Alp menekan alarm pada jam weker di atas nakas yang baru saja membangunkannya dari mimpi. Lalu mengerang seraya meregangkan tubuhnya sebelum membuka mata dan mendapati Irish, sang ibu yang sudah berdiri di ujung tempat tidur. Dia tidak berharap terbangun di pukul tujuh pagi sedangkan dirinya baru tertidur pada pukul tiga dini hari.
‘’Sepertinya kita harus kembali ke store tadi malam.’’
Alp tak menjawab karena butuh beberapa detik baginya untuk mengumpulkan kesadaran.
Sinar mentari langsung menyusup ke dalam kamar saat wanita berusia empat puluh tahun itu berjalan ke sisi lain untuk membuka tirai tebal tanpa motif kemudian membuka daun jendela lebar-lebar. Irish mematrikan senyum saat menoleh pada Alp yang kini berbaring lebih tinggi dengan dua bantal disusun bertumpuk di belakang punggung. Memusatkan perhatian penuh padanya.
‘’Apa ada yang salah dengan kemeja itu?’’ tanyanya.
‘’Absolutely not.’’ kata Irish sembari menghirup udara sejuk pagi hari. Memandangi danau tenang, hamparan pepohonan menjulang yang mengelilingi kolam air ciptaan Tuhan dan halaman luas ditumbuhi berbagai tanaman. Indah sekali.
Hunian yang bisa dibilang mirip kastil ini terletak jauh dari perkotaan Berlin. Lebih tepatnya berada di tengah-tengah hutan. Suasananya sangat damai dan juga asri. Mencerminkan kepribadian Alp yang memang tidak menyukai keramaian. Selain di kelilingi alam, tempat itu juga di kelilingi oleh banyak manusia di setiap sisinya. Pengawal berseragam hitam-hitam yang didominasi dengan senjata laras panjang. Penjagaan super ketat untuk keselamatan penghuninya yang merupakan seorang mafia.
‘’Lalu?’’
‘’Ibu kasihan pada gadis itu,’’ ucap Irish pelan. Menyampingkan wajah dengan raut merasa bersalah. ‘’Setelah tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, dia pulang dalam keadaan basah kuyup.’’
‘’Tadi malam hujan air. Jadi wajar dia kebasahan. Beda halnya kalau hujan batu. Dia akan mati karena mengalami luka dan pendarahan di sekujur tubuh.’’ jawabnya santai.
‘’Alp!’’ Irish berseru marah.
‘’Jangan katakan bahwa Ibu ingin mengembalikan pakaian itu untuk diberikan padanya?’’ Tak berkedip untuk sementara waktu, Alp sudah mendapat jawaban atas pertanyaan itu. Kemudian ia mengalihkan pandangannya dan beranjak menuju wastafel untuk membasuh muka. ‘’Lagi pula bukan masalah serius. Aku bisa memerintahkan orang kita ke Charlottenburg. Jadi Ibu tidak perlu repot-repot ke sana.’’
Irish memutar tubuhnya menghadap Alp. Dalam balutan gaun hitam selutut dengan detail sederhana, wanita berusia empat puluh tahun tersebut tampak modis seperti biasanya.
‘’Apa Ibu mendengarkanku?’’ Ia masih menunggu respon ibunya dengan memantau lewat pantulan cermin.
‘’Tidak mau.’’
‘’Lalu?’’
‘’Ibu tetap ingin pergi ke sana.’’
Menghela napas setelah menyeka air yang membasahi wajahnya dengan handuk yang tergantung di tembok, Alp berbalik lalu melangkah gagah mendekati sang ibu. Ia hanya tak ingin berurusan dengan orang asing karena hanya di kampuslah ia memiliki kehidupan normal sebagai seorang mahasiswa. Dan ia tak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi andai musuhnya mendapati interaksinya dengan orang-orang sipil. Lagi pula untuk apa dia perduli dengan tugas, karena sebenarnya Alp sudah terjun langsung dalam tugas itu sendiri. Namun sialnya Elen selalu saja muncul di momen yang tidak tepat. Kemarin gadis itu mendatanginya dan di hari yang sama Elen juga bertemu dengan ibunya. Perfect s**t.
‘’Kalau begitu biar aku saja.’’
Irish mendongak sampai ia dapat melihat wajah Alp yang juga sedang memperhatikannya. ‘’Okay.’’ Wanita itu tersenyum puas.
‘’Lain kali jangan menguping pembicaraan orang, Mom. Itu tidak baik.’’ kata Alp. Ekspresinya datar namun tegas.
Ketika Elen memberikan kartu nama pada seorang pelayan, diam-diam Alp menangkap ibunya yang tengah tertegun di antara banyaknya pakaian yang menggantung. Irish bermaksud untuk memberikannya pada Elen sebagai bentuk rasa terimakasih karena telah mengalah pada seorang wanita paru baya seperti dirinya. Ia terkesan dengan cara Elen bersikap yang terbilang bijak.
‘’Tidak sengaja mendengar dengan sengaja menguping itu berbeda.’’
‘’Tidak sengaja tapi memasang mata dan telinga lebar-lebar. Tidak sengaja jenis apa itu?’’ tanya Alp bersama satu alis yang terangkat.
‘’Stop it!’’ Irish berdehem pelan kemudian mengalihkan pandangannya lantaran malu dengan kepura-puraanya yang tertangkap basah. ‘’Pokoknya Ibu ingin kau mengantarkan kemeja itu hari ini juga. Titik.’’ Ada nada merajuk di dalam kalimat Irish.
Alp menghela napas pelan lalu memeluk tubuh sang ibu. ‘’Aku akan melakukannya jika itu yang kau inginkan, Mom.’’ Untung di hidupnya hanya ada satu wanita, jika dua, mungkin ceritanya akan berbeda. Baginya, wanita adalah mahluk hidup paling merepotkan di dunia.
***
‘’Ambil ini dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Mengerti?’’ ujar Alp dengan nada dingin.
Paper bag coklat yang tiba-tiba dilemparkan ke atas meja reflek membuat Elen mengangkat kepala untuk melihat sosok sialan mana yang mengganggu hari liburnya. Dia sedang berada di sebuah cafe yang mana menu utamanya adalah gelato. Ditemani laptop untuk meriset tugas kuliah yang seharusnya dikerjakan bersama Alp.
Untuk beberapa alasan Elen terdiam. Dan tepat saat netra hazel dan amber itu bertemu, saat itu juga Elen menyadari bahwa orang yang diganggungnya kemarin berbalik melakukan hal serupa. Namun kerutan halus pada kening dan netra yang secara reflek membola menyatakan kebingungan. Pertama, bagaimana Alp tau dia ada di sini? Kedua, kenapa tiba-tiba si berengsek ini marah-marah? Sebab ia yakin 1000% bahwa kedatangan Alp kemari bukan untuk mengerjakan tugas bersama.
Apa-apaan?
‘’Why don’t you answer me?’’
Tak mengindahkan pertanyaan itu, Elen segera mengemasi semua barang-barangnya dan memasukkannya ke handbag seukuran benda yang bisa disesaki oleh semua yang ia bawa. Lalu beranjak setelah mengambil cup gelato dengan rasa vanilla yang belum ia sentuh. Kemudian berjalan cepat meninggalkan pria itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan melirikpun tidak.
‘’Elen!’’
Rasanya sebuah sengatan listrik bertegangan tinggi baru baru saja menyerang otaknya. Membuat kepalanya seperti terbakar. Apalagi melihat gadis itu keluar dari pintu tanpa menoleh sedangkan ia memutar tubuhnya untuk mengikuti pergerakan Elen. God damn it! Harga diri seorang Alp Riegel Foster baru saja direndahkan.
Padahal yang ia mau hanya agar gadis itu tidak tiba-tiba muncul di hadapannya setelah ia memberikan apa yang Elen inginkan tadi malam. Bukankah begitu cara kerja take and give selama ini?
Dalam perjalanan membelah kerumunan khusus pejalan kaki, Elen tak habis pikir dengan sikap Alp yang terbilang aneh. Ia sempat melihat isi di dalam kantong coklat yang dilempar kasar. Meski menginginkannya, tapi… belajar dari pengalaman, Elen tau Alp bukanlah seseorang yang bisa diajak bicara apalagi berinteraksi. Ia sudah bertekad untuk menjauhkan diri dari pria itu agar tak mengganggu seperti kemarin.
Beruntung suasana café dalam keadaan sepi. Kalau tidak, mungkin mereka akan jadi tontonan banyak orang. Ah, Elen tak dapat membayangkan akan semalu apa dia. Ia berusaha menetralisir panas di pipi dengan satu sendok penuh gelato ke dalam mulut.
‘’Apa sebaiknya aku pindah kampus saja?’’ gerutunya.
Kini Elen memasuki sebuah restoran dan mengambil ruang bernuansa klasik yang ditujukan untuk tamu VIP. Dia tidak ingin kembali duduk di sudut ruangan dengan jendela tembus pandang seperti tadi. Berjaga-jaga jika Alp muncul kembali.
‘’Hm, excuse me.’’
Seorang pelayan yang baru saja hendak keluar setelah mencatat pesanan yang Elen inginkan langsung memutar tubuhnya kembali.
‘’Bisakah kau pastikan agar ruangan ini tidak dimasuki oleh sembarang orang? Maksudku seperti pengunjung restoran yang tiba-tiba tersesat misalnya?’’ ucapnya hati-hati. ‘’Lagi pula restoran ini berada di satu gedung yang sama dengan club di lantai dua. Aku hanya tak ingin sesuatu terjadi. Kau paham maksudku, kan?’’
‘’Tentu, Nona. Anda tidak perlu khawatir karena keamanan pengunjung adalah prioritas kami.’’ jelasnya ramah.
‘’Seandainya ada orang tidak waras yang masuk secara paksa, apa kau bisa memberi jaminan akan segera menyeretnya keluar saat aku berteriak?’’
‘’Aku bertaruh 100% untuk itu.’’ jelasnya lagi dan segera meninggalkan Elen sendiri.
‘’Thankyou.’’ Kini ia bisa bernapas lega. Ah, lagi pula tidak mungkin pria itu mengejarnya hingga ke sini.
Kembali menjajakan alat tempurnya, Elen larut dalam dunianya hingga dua puluh lima menit kemudian terdengar suara ketukan di pintu. Dua orang wanita masuk dengan membawa banyak hidangan.
Ia tak memperhatikan karena terfokus pada layar laptop di mana sedikit lagi data yang ia butuhkan akan segera selesai. Sementara ketukan lain terdengar lagi dan Elen masih membiarkan pelayan restoran keluar masuk tak ada hentinya. Hingga ketika ia sudah selesai dengan benda lipat tersebut, Elen menyadari bahwa menu yang ia pesan sudah tersedia lima kali lipat dari jumlah yang seharusnya. Hampir memenuhi seisi meja.
Apa tidak salah? Pelayan-pelayan itu pasti memasuki ruangan yang keliru.
Bertepatan dengan mulutnya yang hendak terbuka, pria dengan pakaian hitam-hitam sebanyak sepuluh orang masuk secara serempak. Dan salah satunya segera menutup mulut gadis itu dengan cepat. Oh, Tuhan. Apa yang terjadi? Tubuh Elen terasa lemas seketika. Matanya berusaha mengenali wajah-wajah asing yang untuk pertama kalinya baru ia temui.
Mengusap mulutnya geram, seseorang dengan celana jeans hitam dan kaos putih polos menendang pintu VIP cukup keras. Membuat Elen mengerutkan kening kembali saat sosok itu muncul untuk yang kedua kali.
Tubuh atletis dengan tinggi 187 cm, oval face tanpa bulu sedikitpun pada rahang dan rambut gelap itu adalah ciri dari seorang pria yang Elen kenal. Dari pakaian yang dikenakannya— walau terkesan simple, Elen tau bahwa semua yang melekat pada tubuh Alp berasal dari brand ternama yang harganya cukup fantastis. Jadi sudah pasti pria ini berasal dari keluarga kaya raya.
Gadis itu masih terdiam walau tangan yang membungkam mulutnya sudah disingkirkan sejak tadi.
‘’Nice to meet you again, Helen Scarlet Hoover.’’
Alp?