Dua

1567 Words
"Minggu depan ada Study Tour kan, Bi?" Bara bertanya pada Anaknya saat makanan di piringnya telah tandas. Ia mendorong piringnya ke samping dan fokus menatap Abi. Abi yang masih menyuap makanan ke mulutnya buru-buru menelan dan mengangguk. "Abi sudah daftar, kan?" tanya Bara lagi. Abi terdiam sejenak, lalu kembali mengangguk. Ya, dia memang sudah mendaftarkan diri untuk ikut padahal sebelumnya ia sudah berniat untuk tidak ikut serta dalam acara tahunan sekolahnya itu, tapi saat mengutarakan keinginan untuk tidak ikut, Ayahnya justru bingung dan meminta Abi memberikan alasannya yang tentu saja tidak bisa Abi katakan. Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan bahwa dia hanya akan menjadi pesuruh jika ikut. Ayahnya pasti akan sangat murka jika tahu selama ini anaknya diperlakukan tidak baik. Dan itu sama sekali bukan hal yang Abi inginkan, dia sadar suatu saat Ayahnya akan tahu tapi tentu saja bukan saat ini. Setidaknya, Abi masih bisa menahan segala tingkah menyebalkan Gallen dan kekasihnya. "Nanti Mbok Lastri akan bantu kamu nyiapin semua keperluan yang akan dibawa, ya. Kamu tinggal bikin catatannya aja terus kasih ke Mbok," ucap Bara. Matanya ia alihkan ke asisten rumah tanggannya yang sedang membereskan sisa lauk. Wanita paruh baya itu langsung mengangguk. Abi kembali mengangguk, mengiyakan semua intruksi Ayahnya. Sedang Bara, hanya tersenyum memandangi putra semata wayangnya yang tumbuh menjadi anak yang sangat penurut. Padahal waktu kecil, Abimana adalah anak yang sangat manja yang akan mengamuk dan menangis histeris jika keinginannya tidak di turuti. Tapi semenjak kejadian mengerikan yang merenggut nyawa istri tercintanya, Abimana-nya mulai meredup. Tak pernah lagi terdengar suara rajukannya, suara tangis histerisnya, dan celotehan-celotehan yang kerap Bara dengar ketika pulang kerja. Abimana-nya menjadi pendiam, sampai tidak bisa membuka mulutnya sama sekali. Dokter mengatakan bahwa kejadian yang dialami Abimana mengguncang dengan dahsyat psikisnya, yang membuat Abi mengalami trauma hingga kesulitan berbicara. Bahkan perlahan Abi juga kehilangan kemampuannya melafalkan kata-kata. "Mau ke kamar?" tanya Bara saat melihat Abimana bangkit dari kursinya. Abi mengangguk, dan berpamitan pada Ayahnya. Bara balas mengangguk dan menatapi anaknya yang menghilang dibalik pintu. Dia bukannya tidak tahu bahwa Abi tidak punya teman. Karena sedari dulu anaknya itu tidak pernah membawa temannya untuk main ke rumah. Bahkan setiap ada kerja kelompok, Abi selalu pamit pulang telat untuk mengerjakannya di sekolah. Entah karena Abi yang pendiam atau memang tidak ada yang mau berteman dengannya. Tapi Bara sama sekali tidak pernah terpikir bahwa Abi mengalami hal yang sulit di sekolahnya karena anaknya itu selalu terlihat baik-baik saja. "Anak kesayanganmu itu, sudah besar sekarang. Tampan, sepertiku," gumam Bara. Bibirnya terangkat menampilkan senyum tipis yang masih terlihat menawan. ~ Abi mendekati meja belajarnya. Mengeluarkan buku-buku sesuai jadwal pelajaran besok dan memeriksa apa ada pekerjaan rumah yang harus dia kerjakan. Kemudian helaan nafas lega terdengar, menyadari bahwa besok hari Jumat dan tidak ada pekerjaan rumah. Setidaknya ia tidak harus menahan kesal saat harus menyerahkan hasil pekerjaan rumahnya kepada Gallen. Besok juga ia akan pulang lebih awal jadi dia akan merasa nyaman berdiam diri di rumah lebih lama. Abi naik ke atas ranjang miliknya, lalu pandangannya menerawang ke arah langit-langit kamar. Dia sebenarnya lelah, diperlakukan semena-mena oleh teman sekelasnya. Tapi Abi tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa melawan, sedangkan ia tidak punya satu orangpun yang berpihak padanya. Setiap kali Gallen dan Putri berlaku tidak seharusnya, teman-teman yang lain hanya memandangi tanpa mau ikut campur. Bahkan beberapa dari mereka ada yang ikut menertawakan atau melontarkan perkataan kasar yang membuat kuping Abi langsung berdengung. Dia bisa saja mengadu pada Ayahnya, tapi setelah itu Abimana yakin permasalahannya akan semakin rumit. Ayahnya tidak akan melepaskan setiap orang yang sudah menindasnya. Setidaknya, mungkin Bara akan menuntut agar mereka dikeluarkan dari sekolah. Dan Abimana tidak mau semakin menjadi pusat perhatian karena kejadian seperti itu. Abi memejamkan matanya, dia berdoa agar Tuhan mengirimkan pertolongan untuknya. Entah dalam bentuk apapun, asalkan Abi bisa lepas dari perlakuan buruk teman-temannya. ~ BRAK Abimana terperanjat, saat sebuah kamus tebal mengenai kepalanya. Dia mendongak, mendapati Putri yang menyeringai ke arahnya. "Ups, Sorry engga sengaja," ucapnya dengan wajah di buat-buat. Abi hanya diam, percuma saja toh tidak ada yang bisa ia lakukan. Tanpa mau ambil pusing, ia kembali menyerukan kepalanya di lipatan tangan sebelum pada akhirnya kembali terkejut saat sebuah penghapus papan tulis tepat mengenai bagian depan kepalanya. "Yang, itu keras. Kalau si Gagu kenapa-kenapa, kamu bakal kena masalah," Gallen memperingati kekasihnya tapi Putri justru mendengkus menanggapi ucapan Gallen. Sedangkan Abi menatap tajam ke arah gadis iblis yang dengan sengaja menyakitinya. Dia marah, terbukti dari kedua tanggannya yang mengepal di bawah meja dan jakunnya yang naik turun. Tapi Abi tidak mungkin balas mengasari Putri, selain karena dia seorang perempuan, Gallen juga tidak akan tinggal diam jika pacarnya disakiti orang lain apalagi jika orang itu adalah Abi. "Kenapa lo ngeliatin gue? Engga terima lo, hah?" Putri bersungut tidak suka saat melihat Abi menatapnya tajam. Ia berjalan mendekat dengan tatapan yang membuat teman sekelasnya yang lain merinding, bahkan Gallen sedari tadi berusaha menarik lengan kekasihnya itu. Gallen tahu betul bahwa Putri adalah orang yang lumayan kasar pada orang yang tidak disukainya, itu karena sedari kecil orangtua Putri selalu membelanya sekalipun jelas Putri bersalah. Itu membuat kepribadian Putri menjadi buruk dan selalu berlaku sesuka hatinya. Belum sempat Putri mencapai meja Abi, bel tanda masuk berbunyi. Membuat beberapa orang didalam kelas menghembuskan nafas lega, termasuk Gallen. Dia akan repot kalau sampai terjadi keributan karena bagaimanapun dia ketua kelasnya. "Awas lo!" ancam Putri pada Abi yang sedari tadi masih menatapnya. Abi menghela nafas pelan, tangannya menyentuh bagian depan kepalanya yang terasa perih dan ternyata sedikit benjol. Abi memejamkan mata, alasan apa yang akan ia berikan pada Papinya nanti? Di saat sedang sibuk memikirkan jawaban dari kebingungannya, Bu Yeti, wali kelasnya yang juga guru Bahasa Inggris memasuki kelas. Tapi kali ini Bu Yeti tidak sendirian, di belakangnya mengekor seorang gadis yang mengenakan seragam yang berbeda. Gadis itu cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang ia kuncir ekor kuda. "Morning, Class!" sapa Bu Yeti ke penjuru kelas yang langsung di jawab dengan seruan serempak. "Pagi ini kelas kita dapat teman baru, sebelumnya dia cuma home schooling," ucap Bu Yeti. Lalu tatapannya ia alihkan pada gadis di sampingnya. "Girl, let introduce you're self." Gadis di sebelahnya mengangguk lalu maju satu langkah kedepan. "Hai, Perkenalkan nama saya Nawang Abaya Pradika, saya biasa di panggil Nana. Tapi sebagian orang juga manggil Nawang, terserah kalian mau panggil apa. Saya sebelumnya belajar dirumah jadi mohon bantuannya. Terimakasih," ucapnya singkat padat dan jelas. Lalu kemudian kembali mundur sejajar dengan Bu Yeti. Seisi kelas bergumam menanggapi perkenalan dari Nawang, ada yang iseng menanyakan nomor telepon, ada juga yang berseru mengatakan bahwa Nawang akan jadi saingan Putri karena tidak kalah cantik. Yang jelas-jelas langsung mendapatkan pelototan tajam dari Putri yang duduk didepan bersama Gallen. Bu Yeti hanya menggelengkan kepala menanggapi anak muridnya, lalu mempersilahkan Nawang untuk duduk di sebelah Abimana karena hanya itu satu-satunya kursi yang tidak pernah punya tuan. Abimana jelas terkejut, dia takut Nawang juga akan berlaku kurang baik jika tahu bahwa dirinya bisu atau lebih parahnya gadis itu akan menjauhinya seperti teman-teman yang lain. Nawang berjalan ke arah belakang, sesekali tersenyum kepada teman-teman baru yang menyapanya. Lalu dia meletakan tasnya di atas meja dan duduk menyamping ke arah Abi yang sedari tadi berusaha untuk tidak bertatapan dengan gadis yang kini menjadi teman sebangkunya. "Halo, gue Nawang. Lo siapa?" tanya Nawang ramah, tangannya ia ulurkan ke arah Abi. Abi berjengkit kaget, tidak menyangka bahwa teman sebangkunya akan menyapanya. Abi menoleh sekilas, lalu dengan canggung menghidupkan tabletnya dan menuliskan sesuatu. "Abimana." Nawang membaca tulisan yang ada di tablet yang Abi sodorkan ke arahnya. Keningnya berkerut bingung, lalu menjadi paham saat salah satu teman yang duduk di depannya menyahuti. "Abi engga bisa ngomong. Bisu dia," ujar teman di depannya. Dengan cepat Nawang menatap Abi yang kini sudah menarik lagi tablet miliknya. Nawang melihat Abi menundukkan kepalanya dan tidak menatap ke arahnya sama sekali. Di pikirannya, ini akan sulit karena dia belum pernah mempunyai teman serupa Abi. Tapi bagaimanapun, sebagai teman sebangku ia harus bersikap baik seperti yang sudah di wanti-wanti kedua orangtuanya. "Sory ya gue engga tahu," ujar Nawang dengan wajah meringis. Abimana menoleh ke arah gadis di sampingnya, ia pikir setelah tahu dirinya tidak bisa bicara gadis itu akan langsung menjauh atau meminta untuk pindah tempat duduk. Tapi Nawang justru malah meminta maaf padanya. "Lo tenang aja, gue bisa bahasa isyarat dikit-dikit kok!" Seru Nawang bersemangat. Ia tersenyum lebar, membuat lesung pipinya tampak begitu manis. Abimana tertegun untuk sepersekian detik, baru kali ini ada orang yang mau mengajaknya bicara. Apalagi Nawang adalah gadis yang bisa dikatakan sangat cantik. Benar kata salah satu temannya tadi, Nawang bisa menjadi saingan berat untuk Putri. Apalagi menurut pandangan Abi, lesung pipi yang dimiliki Nawang adalah daya tarik yang luar biasa. Dengan sedikit kaku, Abimana balas tersenyum. Ini adalah pertama kalinya ia tersenyum pada teman sekelasnya, bisa dibilang ini juga pertama kalinya dia memiliki teman sebangku. Terakhir kali ia memiliki teman sebangku adalah saat ia kelas 6 SD, setelahnya ia tidak pernah lagi memilikinya. Teman-temannya berasalan bahwa mereka terganggu karena harus membantu Abi yang kadang kurang mengerti penjelas guru, padahal dengan otak cerdasnya Abi hanya butuh dijelaskan ulang satu kali untuk bisa mengerti. Maka semenjak saat itu setiap kali ia tidak mengerti, ia akan meminta rangkuman pelajaran dari guru secara lansung. Tapi dengan adanya Nawang, ia benar-benar merasa senang memiliki teman sebangku. Ia berharap Nawang bisa menjadi temannya. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD