Dua

2339 Words
Selasa (13.05), 30 Maret 2021 --------------------- Gadis kecil delapan tahun dengan rambut dikepang dua terlihat begitu senang memandangi panorama alam di sekitarnya dari kaca mobil yang melaju. Sesekali dia bernyanyi bersama lelaki di sampingnya yang sedang menyetir. “Kakek, apa kita bisa langsung mampir ke rumah Kakek Sam?” tanya Razita, si gadis kecil. Seth menahan senyum. “Tidak bisa, Sayang. Kita harus istirahat dulu. Perjalanan tadi sangat jauh dan Rara pasti lelah.” Razita merengut tapi tidak membantah. Sudah tiga bulan berlalu sejak terakhir kali dia datang ke kota itu. Rasanya sudah tidak sabar bertemu dengan Kak Adam, kekasihnya. Yah, meski dirinya belum mengerti apa maksud kata ‘kekasih’. Sebenarnya Razita tidak suka hanya bisa mengunjungi Adam tiap liburan sekolah. Dia bahkan terang-terangan meminta pada orang tuanya agar boleh pindah sekolah ke kota kecil itu. Alhasil semua orang menatap Seth penuh tanya. Tentu mereka penasaran apa yang membuat Razita begitu ingin tinggal di kota kecil itu. Seperti orang yang nyaris ketahuan mencuri, Seth gugup saat berusaha menjelaskan. Beruntung dia pandai menyembunyikan emosi sehingga keluarganya percaya saja ketika Seth bilang Razita jatuh cinta pada kota kecil itu sejak pertama menginjakkan kaki di sana. Perlahan mobil yang mereka tumpangi melambat lalu berhenti di halaman rumah. Tanpa menunggu Seth, Razita membuka pintu, melompat turun lalu bergegas ke rumah. “Rara, tunggu!” seru Seth sambil buru-buru meraih tas berisi pakaian mereka lalu keluar mobil. “Kakek lama sekali,” gerutu Razita begitu sang Kakek berada di dekatnya. Gadis itu tampak kesal saat menunggu Seth datang sambil bersandar di dinding samping pintu yang masih terkunci. “Rara, berapa kali Kakek harus bilang, jangan pergi sendirian,” tegur Seth. “Tapi Rara tidak pergi ke mana pun, hanya ingin segera masuk ke rumah.” Razita merengut. “Memangnya kenapa buru-buru sekali?” “Rara ingin segera istirahat,” ujar gadis itu ketus. Penjelasan Razita membuat Seth menyeringai. Pasti gadis kecil itu ingin segera istirahat agar dibolehkan pergi menemui Adam. “Kakek kenapa hanya senyum-senyum seperti itu? Cepat buka pintunya!” Razita mulai terlihat kesal. “Astaga, gadis ini sangat tidak sabaran.” Seth geleng kepala sambil memasukkan kunci. “Kak Adammu tidak pindah rumah. Seharusnya tidak masalah walau kita mengunjunginya besok atau minggu depan.” “Kakek,” Razita merengek sambil memegang lengan kakeknya. “Kita akan mengunjungi Kak Adam setelah istirahat, kan?” Seth berdecak seraya membuka pintu. “Kakek akan dapat apa kalau setuju?” “Ayam panggang bumbu merah!” Razita memekik dengan antusias. Seth tertawa. “Kakek setuju.” Jelas bukan Razita yang akan membuatnya. Pasti dia akan merengek pada Adam agar dibuatkan makanan itu. Hidup tanpa orang tua dan hanya berdua dengan Sang Kakek membuat Adam belajar mandiri. Di usianya yang masih remaja lima belas tahun, dia sudah bisa masak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Bahkan beberapa masakannya jauh lebih enak daripada masakan Sam dan Seth. Termasuk makanan yang tadi disebut Razita. Razita melompat senang karena Sang Kakek menerima tawarannya. Dia menarik lengan Seth agar menunduk lalu mengecup sekilas pipi Seth. “Kakek memang yang terbaik,” puji Razita. “Sampai jumpa setelah tidur siang, Kek.” Gadis itu melambai lalu bergegas menapaki tangga menuju kamarnya di lantai dua. “Hati-hati, Rara!” seruan Seth sama sekali tidak digubris. Lelaki itu geleng kepala melihat tingkah cucunya. *** “KAK ADAM!!” Razita berteriak sambil melambai begitu kakinya menjejak tanah di halaman rumah Kakek Sam. Seth yang baru mematikan mesin mobil hanya bisa menghela nafas. “RARA!!” Adam turut melambai. Remaja itu bergegas ke pagar rumah dan menunggu gadis kecilnya yang sedang berlari mendekat. “Kakak,” Razita langsung memeluk pinggang Adam. Adam tersenyum. Jemarinya membelai rambut halus Razita. “Wah, Rara semakin tinggi. Sepertinya Kakak tidak bisa menggendong Rara lagi.” Razita memundurkan kepala namun lengannya tetap melingkari pinggang Adam. Gadis itu mendongak membalas tatapan mata cokelat Adam dengan bibir mengerucut. “Rara belum tinggi. Gendong!” seperti biasa, nadanya manja. Adam terkekeh. Ia membungkuk lalu mengangkat Razita ke dalam rengkuhan lengannya. “Ugh! Tuh kan, Rara berat.” Dia pura-pura terengah. Gadis itu semakin merengut. “Nanti Rara tidak mau makan biar tidak berat dan tinggi.” “Yah, tidak boleh seperti itu.” Adam masih hendak berkata lebih banyak tapi terhenti karena seseorang bicara di belakangnya. “Adam, dia adikmu? Imut sekali.” Adam berbalik dan mendapati Fia berdiri di belakangnya. “Oh, sebenarnya bukan adik. Dia cucu sahabat Kakek. Tiap libur sekolah dia pasti datang ke sini dan bermain bersamaku.” Adam menjelaskan. Razita memperhatikan gadis di depan Adam dengan raut tidak suka. Terbiasa hanya bermain berdua dengan Adam atau Kakek mereka membuat Razita tidak bisa menerima keberadaan orang lain. “Hai, siapa namanya?” tanya Fia sambil mengulurkan tangan pada Razita diiringi senyum lembut. Razita hanya melirik tangan itu lalu memalingkan wajah sambil merangkul leher Adam. “Sepertinya dia pemalu.” Kali ini yang berkata adalah Niken. Gadis itu duduk di atas tikar yang Adam hamparkan di halaman rumahnya. Hampir dua bulan Niken dan Fia rutin datang ke rumah Adam dua kali satu minggu untuk belajar bersama. Sebagai siswa yang selalu mendapat nilai tertinggi, Adam diminta teman-teman sekelasnya untuk menjadi guru les. Dia sama sekali tidak keberatan. Dan membuat jadwal berapa kali dalam seminggu mereka belajar bersama tiap pulang sekolah. Tapi tentu saja hal itu kurang bagi Fia yang menyukai Adam sejak kelas satu. Dia ingin memiliki waktu yang lebih akrab dengan Adam. Siapa tahu setelah ujian sekolah berakhir, mereka bisa menjalin hubungan. Karena itulah Fia mengajak Niken, sahabatnya, untuk belajar bersama Adam di rumah pemuda itu. Beruntung Adam tidak keberatan asalkan belajar mereka tidak lebih dari satu jam karena pemuda itu harus membantu Sang Kakek di kebun atau berjualan hasil kebun ke pasar. “Ya, sepertinya begitu.” Fia menanggapi. “Adam, kau sedang belajar bersama ya?” tanya Seth yang baru tiba. Adam menoleh pada Seth. “Iya, Kek.” “Rara, sebaiknya kau bermain bersama Kakek saja di dalam. Kak Adam masih belajar,” ajak Seth. Razita menggeleng. “Tidak mau!” “Rara, jangan mengganggu Kak Adam. Dia harus giat belajar karena sebentar lagi menghadapi ujian.” Razita mengabaikan Seth dan memeluk leher Adam lebih erat. Wajahnya ia benamkan di pundak Adam. Adam terkekeh melihat reaksi ‘tunangannya’ itu. “Tidak apa-apa, Kek.” “Iya, Kek.” Fia ikut-ikutan, sok akrab untuk menarik perhatian Adam. “Pasti menyenangkan bermain dengan Rara.” “Baguslah, Kakek masuk dulu.” Lalu Seth beralih pada Razita yang masih memeluk Adam. “Rara jangan nakal. Antarkan saja dia pada Kakek kalau berulah.” Adam hanya mengangguk. Setelah Seth masuk ke rumah dia membawa Razita ke duduk di atas tikar. Fia juga mengikuti dan duduk di hadapan Adam. “Rara mau kue?” tanya Niken. “Ini buatan Kak Fia lho. Dia membuatnya khusus untuk Kak Adam.” Dia menggoda sahabatnya. Fia tersenyum malu sambil menunduk dan sesekali melirik Adam. Adam membenarkan posisi Razita agar duduk di pangkuannya dengan punggung bersandar di dadanya. “Kak Fia memang pintar membuat kue. Rasanya enak.” Adam mengambil kue kering berbentuk hati itu lalu mendekatkannya ke bibir Razita. Pipi Fia merona mendapat pujian dari Adam. Dadanya terasa sesak karena senang dan bibirnya membentuk senyum tertahan sambil sesekali melirik pemuda pujaannya itu. “Rara tidak mau?” tanya Adam karena Razita hanya menatap kue di tangan Adam. “Apa mau Kak Fia saja yang suapi?” Fia mencoba menarik perhatian Razita. Razita semakin menunjukkan rasa tidak sukanya pada Fia. Dia mundur, menempelkan punggungnya lebih dekat ke d**a Adam. Fia tersenyum ragu melihat reaksi Razita. “Sepertinya dia tidak suka padaku, ya?” tanya Fia sedih. “Bukan begitu. Dia hanya belum mengenalmu,” hibur Adam karena merasa tidak enak dengan raut kecewa Fia. Fia tersenyum lembut. “Kalau begitu Kak Fia akan datang lebih sering agar kita bisa saling mengenal.” Niken menahan senyum. Bisa saja sahabatnya itu memanfaatkan situasi. Melihat Razita masih bertahan dengan sikap diamnya, Adam berkata pada Niken dan  Fia. “Sebaiknya kita sambil belajar lagi. Tadi sampai di mana?” “Aku tidak mengerti bagian ini.” Fia berkata seraya bergeser lebih dekat ke arah Adam. Adam memperhatikan catatan Fia sejenak lalu berkata, “Soal ini bisa diselesaikan dengan rumus yang tadi aku ajarkan.” “Aku sudah mencobanya tapi tidak bisa.” Fia mendesah. Adam mengambil pensil lalu sedikit membungkuk untuk menulis. “Mungkin kau salah menjabarkan bagian ini…” Penjelasan Adam tidak terlalu Fia dengarkan. Dia hanya turut membungkuk hingga kepalanya nyaris bersentuhan dengan kepala Adam. Sesekali dia melirik kagum ke wajah tampan pemuda itu. Razita yang melihat itu semakin tidak suka. Terutama karena Adam lebih sibuk berbincang dengan Fia. Menurut Razita gadis itu telah merebut perhatian Adam. Perhatian Razita mengarah ke gelas berisi jus di dekat lutut Fia. Otaknya berputar membuat rencana. Untuk urusan berbuat nakal bukan sesuatu yang asing bagi Razita. Dia sering melakukan itu jika di kediaman Reeves semua orang lebih sibuk menonton acara tv atau melakukan kegiatan sendiri daripada menemaninya bermain. Dengan gerak cepat, Razita membungkuk dan mengulurkan tangan ke arah stoples seolah hendak mengambil kue. Tapi lebih dulu punggung tangannya menyenggol gelas hingga jus tumpah mengenai gaun selutut yang dikenakan Fia. “Argh!” Fia memekik kaget sambil bergeser mundur. Tapi terlambat karena bagian bawah bajunya terlanjur basah. Bahkan tumpahan jus mengenai buku di dekat Fia. “Astaga!” Adam memindahkan Razita sedikit jauh lalu mengambil gelas yang tadi tumpah sementara Niken segera menyelamatkan buku Fia. “Fi…” Niken meringis sambil menunjukkan buku Fia. “Bukuku…” Fia mengambil buku di tangan Niken. Matanya berkaca-kaca karena ujian sudah di depan mata. Adam tampak bersalah. “Fia, maaf.” Fia menggeleng sambil menyeka matanya. “Jangan terlalu dipikirkan.” Suaranya serak. “Kau bisa menggunakan buku catatanku.” Fia menunduk tapi tanpa kentara melirik geram pada Razita. Dalam hati dia memaki-maki gadis kecil itu. Andai Razita bukan orang spesial bagi Adam, pastilah Fia tidak segan mencubitinya sekarang. “Tidak apa-apa, Adam. Kalau aku menggunakan buku catatanmu, nanti kau tidak bisa belajar.” Sengaja Fia memanfaatkan rasa bersalah Adam. “Entah mengapa Rara tidak menyukaiku sampai melakukan ini.” Razita menatap tajam gadis itu. Dia cukup mengerti apa yang Fia katakan. Walau Razita masih terbilang anak-anak, dia bukanlah bayi yang tidak mengerti ucapan semacam itu. Jelas gadis menyebalkan yang berusaha merebut perhatian Kak Adamnya sedang menjelek-jelekkan dirinya. Razita menoleh ke arah Adam, menanti reaksi pemuda itu. “Apa maksudmu?” tanya Adam meminta penjelasan akan kalimat terakhir Fia. Fia menampilkan raut sedih seraya mendesah. “Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya merasa yakin Rara sengaja melakukan ini padaku. Jelas dia tidak menyukaiku.” Kemudian dia tersenyum pada Adam. “Tapi aku maklum. Seperti katamu, dia belum mengenalku. Jadi tidak perlu memarahinya.” Mendadak raut ramah Adam berubah. Dia menampilkan ekspresi datar yang tidak pernah dilihat Fia atau Niken sebelumnya. “Jangan memarahinya?” tanya Adam dingin. “Jadi kau menuduh Rara sengaja menumpahkan minuman itu?” Niken menyikut pinggang Fia untuk mengingatkan sahabatnya itu telah salah bicara. Tapi Fia tidak perlu diberitahu. Melihat Adam sekarang dia sadar betul bahwa dirinya salah bicara. “Eh, bu—bukan.” Fia berkata gugup. “Bukan apanya?” mata Adam berkilat tajam. “Apa kau tidak malu menjelek-jelekkan anak kecil seperti itu? Baiklah, Rara memang bersalah karena bukumu rusak akibat dirinya. Tapi apa pantas kau sampai memusuhinya begitu?” “A—aku tidak—” Adam mengangkat tangan menyuruh Fia diam. “Sudahlah, pelajaran hari ini selesai. Ini, bawa bukuku lalu salin. Seharusnya kau berterima kasih pada Rara karena dia memberimu alasan untuk membaca ulang materi yang lalu.” Fia melirik takut pada Adam lalu mengambil buku yang diulurkan pemuda itu. Setelahnya dia dan Niken cepat-cepat mengemasi barang-barang mereka lalu mengucap maaf dan pamit. Melihat kepergian Fia dan Niken, Razita menahan senyum. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan ke arah Adam yang masih duduk bersila, sebagai isyarat minta gendong. Salah satu alis Adam terangkat, dia juga menatap Razita dengan ekspresi datar hingga perlahan Razita menarik kembali kedua tangannya. “Tadi Rara memang sengaja, kan?” tanya Adam tegas. Razita menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. “Kenapa?” “Gadis jelek itu merebut perhatian Kak Adam,” ujar Razita jujur. “Merebut bagaimana? Kakak kan masih menggendong Rara, masih mengajak Rara mengobrol, memangku Rara. Seperti yang biasa Kakak lakukan.” Razita menunduk, menatap kedua tangannya yang saling terkait. Adam menarik salah satu lengan Razita hingga gadis itu berdiri sangat dekat di depannya. “Apanya yang kurang?” tanya Adam. “Rara tidak suka Kakak sibuk dengan gadis lain.” Kening Adam berkerut. Bibirnya berusaha menahan senyum dan dadanya terasa hangat. Apa itu berarti Rara…tapi kan dia masih terlalu kecil? Lagipula kenapa dirinya malah mengharapkan Razita menyukainya? Padahal awal bertemu, Adam benar-benar tulus menganggap Razita sebagai adik. Adam memejamkan mata sejenak, mengutuki permintaan Sang Kakek yang membuat perasaannya jungkir balik seperti ini. “Kakak marah?” tanya Razita sedih. Kembali Adam membuka mata lalu menggeleng. “Tidak. Tapi lain kali tidak boleh diulangi.” Razita mengangguk dan mendapat hadiah senyuman dari Adam Sebenarnya Adam sama sekali tidak marah. Dia malah bersyukur jadi punya alasan untuk menolak Fia lain kali jika ingin belajar lagi padanya. Adam memang sudah lama tahu Fia menyukainya. Namun dia masih besedia mengajari Fia karena ia pikir Fia benar-benar serius ingin belajar. Tapi ternyata gadis itu lebih banyak memperhatikan dirinya daripada pelajaran. Jadilah Adam yang menahan kesal sendiri. Sekarang dia tidak perlu khawatir lagi. Tunangannya sudah mengatasi masalah itu untuk Adam. Tapi Adam harus tetap menegur agar tidak menjadi kebiasaan bagi Razita mencapai keinginannya dengan cara buruk. “Kak,” Razita menarik-narik kerah kemeja Adam. Dalam posisi seperti itu, kepala Adam hanya mencapai dagu Razita. “Gendong,” pintanya manja. Adam terkekeh. Dia berdiri, mengecup kening Razita sejenak lalu mengangkat gadis kecil itu ke dalam dekapan. “Sebaiknya di dalam saja. Kakak punya banyak makanan.” Razita mengangguk antusias. Binar dalam matanya yang sama sekali tidak muncul karena kehadiran Fia dan Niken kini terlihat jelas. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD