat justru anak baru yang kini berjalan mendekat. "Ada apa sih? Rame banget," tanya Nawang, matanya menatap ke arah Abimana yang masih menunduk. Nawang mengikuti arah pandang Abi dan menemukan sebuah tablet yang sudah retak. Ia menunduk, mengambil tablet itu dan mendekat ke arah Abi. "Ini punya lo kan?" Abi mengangguk lalu mengambil tablet rusak itu dari tangan Nawang. Abi mengangkat tangannya untuk menjelaskan saat Gallen tiba-tiba maju dan membuka suara lebih dulu. "Itu, tadi Putri engga sengaja jatuhin tabletnya Abi," ucap Gallen menjawab pertanyaan Nawang tadi. Abi menoleh, menatap lekat ke arah Gallen yang sedang memulai aktingnya. Nawang mengernyit, "Terus kenapa malah cewek ini yang kelihatan emosi? Tadi gue juga sempet denger teriakan dari arah luar tapi itu jelas bukan Abi. Harusnya kan yang marah itu Abi," tuntut Nawang, dia merasa aneh dengan penjelasan si ketua kelas. Gallen tersenyum lembut, "Iya karena pas Putri minta maaf, Abi malah nyuekin Putri. Jadi Putri nya marah. Tapi engga apa-apa kok, ini udah biasa. Kita bisa bicarain ini baik-baik. Ya kan, Bi?" tanyanya dengan sorot penuh arti ke arah Abi. Abi hanya diam. Rasanya dia muak sekali dengan tingkah bagai bunglon yang di tunjukan Gallen. Maka yang ia lakukan hanya berbalik dan duduk di kursinya. Mengabaikan Gallen yang menyorotnya tajam diam-diam. Nawang juga tidak berbicara lagi, dia memang anak baru tapi dia sadar ada yang aneh disini. Maka dia mengikuti Abi dan duduk di bangkunya. Ia tidak bertanya, tapi matanya memperhatian setiap gerak Abi yang sedang memasukan tablet ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil. Nawang tahu, bahwa Abi memang agak pendiam. Tapi entah kenapa, diamnya Abi sekarang terasa berbeda. Abi terlihat sedang menahan sesuatu dari dalam dirinya. Entah apa itu, Nawang tidak mengerti. ~ Bara baru saja melepas kemejanya, saat terdengar pintu kamarnya di ketuk. Maka tanpa memakai baju lebih dulu, ia bergerak ke arah pintu. Ia tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya, sudah jelas pasti putra kesayangannya. Karena jika Mbok Lastri yang datang, perempuan paruh baya itu pasti akan memanggil-manggil namanya. Dan benar saja, saat membuka pintu kamar yang ia lihat adalah Abi yang menatap salah tingkah ke arahnya. Bara mengernyit, dia tadi memang belum sempat menemui Abi karena memilih mandi lebih dulu. Tapi dia tidak menyangka kalau Abi justru yang datang menemuinya. "Masuk, Bi," ajaknya yang langsung di turuti Abi. Abi duduk di ranjang Ayahnya, kepalanya ia tundukan. Ia tahu Bara adalah tipikal orang yang peka, maka sebisa mungkin Abi ingin bertingkah sewajarnya agar tidak menimbulkan curiga di benak ayahnya. Bara menyadari ada sesuatu yang ingin anaknya itu sampaikan padanya, karena Bara juga melihat tangan Abi yang menggenggam tablet miliknya. Tapi ia memilih untuk tidak menanyakan langsung. "Kenapa?" tanya Bara. Abi mendongak, dia menggerakan tangannya sebagai isyarat. Memberitahu Ayahnya bahwa ia tidak sengaja menjatuhkan tabletnya, itu alasan yang sudah ia pikirkan sejak siang tadi. "Tablet kamu jatuh?" tanya Bara, dahinya agak mengerut karena anaknya terlihat gelisah dan tidak nyaman. Abi mengangguk, kepalanya kembali menunduk. Sulit sekali menatap mata Ayahnya lama-lama saat ada sesuatu yang ia sembunyikan. Bara menghela nafas pelan, Abi biasanya tidak pernah ceroboh seperti ini. Tapi ia memilih percaya karena bagaimanapun dia ingin membuat Abi menyadari bahwa dia mempercayai Abi sepenuhnya. "Yaudah, nanti Papi minta Galih buat bawa tablet baru kesini," putusnya. Abi tersenyum senang, lalu menangkap tangan Papinya dan menciumnya dengan takzim. Dia kembali menggerakan tangannya untuk berucap terimakasih. Bara balas tersenyum, mengusap pelan rambut anaknya itu. "Sama-sama. Kalau ada apa-apa, bilang sama Papi ya," ujarnya yang langsung mendapat anggukan dari Abi. Abi menghela nafas lega, karena Papinya tidak bertanya lebih lanjut kenapa tabletnya bisa jatuh. Karena kalau sampai Bara bertanya, Abi sendiri bingung untuk menjelaskannya dengan alasan apa karena dia tidak sempat memikirkannya. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD