4

1509 Words
Bukankah tadi dia yang bilang untuk jangan muncul di hadapannya lagi? Tapi kenapa sekarang jadi terbalik? Menatap sinis, Alp melangkah gagah mendekati meja. Dan bahkan tanpa berbasa-basi, pria itu langsung menarik kursi di depan Elen untuk duduk berhadap-hadapan. Sementara anak buahnya, mengelilingi meja bulat tersebut seolah tak memberi jeda untuk Elen pergi seperti sebelumnya. ‘’Kenapa kau meninggalkanku tadi?’’ geram Alp. Elen mengumpat dalam hati. Untuk tipekal seseorang yang tidak senang berdebat, diam adalah jalan ninja terbaik. Lagi pula alasan yang mengharuskan dia pergi keluar sudah tidak ada. Jadi untuk berlama-lama di dalam sini juga tidak ada gunanya. Apalagi berada satu ruangan dengan pria kasar, menyebalkan, angkuh, sombong dan sok seperti manusia yang sedang menatapnya saat ini. ‘’Kenapa diam?’’ Lagi-lagi reaksi yang Alp dapat hanyalah tatapan tajam dengan raut wajah ketus. Sangat berbeda dengan Elen yang kemarin menyapanya di kampus. Setelah kembali memasukkan semua miliknya, Elen malah mengeluarkan beberapa lembar euro di atas meja. Uang itu lebih dari cukup untuk membayar hidangan dengan porsi besar yang bukan ia pesan. Walau ia tau pasti Alp lah pelakunya. Ditambah nafsu makannya yang mendadak hilang menimbulkan keinginannya untuk segera pulang. ‘’Apa kau bisu?’’ Sialan laki-laki ini. Dikarenakan gerakannya terbaca, pengawal Alp segera merapatkan lingkaran agar Elen tetap berada di tempat. ‘’Jawab aku!’’ Bentakan tanpa peringatan membuat tubuhnya secara tidak sadar berjengit ke atas. Elen menatap Alp jengkel. Seumur hidup, baru kali ini ada orang yang berteriak seperti itu padanya, Menghembuskan napas kasar bersama bibir merah yang sedikit terbuka, Elen sudah tidak dapat menahan emosinya. Gerakan naik turun pada leher akibat saliva yang ditelan secara berulang menyiratkan ketakutan. Ditambah napas Elen yang menggebu-gebu membuktikan bahwa ia marah dan merasa terancam di saat yang bersamaan. ‘’Pelayan… pelayan!’’ teriakan itu cukup keras dan Elen yakin tamu VIP di ruangan lain bahkan dapat mendengarnya. Seorang pengawal reflek hendak menutup mulut gadis itu lagi, namun dengan tenang Alp segera mengangkat tangannya ke udara. Membiarkan gadis itu berteriak sekuat yang ia bisa. Bersama pintu yang terbuka, Elen langsung melempar tatapan nyalang pada Alp dan anak buahnya. Seorang pelayan laki-laki masuk dan berdiri di ambang pintu, lalu memberi hormat. Kenapa dia membungkuk? Perasaan tadi dia tidak menyambutku seperti itu. ‘’Thank God.’’ ujarnya lega. ‘’Semua pria ini masuk secara tiba-tiba. Tolong bawa mereka keluar.’’ Tak langsung mengeksekusi permintaannya, Elen keheranan dengan sikap si pelayan yang terlihat kikuk. Padahal pelayan itu adalah orang yang menyambut Elen saat dirinya memasuki ruang VIP setengah jam yang lalu. ‘’Kau dengar aku?’’ ‘’Nona… Tuan Alp mengatakan bahwa beliau ingin mengadakan pesta penyambutan sebab ini adalah kali pertama anda berkunjung ke Riegel Resto and Club.’’ jelasnya kemudian menghilang di balik pintu. Tuan Alp? Tunggu sebentar. Apa tadi katanya, Riegel? Apa dia baru saja mengatakan Riegel? Bukankah Riegel adalah nama tengah Alp? Jangan-jangan… Oh, s**t. Elen terkesiap tak percaya. Menyandarkan punggung lemah ke sandaran kursi. Bisa-bisanya dia mendatangi restoran sialan yang ternyata pemiliknya adalah Alp. Dan tanda hormat yang barusan rupanya ditujukan untuk b******n ini. Hh, bagus sekali. Elen sampai ingin memberi pria itu tip lantaran bersikap sangat sopan padanya. Tapi ternyata ia tertipu. ‘’Aku mengajukan permintaan sederhana. Tapi kau malah bersikap tidak sopan padaku. Dan lihat… sekarang kau malah muncul kembali.’’ Mengangkat alisnya sedikit, raut wajah Alp sarat akan cemoohan. ‘’Kau tidak bisa merendahkan seseorang hanya karena ketidaktahuannya.’’ Akhirnya Elen buka suara. ‘’Kau pintar. Persis seperti rumor yang beredar.’’ Elen melipat tangannya di d**a dan memandangi Alp geram. ‘’What do you want, Alp?’’ Alp masih menatap Elen yang berprilaku normal. Namun Alp tau betul bahwa pemilik lesung di bawah bibir sebelah kiri ini tidak tau bahwa Alp sedang tertarik padanya. ‘’Tawaranku masih sam…’’ ‘’Baik. Mana barangnya?’’ Sungguh Elen malu menerimanya. Tapi mau bagaimana lagi. Dia tak punya pilihan untuk menolak. Lewat netra, Alp memberi kode pada pengawalnya untuk memberikan paper bag pada Elen. Ekspresi pria itu masih sama. Dingin, datar dan arogan. ‘’Aku memberikan kemeja itu secara cuma-cuma. Termasuk hidangan ini. Jadi ambil uang yang kau tinggalkan dan segeralah pergi dari sini.’’ Egh. Lagi pula siapa yang mau berlama-lama dengan orang menyebalkan sepertimu? Sudah tak terhitung jumlah umpatan yang Elen keluarkan hanya dalam hitungan jam. Dan semuanya ini gara-gara… ah, sudahlah. Gadis itu tak menjawab untuk waktu yang cukup lama. Karena sejujurnya dari tadi ia sedang mencari motif tersembunyi dari pertemuan ini. ‘’Aku menyapamu kemarin karena kita adalah teman setim. Karena jarang berinteraksi, jadi wajar jika aku memperkanalkan diri. Dan sejak detik itu, walau kita bertemu di tempat yang berbeda, kau lihat, kan? Aku bahkan tidak menegurmu lagi. Aku tau kau tidak menyukaiku karena bagimu aku hanyalah pengganggu.’’ ucapnya sebelum berdiri untuk mengembalikan lembaran euro ke dalam wallet. Gadis ini memang sangat cantik. Ia mengakui bahwa Elen adalah orang paling cantik yang pernah ia temui selama hidupnya. Tubuh ramping layaknya model dengan tinggi 170 cm, kulitnya putih dan bersih. Ia yakin Elen pasti rutin melakukan perawatan. Bibirnya tak terlalu tipis namun juga tak terlalu tebal, hidungnya mancung, rambutnya hitam kecoklatan dan netranya berwarna hazel bermahkotakan bulu mata lentik dengan alis hitam yang pekat. Ia tidak tau dari mana kesempurnaan milik Elen berasal, yang jelas, Elen adalah gadis tipekal Alp. Ia bangun dari kursinya dan mengitari meja lalu duduk di pinggir meja bulat tersebut dengan tangan terlipat ke d**a. Berjarak satu langkah dari Elen. Sementara mereka saling melempar pandangan, seluruh anak buah Alp segera menyingkir dan keluar dari sana. ‘’Kau bukan pengganggu.’’ Dari dua kancing teratas kemeja hitam yang sengaja tidak ditutup penuh, Alp dapat melihat kalung cantik di leher Elen. Sekarang dia tau kenapa Elen menginginkan kemeja dengan warna itu. Ia mundur selangkah, namun Alp dengan cepat menarik lengannya hingga wajah mereka berjarak beberapa senti. You are so damn beautiful. Menurut Alp, Elen terlihat jutaan kali lipat lebih cantik saat dilihat dari dekat seperti ini. Dan sulit untuk dijelaskan mengapa ia tiba-tiba sangat ingin mencium bibir Elen. Keinginan ini cukup langka karena Alp tidak pernah memiliki keinginan itu sebelumnya walau banyak jalang yang menggodanya. Elen segera menjauhkan diri dengan tidak merubah raut wajahnya yang sinis meski jantungnya saat ini sedang berdebar tak karuan. Apa-apaan pria ini? ‘’Kalau begitu, boleh aku tau kenapa kau memberiku kemeja sebagai persyaratan untuk tidak muncul di depanmu lagi?’’ ‘’We meet in the corridor. Then meet again at the store.‘’ Elen merasakan tatapan intimidasi itu seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya adalah terdakwa. Ia jadi bingung, sebenarnya siapa yang bersalah? ‘’Setelah semua itu, kau malah bersikap seperti tidak mengenalku di depan ibuku.’’ ‘’Apa menurutmu aku harus mengulurkan tangan untuk kedua kali setelah kejadian kemarin pagi, begitu? No, thankyou.’’ Ia bersungut-sungut. ‘’It’s not like that,’’ Alp menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. ‘’Seharusnya kau bersikap agresif seperti kemarin agar Ibuku tidak menyukaimu. Bukan malah menjadi gadis baik yang pengalah. ’’ Elen tak paham dengan cara berpikir Alp. Yang mana penjelasannya barusan meyakinkan Elen bahwa keputusan menerima semua pemberian Alp agar segera terbebas dari sini adalah hal yang tepat. ‘’Kau jadi merepotkanku hanya untuk memberikan benda tak berguna yang membuat Ibuku merasa bersalah karena mengambilnya darimu.’’ ‘’Oh, begitu.’’ Elen baru mengerti. Alp meremas kepalan tangannya saat bibir ranum dengan polesan peach kemerahan itu mengerucut. Terlihat menggemaskan hingga keinginan untuk menciumnya tiba-tiba muncul kembali. Apalagi cara berpakaian yang terbilang memukau meski dengan riasan sederhana. Mencerminkann bagaimana seharusnya gadis seusianya berpenampilan. Sangat natural. Tak ingin buang-buang waktu, Elen segera menyanggakan handbagnya ke pundak setelah memasukkan wallet. Lalu menjinjing kantong coklat itu di sisi tangan yang sama. ‘’I promise, Alp. This is the last time you see me. And I’m really sorry. But, i appreciate what you did for your mother.’’ Andai Ayahnya tak memberikan hadiah kalung dengan warna kesukaannya, ini semua pasti tak akan terjadi. Sekarang ia jadi merasa bersalah padahal sebelumnya ia sangat marah. Ah, sialan memang warna ini. Elen segera menuju pintu meski Alp masih membeku dan tak menjawab ucapnnya barusan. Ia tak ingin perduli atau bahkan menatap wajah itu barang sebentar untuk terakhir kali. Last time? ‘’Kau tidak serius saat mengatakan bahwa ini adalah terakhir kalinya kita bertemu, bukan?’’ Alp menyipitkan pandangan. Ternyata dia tipekal gadis yang tidak suka banyak bicara dan langsung ke intinya. Mereka berdua reflek berbalik, padahal Elen tinggal memutar gagang karena telapak tangannya sudah menggenggam benda besi pada pintu. Matanya tak dapat berpindah dari sosok mengagumkan itu. Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk satu arah pasti dikarenakan medan magnet bumi. Dan Elen adalah utaranya. ‘’Aku sedang tidak bercanda.’’ Kaki jenjang yang terbungkus jeans panjang itu segera melangkah keluar namun masih meninggalkan aroma tubuhnya di sana. Alp tak ingin mengakui, tapi daya tarik Elen sulit ia sangkal. Baru kali ini ada wanita yang tak terpikat dengan pesonanya. Dan itu membuatnya semakin ingin mengetahui tentang Elen lebih dalam. Ia tak sabar untuk bertemu dengan gadis itu di kampus besok. Namun ada satu hal yang tak bisa ia pahami, yaitu tentang pertemuan terakhir. Jelas-jelas mereka satu jurusan dan bahkan berada di kelas yang sama. Kembali bertemu adalah hal tak terhindarkan. Namun ia tak dapat menebak bagaimana cara Elen untuk menghindarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD