Hal. 1 Rasiel Ainsley ( Coffe & Past )

1716 Words
 Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :) Halaman 1 . . . [Flashback] Rasi point of View Rasiel Ainsley, wanita yang kalian benci selama ini. Sosok yang diberikan banyak sekali  kesempurnaan oleh Tuhan. Lahir sebagai wanita yang sempurna, memiliki kecantikan diturunkan dari sang ibu, kepintaran, serta kekayaan. Semua Ia dapatkan. Mungkin itu hanya sebagian dari karma baiknya di masa lalu. Jika dibandingkan kembaran Rasi, perempuan yang lahir lebih dulu darinya. Sosok yang berbeda jauh dengan Rasi, walau wajah mereka sama. Tapi tidak dengan kesempurnaan anggota tubuh yang dimiliki oleh sang kakak. Teresa Oriel, hidup hanya bergantung dengan kaki buatan. Perlakuan kedua orangtua mereka sangat berbeda. Jika yang kalian lihat selama ini hanya sisi buruknya saja, bagaimana kalau menelisik lebih dalam apa yang membuat sifat Rasi berkembang menjadi sosok antagonis. Wanita yang tidak memiliki rasa kasihan sama sekali bahkan terhadap saudara kembarnya sendiri. Pikiran wanita itu hancur sejak usianya menginjak lima tahun, dimana dalang yang bertanggung jawab atas sikap Rasi selama ini adalah kedua orangtuanya sendiri.  Tangisan pertamanya saat itu dimulai dari bentakan keras sang ibu, di usia yang masih menginjak empat tahun. Tidak menyangka bahwa dibalik sosok ibu yang selama ini selalu memanjakannya, tersimpan satu kegilaan. Bahkan sampai dewasa pun Rasi tidak berani membantah wanita itu. “Kenapa kau tidak bisa menulis dengan benar!!” Saat Teresa tengah tidur di dalam kamar mandi karena melakukan satu kesalahan kecil. Lain halnya Rasi, ditemani dengan lampu belajar, sebuah buku tulis di atas meja, pukul sebelas malam dan gadis itu masih dipaksa untuk menulis abjad dengan benar. Bibirnya mengerucut, ingin menangis. “Ta-tapi, Bu. Laci belum bica-” Tidak bisa mengabaikan pukulan mungil kakaknya dibalik pintu kamar mandi. Pikiran Rasi kacau, antara takut dan gelisah. Menatap kedua manik ibunya, bagaimana sosok manis dan baik hati itu bisa berubah drastis. “Kau harus bisa!” Mencengkram pundaknya dengan kuat, pandangan itu menatap tajam, disertai senyuman aneh terukir di wajah sang ibu, “Hanya kau kebanggaan Ibu dan ayah! Anak yang tidak berguna seperti Teresa sudah Ibu anggap mati!” Kata ‘mati’ adalah hal pertama yang bisa Ia resapi dengan baik. Kata kejam yang sering Ia lihat di televisi, menyebut nama kakaknya. Rasi tidak bisa memungkiri bahwa tubuhnya merinding saat itu juga. Bungkam tanpa bisa bicara, bibir sang gadis mungil kelu. Menundukkan wajah takut, “Ma-maaf, Ibu.” Berharap dia tidak akan mendengar kalimat kejam itu lagi. Tapi perkiraan Rasi salah, saat pikiran polos itu perlahan dikotori dengan kata-kata kedua orangtuanya. Sapuan lembut di rambut sang Ainsley tidak mampu menghilangkan ketakutan Rasi, pandangan lembut itu seolah mengerikan baginya. “Apapun yang kau lakukan, jangan mempermalukan kami berdua.” Saat menatap keberadaan sang ayah, menganggap bahwa laki-laki paruh baya itu mau melindunginya. “Rasi yang manis kau harus berusaha menggantikan tempat yang tidak bisa dimiliki oleh kakakmu.” Percuma, harapan Rasi runtuh begitu saja. Kedua orang itu sama saja. Menggunakannya hanya sebagai alat. [Flashback Off] . . . . Masa lalu tetaplah masa lalu, sosok wanita berambut coklat pendek terfokus meracik kopi buatannya. Berhasil mendapatkan pekerjaan yang mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Bekerja di sebuah café kecil, terletak di tengah perkotaan. Perlu waktu lima belas menit bagi Rasi menaiki sepeda motor yang berhasil Ia beli setelah mencicil selama beberapa kali. Café Morrale. Tempat bagi para mahasiswa, remaja modis, atau siapapun yang ingin rileks di tengah padatnya kota Jakarta. Menghabiskan waktu dengan alunan musik jazz, secangkir kopi hangat dan potongan kue. Kalau biasanya Rasi selalu ke tempat-tempat seperti itu dengan gaya super mewah, santai, dan anggun. Menjadi tamu menggunakan black card pemberian sang ayah sesuka hati. Bahkan tak jarang mentraktir teman-teman. Jika bisa dibalik lagi, Rasi ingin mengambil semua uang itu lagi. Menggunakannya dengan baik, dan tidak boros. Hidup menjadi sosok wanita pas-pasan, bukan menjadi tamu melainkan bekerja sebagai Barista. Beruntung dulu dia sempat menekuni kegiatan ini, mengikuti les-les adu bakat yang diinginkan oleh kedua orangtuanya. Manik coklat yang tertutup warna legam itu menatap beberapa wanita modis datang ke dalam café, mereka saling melempar canda tawa. Lihatlah pakaian itu, branded terbaru yang bisa Ia lihat hanya dari layar handphone saja. Sedikit iri, Rasi melamun tanpa menyadari suara air panas berbunyi dari arah dapur. Seseorang menepuk pundaknya sekilas. “Rasi, apa yang kau lamunkan?” Berjengit kaget, mengerjap beberapa kali. Pandangan wanita itu menoleh, teralih menatap sosok laki-laki bertubuh tegap di sampingnya. “Ka-kak Thomas.” Gugup, tidak menyangka bahwa sosok yang Ia kagumi sejak pertama kali bekerja di sini, menyapa Rasi. Laki-laki tampan dengan statusnya sebagai manajer café. Tubuh tegap, badan terbentuk sempurna, dibalut dengan pakaian berkerah putih dan celemek berwarna coklat. Rambut jabrik dan garis tegas di wajah. Thomas Marvelo, usia 28 tahun. Salah satu laki-laki yang masih masuk ke dalam kriteria Rasi. Mapan, tampan, dan tinggi. Sempurna. Jika bersanding dengannya pun, semua orang pasti akan menatap mereka iri. Sekilas mendengus bangga. Manik Rasi menatap Thomas dari atas sampai bawah. ‘Hari ini pun, kak Thomas tetap menawan!’ Hampir menjerit. Thomas terkekeh geli, “Kau belum sarapan? Melamun terus sejak tadi.” tanya sang Marvelo. Menggeleng cepat, “Su-sudah tadi, Kak. Maaf kalau tadi aku sedikit melamun. Kembalilah ke stationmu.” Tersenyum kikuk, Thomas mengangguk paham. Tanpa sadar menepuk puncak kepala Rasi, “Kalau kau ingin beristirahat, beritahu saja aku. Oke?” Suara yang lembut mengalun, walau dalam penyamaran seperti ini pun Rasi mampu menarik hati sosok tampan seperti Thomas. Karena diantara semua pekerja wanita di sini, hanya Rasi yang mendapat perlakuan istimewa dari sang manager muda. Mengangguk kecil, “I-Iya, Kak. Terimakasih.” “Kalau begitu aku kembali dulu ke belakang.” Bagaikan sepasang kekasih, Rasi reflek melirik ke arah dapur, dimana beberapa pekerja wanita di atas usianya nampak iri dan kesal. Mendengus dalam hati, Rasi melengos. Mencoba untuk tetap sopan, dengan tersenyum kecil. Sementara dalam batin Ia tertawa puas. Menatap reflek ke arah kaca kecil di dekat area barista, ‘Setidaknya Tuhan masih menyayangiku ‘kan? Dengan wajah cantik seperti ini, mendapatkan hati kak Thomas bukan masalah.’ Rasi percaya diri dengan penampilannya. Sifat sang Ainsley tentu saja tak berubah, sejak kecil Ia memang sudah diajari untuk tumbuh menjadi sosok yang percaya diri, enggan menurunkan harga diri dan harus selalu berada di atas tanpa mau dijatuhkan oleh siapapun. . . . . [Jam masih menunjukkan pukul setengah sebelas pagi] Sedikit menguap karena mengantuk, suara denting bel pintu terdengar. Rasi menolehkan pandangan lagi. Mempersiapkan senyuman untuk menyambut tamu yang datang, “Selamat-” Suara wanita itu terhenti sekejap, menekuk kening saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu café. Sosok laki-laki dengan penampilan kusam, rambut hitam panjang bergelombang menutupi kedua mata, menggunakan topi. Baju kebesaran, bagaikan seorang raksasa. ‘Ck, dia datang lagi?’ Langsung terusik begitu melihat sosok di sana. Rasi sudah sangat hapal dengan tamu itu. Berbeda jauh dengan kak Thomas yang tampan dan menawan. Laki-laki diseberang sana jauh dari kata tampan. Bagaikan seorang monster bertubuh tegap dan besar, pertama Ia akan diam di ambang pintu, menolehkan pandangan ke segala tempat, hendak mencari tempat duduk. Sialnya, laki-laki itu selalu mendapatkan tempat duduk tepat di depan area barista-nya. Duduk di samping meja kaca, menghalangi pemandangan yang indah di luar sana. Jujur saja, Rasi risih! ‘Ck, kumohon jangan ke sini!’ gerutunya dalam hati. Setelah menemukan tempat yang cocok. Sosok itu berjalan dengan langkah pelan. Sangat pelan! Bagaikan orangtua, Rasi reflek memutar kedua bola matanya malas. “Permisi,” Tidak menyadari sosok itu kini sudah berdiri di depannya. Tinggi badan mereka tentu saja berbeda jauh. Hampir menghalangi cahaya lampu, Rasi meneguk ludah tanpa sadar. “A-ah, iya. Ada yang bisa saya bantu?” Berusaha keras menahan diri agar tidak panik dan tersenyum sopan. Rambut bergelombang laki-laki itu benar-benar menghalangi setengah wajah sang empunya. Awalnya Rasi mengira kalau sosok di depan sang Ainsley pasti mengeluarkan aroma badan tak enak. Tapi siapa sangka, Ia justru mencium parfum citrus mint yang menyegarkan? Sosok itu menunjuk tepat ke arah meja kosong yang masih berisikan cangkir kopi kosong. “Saya ingin duduk di sana, bisa tolong dibersihkan?” Suara baritone yang berat,    “Baiklah, anda bisa duduk dulu di sana. Saya akan segera membersihkannya.” Berujar tetap sopan, laki-laki itu mengangguk pelan. Berbalik dan berjalan menuju tempat di sana. Meninggalkan Rasi lagi, ‘Hh, moodku benar-benar hancur karena kedatangannya.’ batin sang Ainsley sekali lagi. Bergerak mengambil sebuah lap dan nampan. Seharusnya ini tugas pelayan, kenapa harus dia yang ambil alih?! Bukan hanya Rasi saja yang merasa risih dengan kedatangan laki-laki itu, tapi semua pengunjung di sini dan para pekerja wanita. Mereka kompak mengalihkan pandangan begitu Rasi hendak memanggil. Seolah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ‘Ck, senior sialan!’ umpatnya dalam hati. Mendesah kesal, tubuh itu hendak berjalan keluar dari area mejanya. Tapi langsung terhenti begitu melihat beberapa wanita modis tadi berjalan membawa nampan kopi mereka. Sepertinya mereka hendak mengganti tempat duduk, ketiga wanita nampak saling bercanda santai, sampai salah satu diantara mereka tak sengaja menyenggol meja laki-laki tadi. Nampan berisikan kopi beraroma mocha terjatuh tepat mengenai kepala dan tubuh sosok itu. Aroma mocha menguar cukup keras. “Ah, maaf aku tak sengaja menjatuhkannya.” Alis Rasi tertekuk sekilas, memilih untuk diam dan menunggu. Sosok tegap itu kini basah oleh kopi. Baju kebesaran kotor dan rambut basah oleh kopi. Sangat parah. Jika dibilang tak sengaja, Rasi tahu sekali apa maksud wanita itu. Seolah memiliki satu sifat yang sama dengannya. Rasi mendengus pelan, menggeleng kecil. ‘Apanya yang tak sengaja? Jelas-jelas dia sengaja menjatuhkan kopi itu,’ Dua orang wanita bukan menyalahkan justru membela. “Hei, kau mencium aroma apa ini? Seperti aroma kotor dan bau.” “Ya, aku juga menciumnya,” “Ah, pasti aroma ini berasal dari anda? Yah, setidaknya berterimakasihlah karena aku sudah menjatuhkan kopi beraroma manis ini padamu, paman. Tolong perhatikan penampilanmu, kau membuat suasana di café ini kacau.” Sebuah tindak bully secara tidak langsung, menyindir dengan nada pedas tepat di depan semua orang. Rasi tidak ingin mencari masalah. Dia memilih diam, dan menunggu. Mendengar semua ocehan wanita-wanita di sana, sampai tak sengaja kedua manik legamnya bertabrakan dengan sosok laki-laki itu. Wajah yang menunduk, basah terkena kopi, rambut panjang bergelombang, tak sengaja menyibak sedikit maniknya. Warna manik hazel keemasan yang nampak sekilas. Apa Rasi salah lihat? Mengerjap beberapa kali, Ia sedikit menegang, saat kembali menangkap sebuah seringai tipis di wajah sang laki-laki? Ha? Menggeleng cepat, mengalihkan pandangan. ‘Hh, aku pasti bermimpi.’ Rasi tidak mau membuat masalah baru. Dia bukanlah super hero yang kuat seperti sang kakak, sosok Rasi. Wanita manja, angkuh, dan sombong masih melekat dalam dirinya. Jika tiba-tiba dia menjadi wanita baik hati dan penolong semua orang. Itu artinya Rasi harus mengikuti semua rencana Tuhan. Sosok pemeran utama yang selalu tertindas dan mengalah. Rasi tidak mau menjadi wanita seperti itu! Ia menolak tegas. Lebih baik Rasi tetap tumbuh menjadi pemeran Antagonis seumur hidupnya.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD