Satu

1614 Words
Abimana menurunkan kembali tudung hodie yang dipakainya. Bibirnya sedikit bergetar karena hawa dingin yang menyergap masuk ke dalam tubuh, menggagalkan fungsi hodie yang seharusnya mengahalau rasa dingin yang menusuk. Terang saja, karena hari masih sangat pagi. Jam masih mununjukan pukul 5 ketika Abi sudah berjalan menyusuri jalanan komplek yang masih sangat lengang. Hanya ada beberapa Bapak-bapak yang berjalan dari arah masjid kembali ke rumahnya masing-masing. Ini sudah dia lakukan semenjak menginjak kelas sebelas, menjadi orang pertama yang sudah duduk rapi di dalam kelas saat teman-temannya mungkin saja masih terlelap tidur. Abimana berusaha keras agar dirinya tidak terlihat oleh siapapun, menjadi murid yang invisible dan tidak mencolok. Bara sering kali membujuk putranya agar mau berangkat di jam normal, setidaknya ia bisa mengantar Abi ke sekolah seperti orangtua yang lain, tentu Bara tidak akan keberatan. Tapi Abi menolak dengan halus usulan ayahnya dengan berbagai alasan Karena bagi orang sepertinya, menjadi pusat perhatian berarti bencana. Tapi seperti memang tidak ada yang bisa melawan takdir, sekeras apapun dia menjadi murid yang biasa, nyatanya dia memang bukan murid yang biasa itu. Kelebihannya yang memiliki kecerdasan lebih di banding teman-temannya, juga karena ia yang tidak bisa bicara, membuat seluruh isi sekolah mengenalnya. "Oh Abi yang engga bisa mgomong itu?" "Abi yang tunawicara?" "Abimana yang bisu ya?" "Abi yang ganteng tapi engga bisa ngomong, kan?" "Kasian ya, padahal ganteng terus pinter juga. tapi sayang bisu." Seperti itulah dia dikenal sejak dulu. Baik di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai sekarang di sekolah menengah atas. Sejujurnya Abi akan lebih memilih di sekolahkan di sekolah luar biasa dimana ia hanya akan bertemu dengan orang-orang yang serupa dirinya, menurutnya itu akan lebih baik. Tapi Ayahnya bersikeras untuk menyekolahkannya di sekolah umum karena prestasi yang Abi miliki. Abimana Pradigta Bahar terlahir dengan otak yang cemerlang, di usianya yang ketiga tahun dia sudah bisa menghapal alfabet dan menghitung dasar bilangan 1-10. Dan prestasinya semenjak masuk sekolah selalu membanggakan, meskipun semenjak umur 5 tahun dia sudah kehilangan kemampuan bicaranya. Sejak berumur 5 tahun itu, Abi sudah tidak lagi dapat menanggapi ucapan setiap orang. Peristiwa yang dialaminya membuat ia kehilangan kemampuan dalam mengolah kata, bahkan hanya sekedar untuk membuka mulutnya. Meski begitu, Abi tidak pernah mendapat perlakuan yang tidak baik dari teman-temannnya walaupun kebanyakan teman-temannya segan untuk mendekatinya karena tidak bisa bahasa isyarat dan malas jika harus berkomunikasi lewat tulisan di kertas atau di Tablet yang biasa Abi bawa kemana-mana. Namun saat memasuki Sekolah menengah atas, perlakuan yang terindikasi bullying mulai Abimana dapatkan. Walaupun dengan kategori yang tidak parah, seperti sindiran, ejekan, dan hinaan kerap kali dia dapatkan. Tapi Abimana tidak pernah mempermasalahkannya selama tidak ada tindak kekerasan yang ia terima. Baginya, toh jika hanya sekedar kata-kata masih bisa ia tahan. Abi menekuk lututnya, duduk di pinggir trotoar di depan gerbang sekolahnya. Pagar masih di kunci, dan dia harus menunggu sampai penjaga sekolah membukanya. Sudah biasa. Tangannya bergerak mengambil ponsel keluaran terbaru dari saku hodie-nya, hadiah yang ia terima dari sang Ayah ketika kenaikan kelas 11, walaupun Abi bersikeras kalau ia tidak memerlukannya karena memang tidak ada yang akan menghubunginya. Ia membuka grup chat kelas, yang lebih banyak membahas hal tidak penting. Tentu saja Abimana tidak pernah terlibat, tidak pernah ada yang mau bersusah payah mengajaknya bicara. Apalagi teman-temannya lebih tertarik menggosipkan orang lain di grup daripada membahas kepentingan kelas, bahkan mereka tidak segan mengatai Abi di grup walaupun Abi sendiri ada di dalamnya. Klang Abi mendongak, mendapati penjaga sekolah sedang membuka gembok pagar. Terlihat si Bapak penjaga mengernyit sesaat sebelum akhirnya tersenyum ke arah Abi. "Den Abi, toh. Masih gelap gini kok udah nongkrong depan gerbang, den?" Abi balas tersenyum ramah ke penjaga sekolah, tanpa ia jawab pun si Bapak sudah pasti tau alasannya berangkat sepagi ini. Pertanyaan tadi hanyalah basa-basi. Abi menganggukan kepalanya sekilas lalu berjalan ke arah kelasnya. Menaruh tas, memakai earphone, menutup kepala dengan tudung hodie, lalu menidurkan kepala di atas meja. Selalu seperti itu, Abi akan melakukannya sampai dimana teman sekelasnya datang dan pelajaran di mulai. Pukul 6.35. Abi memejamkan matanya. Ini waktunya. Hal yang paling tidak dia sukai, hal yang selalu terulang semenjak dia naik ke kelas 11. Tepat pukul 6.40 maka akan, "Woy, Bi! Jangan pura-pura tidur. Gue pinjem PR lo!" seru seseorang dibarengi dengan gebrakan meja yang sudah tidak membuat Abi kaget lagi. Nah, ini dia! Selalu seperti ini setiap harinya. Gallen, sang ketua kelas bermuka dua. Yang hanya baik dan manis di depan para guru saja. Setiap harinya dia akan selalu menyalin PR yang dengan susah payah Abi kerjakan. Dan seperti orang bodoh, Abi juga tidak bisa menolaknya. Seperti saat ini. Abi mengangkat kepalanya lalu mengambil buku fisika miliknya dan menyerahkan ke arah Gallen yang tengah tersenyum menyebalkan. Sungguh tidak bohong, senyumnya benar-benar menyebalkan. "Thanks, Abimana memang terbaik," ucapnya mencemooh. Abimana bergeming, dia sudah hapal apa yang akan terjadi padanya seharian ini. Tentunya sama dengan hari-hari kemarin. Pukul 6.40 Gallen akan menyalin PR-nya. Lalu saat PR dikumpulkan, guru akan memuji kepintaran Gallen dan wibawanya sebagai Ketua Kelas. Lalu di jam istirahat, Putri, Pacar Gallen akan dengan kurang ajarnya mengambil alih bekal yang Abimana bawa dari rumah. Dan saat pulang Abimana akan jadi yang terakhir pulang karena harus menggantikan setiap teman sekelasnya yang piket. Untuk yang satu itu Abi tidak keberatan melakukannya, karena dengan melaksanakan piket dia jadi bisa pulang saat sekolah sudah sepi. Selalu seperti itu. Dan Abimana tidak pernah protes atau melapor karena tidak ingin terlibat masalah. Selagi tidak ada kekerasan, bagi Abimana tidak masalah. Pelajaran dimulai, guru fisika meminta murid yang dipanggil namanya untuk maju ke depan dan mengerjakan soal yang minggu lalu di jadikan pekerjaan rumah. Nama Gallen Rivandra Syahreza yang pertama disebut. Dengan percaya diri, sang ketua kelas maju ke depan dan menuliskan jawaban soal nomor satu di papan tulis. Seperti dugaan semua orang, Gallen menerima pujian yang seharusnya tidak pantas dia terima. Tapi semua orang tentu saja tidak mau repot-repot melaporkan tingkah tidak adil Gallen, karena bagi mereka Gallen adalah pusatnya kelas 11 IPA 1. Abimana pun tak ambil pusing, toh walaupun Gallen curang tapi nilai akhir tetap Abimana yang tertinggi. Menjadi peringkat pertama juara umum seperti sudah menjadi identitas Abimana. Itu juga yang membuat Gallen tidak menyukainya, karena Gallen hanya ingin semua orang tertuju padanya. Saat bel istirahat pertama di bunyikan, Abimana berdiam diri. Membiarkan buku-bukunya tetap berserakan di atas meja. Ia menunggu seluruh temannya pergi, walaupun dia tahu akan ada yang terjadi setelah ini. "Hei, Gagu!" Benar saja. Si penagih bekal datang sudah. Tanpa menunggu lebih lama, Abimana memberikan kotak bekalnya pada Putri. Teman sekelasnya yang diakui paling cantik satu sekolahan, pacar Gallen, dan tukang palak bekal Abimana setiap hari. "Hehe makasih ya, Gagu!" serunya tanpa rasa bersalah. Abimana terdiam. Tidak pernah ada yang tahu bahwa kepalan tangan Abimana di bawah meja adalah bukti bahwa dia tidak baik-baik saja. ~ "Den, makanannya mau bibi angetin?" Abimana berhenti melangkah, menatap ke arah Pembantu rumah tangga yang sudah menemaninya sedari kecil. Dia tersenyum tipis lalu mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin makan dan hanya mau masuk ke kamarnya. Sulastri, atau yang akrab dipanggil Mbok Lastri itu memandang prihatin anak asuhannya itu. Wanita paruh baya itu paham betul kalau Den Abi-nya itu tidak diperlakukan baik di sekolah. Tapi walau begitu, Abi tidak pernah mengadukan apapun pada Ayahnya. Padahal Ayah Abimana, adalah sosok yang sangat baik dan perduli kepada keluarganya. Barata Bahar, Ayah Abi, selalu pulang tepat waktu dan langsung menemui Abi saat sampai di rumah. Bertanya bagaimana keseharian Abi dan menanyakan apa ada yang Abi butuhkan. Namun sikap penyayang dan baik hatinya itulah yang membuat Abi memendam segala tingkah jahat temannya, karena dia tidak ingin membuat Ayahnya sedih. Dia tidak ingin menyusahkan Ayahnya lebih lagi. Tepat pukul 5 sore, pagar rumah terdengar di geser. Sebuah mobil HRV silver masuk ke pekarangan rumah, lalu seorang pria berbadan tinggi tegap dengan lesung pipi di kedua pipinya keluar. Ayah Abi pulang. Di usianya yang sudah menginjak usia 42 tahun, ketampanan masih terlihat jelas. Rambutnya masih seluruhnya hitam, dengan badan kekar tegap. Seorang duda yang memutuskan tidak ingin menikah lagi semenjak istrinya meninggal. Seorang duda tampan yang bertekad hanya akan hidup dengan satu-satunya putra yang ia miliki. "Abi sudah makan, Mbok?" tanyanya pada Mbok Lastri saat wanita paruh baya itu menyambut di balik pintu. Dengan tatapan sendu, Mbok Lastri menggeleng. Bara menghela nafas pelan, anaknya selalu seperti itu. Tanpa berkata lagi, Bara berjalan menuju lantai dua tempat kamar Abi berada. "Abi, boleh Papi masuk?" tanyanya lantang. Lalu pintu dibuka dari dalam. Abi berdiri menyalami tangan Ayahnya. Bara berderap masuk ke dalam kamar anak remajanya. Duduk di pinggiran kasur dan meminta Abi duduk di sebelahnya. Hubungan mereka terbilang dekat, jika kebanyakan seorang Ayah akan berjarak dengan anak lelakinya maka lain hal dengan Bara dan Abi. Semenjak istrinya berpulang, Bara mencurahkan perhatiannya untuk perusahaan dan Abi. Di setiap ada acara di sekolah Abi, Bara selalu menyempatkan datang. "Kenapa engga makan?" tanya Bara. Abi menatap wajah Ayahnya sekilas lalu menggeleng. "Abi belum lapar," isyaratnya. Bara menepuk pundak anak lelakinya pelan, "Nanti malam harus makan bareng Papi, ya?" Abi mengangguk setuju, lalu membiarkan Ayahnya berlalu keluar kamar. Abi memandangi punggung Ayahnya yang menghilang di balik pintu. Ayahnya pasti kesepian karena harus menduda selama hampir 12 tahun. Bukan Abi melarang Ayanya untuk menikah lagi, bahkan Abi kerap menyuruh Bara untuk mencari pengganti Maminya, tapi jawaban Bara selalu sama, "Papi engga punya waktu untuk itu." Dan itu justru membuat Abi merasa bersalah. Karena dia yang cacat, Ayahnya jadi harus mengurusinya dengan waktu lebih banyak dari anak lainnya. Bahkan dulu, waktu Ayahnya yang berharga harus terbuang sia-sia hanya karena harus belajar bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan Abi. Abi menyesali kekurangan yang ada pada dirinya. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD