Satu

3838 Words
Senin (15.31), 22 Maret 2021 ------------------ Dua lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun, tampak sangat serius. Sesekali mereka saling melirik lalu menunduk kembali. Bintik-bintik keringat tampak bermunculan di pelipis dan bawah hidung keduanya, menunjukkan betapa tegang dan waswas mereka. Samuel Walter—lelaki yang rambutnya dibiarkan memutih dan lebih banyak keriput di wajah—tersenyum kecil. Dia melirik meremehkan pada lelaki di seberangnya yang terlihat begitu gusar. Dalam pertarungan apapun, kuncinya adalah ketenangan. Jika kau tidak bisa tenang di medan perang, jangan harap kemenangan berada di tanganmu. Seperti saat ini, kemenangan sudah di depan mata Sam karena lawannya sama sekali tidak bisa menguasai diri dan dibayangi ketakutan akan kalah. Yah, sebenarnya wajar. Karena jika Sam menang, dia akan mengambil sesuatu yang sangat berharga dari lelaki itu. Sementara itu Seth Reeves—yang tampak lebih muda dari Sam karena perawatan—menelan ludah beberapa kali. Dalam hati dia mengutuki diri sendiri karena tidak seharusnya termakan ocehan Sam hingga menjadikan sesuatu yang lebih berharga dari nyawanya sendiri sebagai taruhan. Ya, dirinya tidak boleh kalah. Sekali lagi menelan ludah, Seth mengambil langkah mendekati area Sam. Dia merasa seperti menghantarkan nyawa karena sudah banyak prajuritnya yang tumbang. Sam menyeringai. Tebakannya tidak meleset. Dia sudah menduga Seth akan melangkah ke sana. Dan hanya dengan dua kali gerakan lagi, Sam pasti akan langsung menendang kuat si tua Seth. Senyum tertahan Sam tersungging. Dia melangkah santai. Langkah tenang yang tampak tak berbahaya, tapi jelas mematikan. Jika Seth menyadari, dia pasti tahu tidak ada jalan keluar lagi. Satu langkah ke arah manapun yang akan Seth pilih selanjutnya, jelas mengantarkan Sam ke dalam kemenangan. Dia sudah tidak sabar menanti hadiah di depan mata. Seth mengerutkan kening. Seharusnya Sam tidak melangkah ke arah situ. Sedari tadi dia menduga-duga, langkah mana yang mungkin diambil Sam. Namun dugaannya meleset. Apa yang sebenarnya direncanakan si tua satu itu? Sejenak Seth mendongak menatap Sam yang juga balas menatapnya dengan salah satu alis terangkat. Jelas lelaki itu sedang menahan senyum penuh kemenangan. Kembali Seth menunduk lalu bersiap melangkah. Dia memejamkan mata sejenak, berdoa semoga dirinya menang karena ini berhubungan dengan masa depan cucu tersayangnya, Razita Reeves. Kemudian Seth melangkah pasti. “Giliranku, kan?” goda Sam karena ini adalah akhir dari pertarungan. Seth menatap Sam kesal. “Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja!” Sam tidak memperpanjang. Dengan seringai lebar dia melangkah dan— “Skakmat!” seru Sam bangga. Seth melongo menatap rajanya yang tidak bisa bergerak lagi Bagaimana bisa? “Aku menang.” Sam menyandarkan punggung di sofa ruang tamu rumahnya dengan kegembiraan sangat jelas tergambar di wajahnya. “Kenapa aku tidak menyadari bahwa rajaku terkepung?” nada suara Seth menunjukkan dia tidak menerima kekalahannya. “Kenapa tanya aku? Bukan aku yang menggerakkan bidak caturmu.” Sam membela diri tenang. “Pasti ada kesalahan. Kita main sekali lagi.” Seth mulai menata kembali bidak catur tanpa menunggu persetujuan Sam. Mendadak Sam berdiri sambil menggeliat untuk merenggangkan ototnya yang kaku. “Kau main saja sendiri. Aku mau menikmati hadiahku.” “Heh, cucuku bukan hadiah!” seru Seth kesal sambil berdiri. “Aku kan tidak mengambil cucumu. Tapi mulai besok dia adalah tunangan Adam. Sebaiknya kau bantu aku mencarikan cincin yang cocok untuknya.” Sam tampak sangat girang. “Astaga, Sam. Dia baru tujuh tahun. Bisa-bisa Mikaela mencincangku nanti.” Seth tampak gusar. “Kau ini berlebihan sekali,” cibir Sam. “Pertunangan Adam dan Rara hanya akan menjadi rahasia kita berempat. Lagipula kau sudah setuju jika aku menang, mereka akan bertunangan.” Sam melangkah ke pintu masuk lalu menyandarkan bahu di ambang pintu. Tatapannya tampak sangat lembut mengarah pada dua orang di halaman. Adam Walter yang berusia empat belas tahun tampak sangat telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan Rara. Sesekali keduanya tertawa yang membuat bibir Sam melekuk membentuk senyuman. “Sungguh aku merasa tidak yakin dengan ini.” Seth yang kini berdiri di samping Sam mendesah. “Mereka masih terlalu kecil. Perjalanan mereka masih panjang. Bisa jadi beberapa tahun kemudian mereka jatuh cinta pada orang lain.” “Ayolah, Seth. Kau terlalu banyak berpikir. Sesekali biarkan lelaki tua ini senang.” Sam menegakkan tubuh dari posisi semula. Dia menepuk bahu Seth sejenak lalu kembali ke dalam rumah. “Tumben kau sadar bahwa dirimu sudah tua. Biasanya kau selalu pura-pura masih muda.” Seth berkata seraya mengikuti Sam. “Kapan aku bilang bahwa aku sudah tua?” “Tadi kau mengatakannya.” “Berkata apa?” Seth berkacak pinggang menatap punggung Sam. “Kau mengaku masih muda tapi sudah pikun.” “Hah, kau bilang apa?” “Pendengaranmu juga terganggu.” Kali ini tidak ada jawaban karena Sam sudah menghilang ke halaman belakang rumah meninggalkan Seth yang hanya bisa geleng-geleng kepala akan tingkah sahabatnya itu. *** “Kak, pohon ini masih kecil tapi kenapa sudah berbuah?” tanya Razita sambil menunjuk pohon sawo. Adam tersenyum. Dia suka rasa penasaran Razita. “Memang pohon ini kecil, tapi sudah tua dan waktunya berbuah.” Kening Razita berkerut. “Kenapa bisa seperti itu?” “Karena Kakak menanamnya dalam pot hingga akarnya tidak bisa berkembang mencari makanan.” Sebisa mungkin Adam menyesuaikan penjelasannya dengan usia Razita. “Jadi akar pohon bisa mencari makanan.” “Iya. Sama seperti Rara kalau kurang makan makanan sehat, nanti tidak bisa tumbuh tinggi seperti Kakak.” Kembali kening gadis itu berkerut. Dia mendongak menatap Adam selama beberapa saat lalu berkata, “Rara tidak mau tinggi seperti Kakak. Kata Mama kalau sudah tinggi tidak boleh gendong lagi. Rara masih ingin digendong.” “Hmm, seperti adek bayi,” ejek Adam. “Tidak mau jadi adek bayi.” Razita menggeleng. “Kalau masih suka digendong sama seperti adek bayi.” Bibir Razita mengerucut kesal, tapi kedua tangannya terulur pada Adam sebagai isyarat minta digendong. Adam terkekeh seraya membungkuk di depan Razita hingga kepala mereka sejajar. “Adek bayi minta gendong, ya?” goda Adam. “Rara bukan adek bayi!” “Kalau bukan adek bayi kenapa masih minta gendong?” “Rara cuma minta gendong sama Kak Adam.” “Loh, kenapa?” “Karena kata Kakek Sam, Kak Adam kekasih Rara. Jadi Rara boleh minta apa saja.” Ujar gadis itu polos. Adam menunduk menatap tanah untuk menyembunyikan perasaan frustasinya akan tingkah sang Kakek. Kakeknya memang sering bertingkah konyol. Tapi tidak pernah separah ini. Entah apa yang dipikirkan sang Kakek saat menjejali otak Razita dengan hal-hal yang berhubungan dengan kekasih. “Kak, kenapa? Ayo gendong!” pinta Razita manja. Tanpa menunggu jawaban Adam, dia melingkarkan lengan di leher Adam. Mudah melakukannya karena Adam masih membungkuk di depan Razita. “Oke,” ujar Adam seraya melingkarkan lengan di bawah b****g Razita lalu mengangkat gadis itu. “Memangnya mau ke mana minta gendong?” “Naik ayunan.” Razita menunjuk sebuah pohon besar agak jauh dari mereka. Salah satu dahan pohon itu digunakan untuk mengikat ayunan sederhana yang dibuat berbahan papan kayu dan tali tambang. Adam mencubit pelan pipi tembam Razita. “Uh, manjanya. Biasanya juga jalan sendiri ke sana sampai Kakak kebingungan.” “Biarin!” Razita menjulurkan lidah pada Adam. Adam menyipitkan mata seperti sedang menegur. “Itu tidak sopan.” Sadar akan kesalahannya, Razita segera membenamkan wajah di pundak Adam seraya bergumam, “Maaf.” Adam tersenyum tapi berusaha menyembunyikannya. “Lain kali jangan diulangi atau Kakak tidak mau menggendong Rara lagi.” Razita mengangguk pelan tanpa mengangkat wajah. “Pintar. Sekarang ayo main ayunan!” ujar Adam seraya berjalan menuju ayunan. Perlahan Razita mengangkat wajah lalu melirik ragu pada Adam. Dia masih khawatir Adam marah tapi rupanya lelaki itu sedang tersenyum padanya. “Kakak jangan marah lagi.” “Siapa yang marah?” “Tadi Kakak marah.” “Tidak. “Sungguh?” “Iya, sungguh.” Adam mengangguk. Tak diduga, Razita mengecup sekilas bibir Adam hingga membuat remaja itu menatap bingung. “Kenapa mencium Kakak?” “Kalau Rara minta maaf pada Kak Rachles atau Kak Raynand, pasti mereka minta cium.” Adam terkekeh. Dia ingat dua nama yang disebut Razita karena Kakek Seth sering menceritakan tentang keluarganya. “Kalau mencium Kak Rachles atau Kak Raynand tidak apa-apa. Tapi kalau lelaki lain termasuk Kak Adam tidak boleh.” “Kenapa?” tanya Razita bingung. “Pokoknya tidak boleh. Hmm, kalau di pipi bolehlah.” Kening Razita kembali berkerut. Sebelum gadis kecil itu menanyakan hal lain, mereka sudah sampai di ayunan. Adam langsung mendudukkan Razita lalu ia pindah berdiri di belakang punggung Razita. “Pegangan, ya!” perintah Adam lalu mulai mendorong. Razita tertawa senang. Rambutnya yang dikuncir kuda melambai liar saat tubuhnya bergerak mengikuti gerakan ayunan. Adam turut tertawa. Dari dulu dia memang menyukai anak kecil. Namun sayang, tetangga sekitarnya tidak ada yang memiliki anak kecil. Apalagi kebanyakan anak muda di daerah itu memilih merantau ke luar kota, lalu menetap dan berkeluarga di sana. Jadi hanya sesekali berkunjung. Selain itu Adam juga tidak memiliki sanak saudara. Ah, mungkin kakeknya punya. Namun menurut cerita sang Kakek, beliau diusir keluarga karena menikahi seorang p*****r. Akhirnya mereka memilih tinggal dan menetap di tempat ini. Hanya dikaruniai satu anak yaitu ayah Adam. Saat Adam baru menginjak usia dua tahun, sang Nenek dipanggil Yang Kuasa. Sejak itu Kakek Seth menghabiskan masa tuanya bersama Adam dan orang tuanya. Hidup terus berjalan dan manusia tidak akan pernah bisa menebak rencana Tuhan. Begitu Adam mencapai usia sebelas tahun, giliran kedua orang tuanya yang harus kembali pada Sang Pencipta akibat kecelakaan, membuat Adam dan sang Kakek hanya tinggal berdua. Sedih, memang. Ah, lebih dari sedih. Mungkin hancur dan terluka lebih tepat. Tapi mau tidak mau mereka harus tetap melangkah menyongsong masa depan. Tidak ada waktu untuk berkubang dalam kesedihan terlalu lama. “Kak! KAK ADAM!” Adam tersentak kaget lalu menunduk menatap Razita yang ayunannya sudah berhenti. Bibirnya mengerucut kesal karena diabaikan. Adam tersenyum. Gadis kecil ini sangat menggemaskan. Padahal mereka baru kenal tiga hari lalu namun Adam sudah begitu menyayanginya. “Ada apa, Sayang?” “Kakak berhenti mendorong ayunan,” ujar Razita dengan nada merajuk. “Jangan merajuk. Ayo Kakak dorong lagi.” Razita menggeleng. “Pangku saja. Kita naik berdua seperti Rara dan Kakek Seth kemarin.” “Dasar manja!” Adam tersenyum seraya mengacak poni Razita. Dia menurunkan gadis itu lalu duduk di ayunan. Setelahnya ia menaikkan Razita ke atas pangkuan. Mereka tertawa bersama ketika ayunan bergerak kencang. Sesekali kaki Adam menapak tanah untuk menambah kecepatan. Sementara kepala Razita rebah di dadanya. Cukup lama mereka bermain, perlahan suara Razita mulai tak terdengar. Adam menoleh lalu tersenyum mendapati gadis kecil di pangkuannya sudah terlelap. “Adam! Rara! Waktunya makan siang!” Seth berteriak sambil melambai dari pagar rumah. Tempat Adam dan Razita bermain memang agak jauh. Sekitar tiga puluh meter dari rumah. Walau daerah itu sudah terbilang kota, masih banyak rumah yang jaraknya dengan rumah lain lebih dari sepuluh meter dan di sekitar rumah merupakan padang rumput. Seperti rumah yang ditempati Sam dan Adam. Adam tidak menjawab panggilan Seth karena dia harus balas berteriak. Perlahan remaja itu mengatur tubuh Razita agar miring. Setelahnya dengan mudah ia berdiri sambil membopong si gadis kecil lalu berjalan menuju rumah. Tak lama kemudian Adam sudah sampai di dekat Seth yang menunggu. “Rara tidur? Padahal dia belum makan siang,” gumam Seth seraya berjalan di samping Adam. “Apa harus kubangunkan sekarang?” tanya Adam. “Tidak perlu. Biar dia makan siang setelah bangun nanti.” Adam mengangguk. “Oh ya, Adam.” Seth menahan lengan Adam hingga remaja itu berhenti lalu menoleh menatap Seth penuh tanya. “Kakek kalah taruhan konyol dengan kakekmu. Bisakah kau tidak menuruti permintaan anehnya? Aku memintamu karena Razita masih terlalu kecil untuk mengerti. Sedikit dibujuk saja dia pasti akan mengiyakan permintaan kakekmu.” Raut wajah Adam menunjukkan rasa bingung. “Memangnya Kakek Sam akan meminta apa?” Seth mendesah. “Dia sangat ingin kau dan Razita—” BRAK!! PRANG!! Adam dan Seth saling menatap selama sedetik lalu bergegas ke dalam rumah. “Sam!” Seth berseru seraya terus melangkah masuk sementara Adam merebahkan Razita di kursi ruang tamu lalu menyusul Seth. Kedunya mencari ke dapur karena tadi Sam sedang membuat makan siang. “Kakek!” “Sam!” Adam dan Seth berseru bersamaan saat mendapati tubuh Sam tergeletak di lantai dengan mulut berbusa. Seth segera berlutut di samping Sam sementara Adam hanya terpaku di tempat, menatap horor tubuh kakeknya yang tergeletak di lantai. Dia seperti dipaksa kembali ke masa lalu, saat melihat tubuh kedua orang tuanya terbaring kaku. Apakah dirinya akan kehilangan lagi? Apakah dia akan ditinggalkan lagi? Mendadak mata Adam memanas lalu tetes air mata mengalir di pipinya. Semua seperti berjalan lambat bagi Adam. Dia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan Seth karena perhatiannya hanya fokus pada wajah sang Kakek. Kenapa semua orang pergi darinya? “Adam! Lihat Kakek!” Adam bahkan tidak menyadari kapan Seth berdiri di hadapannya lalu menepuk-nepuk pipinya. Yang dia tahu matanya buram saat berusaha menatap mata cokelat keemasan milik Kakek Seth. “Dengar! Sam baik-baik saja. Bantu Kakek membawanya ke mobil.” Adam mengangguk segera menyeka matanya yang basah. Dia berusaha tidak menangis terisak karena kakeknya selalu bilang lelaki tidak boleh cengeng karena nanti harus menjadi kepala keluarga tempat orang-orang tersayangnya bersandar. Seth kembali berlutut di dekat kepala Sam lalu berusaha mengangkat kepala dan punggung sahabatnya itu. “Adam, kau angkat kakinya!” Kembali Adam hanya mengangguk lalu berlutut di dekat kaki Sam. Dia merapatkan bibirnya kuat-kuat agar tangisnya tidak pecah. “Seth.” Mendadak Sam berkata lirih. “Kakek,” panggil Adam pelan sekaligus takut. “Sudah jangan bicara. Simpan tenagamu. Kami akan segera membawamu ke rumah sakit.” Seth berkata. “Tidak, Seth.” Nafas Sam tampak tersengal. “Aku…tidak butuh rumah…sakit. Mana cucuku?” Adam segera bergeser agar berada dalam pandangan Sam. Jemarinya menggenggam erat salah satu tangan sang kakek. “Aku di sini, Kek,” ujar Adam tercekat. “Nak, mungkin waktu Kakek tidak lama lagi Boleh kakek minta sesuatu?” Tanpa pikir panjang, Adam langsung mengangguk. Sementara itu Seth malah mengerutkan kening. Kenapa rasanya terlalu kebetulan? “Katakan saja, Kek.” Adam berkata lembut. “Berjanji lah dulu untuk mengabulkan keinginan Kakek ini.” Segera Adam mengangguk. “Iya, Kek.” Mata Sam memejam sejenak, lalu terbuka lagi. “Bertunanganlah dengan Razita.” Adam tampak kaget sementara Seth mengangkat satu alis dengan curiga. Dia sudah menduga pasti permintaan Sam berhubungan dengan hal ini. Dan itu membuatnya semakin yakin bahwa Sam hanya pura-pura. “Kakek Sam kenapa?” Suara bernada mengantuk di ambang pintu dapur membuat Seth dan Adam menoleh. “Rara.” Kembali suara lemah Sam terdengar. “Kemarilah, Nak.” Ingin sekali Seth memukul kepala Sam sampai dia sekarat sungguhan. Tapi melihat wajah sedih Adam membuat niat Seth urung. Dia tidak mau remaja malang itu lebih sedih dan juga kecewa. Lagipula tega sekali Sam menipu cucunya sendiri. Razita yang tadi dipanggil Sam mendekat. Dia berjongkok di samping Adam, menatap Sam penasaran. “Rara, kemarikan tanganmu.” Ujar Sam lemah sambil mengulurkan tangannya yang tidak digenggam Adam. Tanpa tanya Razita meletakkan tangannya di atas tangan Sam yang dalam posisi meminta. Setelahnya Sam menyatukan tangan Adam dan Rara. “Kakek?” tanya Adam bingung. “Nak, anggap saja Kakek egois dengan memaksakan hal ini.” Mata Sam panas, lalu air mata jatuh di sudut matanya. Ya, Sam memang hanya pura-pura. Tapi tangis dan ucapannya kali ini berasal dari lubuk hati. “Tapi Kakek hanya ingin memastikan kalau kau tidak akan sendirian andai kakek benar-benar pergi.” Adam menggeleng. Kembali air matanya menetes. “Kakek tidak akan kemanapun. Kakek akan terus di sini bersamaku.” Sam memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan tangisnya. Ini yang selalu menghantui pikiran Sam dari hari ke hari. Usianya tidak lagi muda. Kematian bisa merenggutnya kapan pun. Lalu saat itu tiba, Adam akan tinggal bersama siapa? Seth yang melihat itu seketika mengerti. Dia bisa menduga ke arah mana pikiran Sam. Dia takut Adam sendirian jika Yang Kuasa memanggilnya. Yah mungkin masih ada Seth. Tapi Seth juga sudah tidak muda. Mendadak d**a Seth terasa sesak. “Kakek—” Sebelum Adam berkata lebih jauh, Sam kembali menatap cucunya itu dan Razita yang terlihat bingung. “Tolong, Nak. Kabulkan keinginan Kakek ini. Biarkan Kakek merasa tenang karena yakin ada seseorang yang terus di sampingmu meski Kakek tidak ada.” “Tapi Kek—” Adam melirik Razita sebelum melanjutkan. “Rara masih terlalu kecil. Aku khawatir—” “Adam.” Kali ini Seth angkat bicara. Awalnya dia juga tidak setuju dengan keinginan Sam. Tapi setelah mengerti alasannya, dia bertekad mendukung. “Untuk urusan nanti di masa depan, kalian bisa membicarakan hal ini baik-baik jika ada ketidakcocokan. Pertunangan ini hanya mengikat selama kalian berdua tidak keberatan. Atau, apa kau sedang menjalin hubungan cinta dengan seseorang?” Adam menggeleng pelan lalu lagi-lagi melirik Razita. “Kalau begitu tidak ada masalah, kan?” “Kakek Seth setuju?” Adam balik tanya. “Kenapa tidak? Kakek yakin kau lelaki yang pantas untuk Razita.” Adam masih terlihat ragu. “Ayolah, Nak. Kau terlalu banyak berpikir. Sesekali biarkan lelaki tua ini senang.” Sengaja Seth meniru kata-kata yang diucapkan Sam padanya. Sam tertawa pelan, masih pura-pura lemah. “Bagaimana, Adam?” desak Sam. Adam menggigit bibir bawah sejenak lalu mengangguk pelan. Dalam hati dia merasa bersalah dan jahat karena hanya dirinya yang keputusannya dipertimbangkan sementara Razita tidak. “Bagus sekali.” Puji Seth sambil menepuk bahu Adam. “Sekarang ayo bantu Kakek membawa orang tua ini ke kamar.” “Apa Kakek Sam benar-benar tidak butuh dokter?” Adam masih terlihat khawatir. “Tidak perlu,” ujar Sam pelan. “Yakin bahwa kau tidak akan sendirian sudah menjadi obat mujarab untuk Kakek.” “Nah, kau dengar dia? Ayo bantu Kakek sebelum Kakek memutuskan untuk menyeretnya ke kamar.” Buru-buru Adam mengagguk lalu meminta Razita untuk pindah. Setelahnya Adam dan Seth membawa Sam ke kamar sedang Razita membuntuti di belakang mereka. *** “Andai ada produser yang melihat aktingmu tadi, kau pasti akan langsung mendapat tawaran peran utama.” Sindir Seth yang duduk di kursi samping ranjang. “Sssttt, nanti Adam dengar.” Sam memperingatkan. “Mereka sedang makan siang di dapur,” ujar Seth masih tampak kesal. “Aku jadi penasaran apa yang kau gunakan hingga menyerupai busa.” “Aku mengocok susu.” Sam membocorkan. “Lagipula ini salahmu.” “Apanya yang salahku?” Seth bertanya tidak mengerti. “Seandainya kau tidak berencana merusak rencanaku, aku tidak perlu sampai membohongi Adam. Kau pikir aku tidak tahu bahwa tadi di depan rumah kau hendak memberitahu rencanaku pada Adam dan membujuknya agar menolak.” “Wow, jadi kau tahu. Tapi bagaimana bisa? Apa suaraku terdengar sampai ke dapur?” “Aku tidak mendengarmu tapi aku melihatmu. Apa kau lupa bahwa aku bisa melihat halaman depan dari jendela dapur?” Ah iya, Seth baru ingat bahwa rumah Sam  bangunannya menyerupai bentuk L. “Kenapa kau mendadak berubah pikiran lalu mendukung keputusanku?” tanya Sam penasaran. “Karena aku mengerti alasanmu.” Seth diam sejenak. “Aku juga sempat memposisikan diri di tempatmu. Andai Rara atau salah satu cucuku yang lain yang harus hidup tanpa orang tua dan sanak saudara, hanya mengandalkan diriku yang sudah tua, bisa kubayangkan betapa mengenaskannya.” “Yah, itu yang kutakutkan,” ujar Sam sedih kemudian senyumnya merekah. “Tapi sekarang tidak lagi. Aku yakin Adam akan baik-baik saja dengan adanya Rara di sampingnya. Dia akan terus menjadi pribadi seperti sekarang, tidak berubah hanya karena sendirian.” Sebenarnya bisa saja kedua bocah itu benar-benar merasa tidak cocok satu sama lain dalam dua atau tiga tahun mendatang. Bukankah itu berarti Adam akan tetap sendirian? Tapi Seth hanya menyimpan pemikiran itu untuk dirinya sendiri. Biarlah Sam merasa tenang dan tidak terus-menerus mengkhawatirkan Adam. “Seth, bilang pada mereka setelah selesai makan segera datang ke sini. Kita harus meresmikan pertunangan ini.” Sam tampak begitu antusias. Seth mendesah. “Meresmikan seperti apa lagi?” “Kau banyak tanya seperti wanita. Sana bilang saja pada mereka!” “Untung kau sahabatku. Kalau bukan sudah aku kubur hidup-hidup sedari dulu. Seenaknya saja menyuruhku ini itu. Jangan lupa aku lebih tua darimu.” Seth berdiri dengan tatapan kesal tertuju pada Sam yang hanya nyengir. “Tenang saja, Seth. Aku tidak akan pernah lupa kalau kau akan mati lebih dulu dariku. Kau yang jangan lupa menuliskan bunga jenis apa yang kau inginkan untuk pemakamanmu. Jadi aku bisa bersiap.” “Makhluk satu ini!” Seth melotot. “Sudah sana pergi. Bicara denganmu membuat kondisi tubuhku semakin lemah.” Sam meremas d**a sambil bernafas tersengal-sengal. Kesal, Seth mengambil bantal lalu ia tutupkan ke wajah Sam. Tidak lama karena dirinya juga takut kehilangan sahabat terbaiknya itu. Tapi tentu saja aksi tiba-tiba Seth berhasil membuat Sam benar-benar tersengal-sengal. “Kau ingin membunuhku, hah?!” nada suara Sam meninggi seraya mengatur nafas. “Aktingmu payah. Seperti ini lebih baik karena kau tidak pura-pura lagi.” “Dasar tua bangka busuk—” “Kakek, ada apa?” Umpatan Sam terhenti begitu mendengar suara Adam dari ambang pintu. Segera dia kembali pura-pura lemah sambil mengusap dadanya. Dengan nafas terengah karena berlari setelah mendengar nada tinggi Sam, Adam masuk ke kamar lalu duduk di sisi ranjang Sam. Di belakangnya tampak Razita mengekori Adam seperti anak ayam. “Apa yang terjadi, Kek?” Adam menuntut penjelasan dari kedua Kakek itu. Seth berdehem. “Tadi Sam menyuruh Kakek untuk memanggil kalian.” “Kenapa? Apa Kakek butuh sesuatu?” Adam kembali bertanya. Merasa diabaikan, Razita berdiri di antara paha Adam. Adam melirik Razita lalu ingat bahwa gadis kecil itu belum menyelesaikan makannya. Dia merasa bersalah karena Razita berhenti makan untuk mengikutinya. Tanpa kata Adam mengangkat gadis itu ke pangkuan. Sam dan Seth tersenyum melihat itu. “Adam, Kakek hanya ingin meresmikan pertunangan kalian. Yah, walau ini hanya di depan kita berempat.” Sam menjelaskan. Perlahan dia mengubah posisi menjadi duduk lalu meraih sesuatu di bawah bantal. “Ini adalah cincin yang Kakek gunakan untuk melamar Nenekmu. Kakek membelinya setelah mengumpulkan uang selama empat bulan bekerja.” Sam tersenyum mengingat masa itu. “Saat ayahmu menikah, Nenekmu memberikannya pada ibumu. Sekarang Kakek akan memberikan pada calon istrimu. Kebetulan sekali selama Kakek menyimpannya, Kakek memasangkan rantai kalung. Jadi Rara bisa memakai kalung ini lalu mengenakan cincinnya setelah besar.” Adam kembali diliputi keraguan saat menatap cincin yang diulurkan kakeknya. “Wah, bagus sekali,” gumam Razita menatap kalung cincin di tangan Sam. “Boleh itu untuk Rara?” Senyum Sam merekah seperti memenangkan lotre sementara Seth hanya geleng kepala. “Rara mau?” tanya Sam penuh harap. Razita mengangguk. “Lihat, Adam! Rara menyukai cincin ini,” ujar Sam senang. “Cepat pasangkan di leher Rara!” Adam menghela nafas lalu mengambil kalung cincin di tangan Sam. Mendadak tangannya gemetar saat memasangkan rantai kalung di leher Razita dari belakang karena gadis kecil itu masih duduk di pangkuannya. Anehnya rantai kalung dari emas murah itu tampak serasi bersanding dengan kalung emas murni dengan inisial huruf R yang memang dikenakan Razita. Adam menatap Razita dari samping. Gadis itu tampak begitu antusias mendapat perhiasan baru. Andai dia sadar dan mengerti bahwa benda itu memiliki tanggung jawab besar, akankah Razita masih seceria itu? ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD