Kembar Tapi Beda - 2

2119 Words
Ketukan suara heels yang mendekat mengalihkan atensi Dewa dari obrolan seru bersama kedua sahabatnya. Menolehkan wajah, pria itu berbinar mendapati kekasihnya yang kini berdiri di samping kursi yang ia duduki. Berbanding terbalik dengan wajah Dewa yang berseri-seri, Abel, sahabat Dewa mendengkus malas melihat wanita yang masih berdiri sembari bersedekap tangan dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung. Sementara Argi, yang juga sahabat Dewa, hanya bisa meringis melihat Dewa tergopoh-gopoh beranjak dari duduknya hanya untuk menarikan kursi untuk kekasihnya yang kemudian bak bergerak slow motion, duduk di tempatnya dengan gaya anggun. Mencuri pandang ke arah samping kanannya, ia menggigit bibir bawah, demi menahan gelak tawa yang nyaris tersembur ketika mendapati wajah Abel yang hendak memuntahkan isi perutnya. "Jadi, ada apa? Aku nggak bisa lama-lama karena hari ini ada jadwal m**i-pedi," tanya Rhea tak acuh sembari memperhatikan kuku jarinya yang berkuteks orange, senada dengan warna dress tanpa lengan yang dikenakannya hari ini. Berdeham, Dewa mengelus surai sebatas bahu Rhea yang diombre warna abu-abu dan ungu, "Sayang, hari ini aku undang kamu ke sini untuk merayakan keberhasilan Abel," ucap pria itu bersemangat, lalu melempar senyuman bangga pada sahabatnya sedari kecil. "Emang dia ngapain?" Tanya Rhea menaikan satu alisnya sembari melempar tatapan kearah Abel yang menyambutnya dengan wajah masam. "Bulan depan, Abel segera menyelenggarakan fashion show tunggal," jawab Dewa yang merekahkan senyuman lebar, namun perlahan surut ketika melihat wajah bosan Rhea. Apa dia terlalu berlebihan? Dewa ikut senang karena Abel yang sedari kecil suka menggambar pakaian dan merengek pada orangtuanya, agar dibuatkan berbagai macam pakaian yang ia desain untuk koleksi boneka Barbie wanita itu. Kini bisa mewujudkan mimpi masa kecilnya untuk menjadi salah seorang desainer muda yang sukses. Sudah banyak rancangan buatanya dikenakan artis-artis ternama hingga para pejabat. Sebagai seorang sahabat, tentu saja Dewa merasa bangga. Abel meremas tangannya yang berada di atas pangkuan. Meredam keinginan untuk mencakar wajah angkuh yang duduk berhadap-hadapan dengannya. Bisa-bisanya Dewa mengundang dedemit ini tanpa memberitahukannya lebih dulu. Ia pikir, hari ini akan menjadi pertemuan yang menyenangkan karena bisa berkumpul dengan dua sahabatnya yang nyaris satu bulan tak bertemu karena kesibukan masing-masing.  Kadang Abel sulit mengerti, kenapa Dewa menjatuhkan hati pada wanita yang memiliki keangkuhan setinggi gunung Himalaya seperti seorang Rhea Anindita Hartanto? Jelas-jelas keduanya memiliki perbedaan karakter yang begitu mencolok, bak langit dan kerak bumi. Atau mungkin ini, yang dikategorikan sebagai cinta buta? Membuka kacamata dan menaruhnya di atas kepala, Rhea menatap Abel dengan memasang senyuman formal, "selamat, atas keberhasilanmu." Meski enggan, Abel mencoba melengkungkan senyuman tulus yang semoga saja tak berubah menjadi senyuman sinis. Untuk pertama kalinya, wajahnya begitu kaku dan kesulitan untuk menciptakan senyum yang biasa dengan mudah ia umbar. Tapi sepertinya, itu tidak berlaku pada kekasih sahabatnya. "Terima kasih," balas Abel yang kemudian segera meraih lemon tea miliknya di atas meja. Meneguk cepat, berharap bisa melenyapkan rasa gatal yang tiba-tiba dirasakan lidahnya. Dewa dan Argi saling melempar lirikan, mereka sedari tadi hanya bisa menyaksikan interaksi kaku dua wanita yang masing-masing duduk di sebelah kursi keduanya. "Sayang, kamu mau pesan sesuatu?" Tanya Dewa yang berusaha meluruhkan kecanggungan yang melingkupi meja mereka. "Aku sudah makan satu buah apel dua jam yang lalu, masih kenyang," balas Rhea sembari menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga. Argi meringis mendengar ucapan Rhea, nyaris saja, ia tersedak spaghetti yang tengah disantapnya. Sementara Abel hanya bisa mendengkus muak. Ingin sekali segera angkat kaki. Satu meja dengan Rhea hanya akan mengoyak mood baiknya. "Jadi, tidak ada hal penting lainnya kan? Cuma berita itu saja?" Tanya Rhea lagi, mengabaikan wajah tak suka dua sahabat kekasihnya. Untuk apa? Sedari awal dekat, hingga dua tahun pacaran dengan Dewa, mereka tak pernah suka dengannya. Mereka pikir dirinya tak tau jika di belakangnya sering menggunjing dan menganggap ia tak pantas menjadi kekasih pria sebaik Dewa? Apa Rhea peduli? Tentu saja tidak. Ini hidupnya, dan dia bebas melakukan apa pun yang dia mau. Silakan orang-orang itu berceloteh hingga mulut berbusa dan menentang hubungannya. Karena kenyataannya, Dewa akan selalu bertekuk lutut padanya.  Oh, tidak, jangan mencibirnya karena terlalu percaya diri. Itu adalah fakta yang sesungguhnya. "Tidak ada," jawab Abel kaku, mendahului Dewa yang nyaris membuka suara, "jadi silakan jika lo punya urusan yang jauh lebih penting. Ini hanya perayaaan kecil-kecilan dan membosankan." jelasnya dengan senyuman paksa. Menganggukkan kepala, Rhea menurunkan kacamatanya yang tadi ia letakkan di atas kepala, kembali memasangkannya dengan gerakan anggun, sebelum kemudian berdiri dari tempat duduk yang segera diikuti Dewa. "Kamu sudah mau pulang?" Tanya Dewa mencoba tetap merekahkan senyuman, meski ada rasa tak enak hati yang kini menggelayuti melihat interaksi kekasihnya dengan sahabatnya sendiri. Walau ini bukan yang pertama kali. Dia tetap kebingungan jika dihadapkan pada situasi semacam ini. Dewa memang sengaja mengundang Rhea datang tanpa memberitahu Abel dan Argi, bukan sekadar memberi kejutan, tapi ini salah satu usahanya mengangkrabkan mereka. Tapi sepertinya, ia harus berusaha lebih keras lagi. "Ya," jawab Rhea sembari mencangklong tas mahal limited edition miliknya. Memajukan wajah, ia memberi kecupan di pipi Dewa lalu melambai pada Abel dan Argi yang hanya diam menyaksikan. Setelahnya, Rhea melenggang pergi begitu saja. "Maaf, gue balik duluan, mau antar Rhea pulang. Gi, gue titip mobil gue ya," setelah menyodorkan kunci mobil miliknya pada Argi, dengan tergesa Dewa segera keluar dari restoran ternama milik bibi Abel yang dipilih untuk merayakan keberhasilan wanita itu, sayang, semua berakhir tak seperti yang diharapkan. Ketika pandangan Argi bersirobok dengan Abel, pria itu hanya bisa merngis, "ini, spaghetti enak banget, mau coba?" Tanyanya menyodorkan garpu yang sudah terlilit spaghetti dan disodorkan pada Abel yang hanya menatapnya datar, seolah siap mencincangnya, "yasudah kalau tidak mau," sebal Argi, sebelum kemudian memakannya sendiri. Dia tak akan lagi banyak bicara, melihat mood sahabatnya yang dalam mode senggol bacok seperti sekarang. Bisa-bisa dia yang terkena sial dan menjadi tempat menyalurkan amukan. Sementara di area parkir, Dewa menghadang Rhea yang hendak masuk ke dalam mobil, "aku antar," cegahnya saat wanita itu berniat membuka pintu mobil. "Kamu nggak lihat, aku bawa mobil sendiri?" "Tidak masalah, aku yang nyetir." "Kamu bawa mobil?" "Bawa, biar Argi yang nanti urus. Tadi dia nebeng sama aku," jelas Dewa. Mengedikkan bahu tak acuh, Rhea membiarkan Dewa membawa mobilnya. Lumayan, dia bisa menghemat tenaga. Sebelum masuk ke kursi penumpang, Rhea menatap ke arah restoran sekali lagi, dalam hati terkekeh sinis, malang sekali nasib wanita di dalam sana yang lagi-lagi harus kalah darinya untuk meraih simpati seorang Dewangga Aji Bagaskoro. Oh, ayolah, sebaiknya tau diri jika ingin bersaing dengan Rhea Anindita Hartanto. "Sayang," panggil Dewa yang heran melihat kekasihnya terdiam menatap ke arah restoran. Rhea tersentak dari lamunannya, merekahkan senyuman manis dia masuk ke dalam mobil. Tak ingin membuang waktu lebih lama untuk hal tak penting seperti dua makhluk di dalam sana, yang sialnya, menyandang status sahabat dari kekasihnya, "ya sayang, aku datang." Balas Rhea dengan suara mengalun lembut. Setelah pergi dari restauran tempat merayakan keberhasilan Abel yang akan mengadakan fashion show tunggal bulan depan, tapi harus berakhir canggung setelah kedatangan Rhea. Dewa menemani kekasihnya ke salon langganan wanita itu untuk melakukan mini-pedi dan berbagai perawatan kecantikan lainnya yang tak ia mengerti. Dewa pikir, setelah duduk empat jam dikursi tunggu salon, hingga pantatnya terasa kebas, Rhea akan memilih pulang. Tapi di tengah perjalanan ponsel kekasihnya itu memekik kencang, panggilan dari salah seorang teman yang mengajaknya party di sebuah diskotik ternama. Rhea tentu saja mengiyakan di detik pertama. Wanita itu kemudian menyuruh kekasihnya pulang, sudah hafal di luar kepala jika Dewa akan mendapat teror telepon dari sang mama ketika belum berada di rumah hingga jam di atas sepuluh malam. Tapi membiarkan Rhea sendirian hanya akan membuat Dewa tak tenang, hingga akhirnya ia memilih ikut "Yakin mau ikut?" Tanya Rhea sekali lagi, entah sudah berapa kali ia melayangkan pertanyaan yang sama pada Dewa, dan lagi-lagi pria itu hanya menganggukkan kepala meski wajahnya tampak ragu.  Bukan apa, Rhea hanya malas jika di tengah pesta yang sedang asyik ia nikmati, Dewa akan merengek minta pulang karena diteror mamanya. Kadang dia heran, siapa sebenarnya anak perempuan di antara mereka? Berbanding terbalik dengan perlakuan mama Dewa yang menurut Rhea terlalu otoriter meski Dewa adalah seorang pria, orangtua Rhea lebih membebaskannya, selagi tak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, mencemarkan nama baik keluarga, dan bukan tindakan kriminal. Maka itu tak akan jadi masalah. Apalagi mereka tau, putrinya memiliki watak keras kepala yang semakin dikekang, maka kian beringas melakukan pemberontakan. Hentakan musik yang sejujurnya membuat pengang telinga Dewa, kian menyusup pendengarannya. Suasana remang dan hanya sorot lampu disko menyambut kedatangannya. Semua orang tampak menikmati, begitu juga dengan kekasihnya yang sudah sibuk berceloteh ini dan itu dengan teman-temannya. Entah Dewa harus bersyukur atau tidak karena tak hanya ada sekumpulan gadis di dua sofa panjang yang kini mereka duduki. Ada setidaknya tiga pria lainnya yang ikut serta. Ia tak tau status mereka teman-teman Rhea atau sama sepertinya yang hanya menemani kekasihnya. "Gue George," seorang pria berperawakan yang lebih besar dari Dewa mengulurkan tangan, setelah menyebut namanya. "Dewa," membalas uluran tangan pria yang jika di lihat dari wajahnya memiliki darah campuran, karena wajahnya tampak setengah bule, Dewa menyebutkan namanya. Mungkin tak buruk jika ia berbincang dengan pria yang berada di sini daripada hanya diam seperti anak hilang. "Gue tau," jawab George dengan senyuman yang sejujurnya tak membuat Dewa nyaman, "pacar Rhea kan?" lanjutnya sembari menaikan satu alis mata. Dewa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Meski sedikit bingung, apa pria itu tau tentangnya?  Oh, mungkin dia salah satu teman Rhea, pikir Dewa. "Para perempuan bisa melupakan pasangannya jika sudah sibuk bergosip," kelakar Gorge sembari menuangkan sebuah minuman ke dalam gelas kecil, "bersulang?" Ajakknya dengan satu gelas yang ia sodorkan pada Dewa, membuat pria itu kebingungan. Dia tak minum. Tak pernah meminum minuman yang mengandung alkohol. Tapi apa sopan jika menolak teman barunya itu? Selagi Dewa sibuk berpikir, gelas yang masih disodorkan oleh George sudah direbut lebih dulu oleh tangan lentik berkuteks orange, "cowok gue nggak minum," ucap Rhea sebelum kemudian meminumnya dengan satu kali tegukan. Wajahnya meringis sesaat ketika sensasi terbakar dirasakannya. "Oh, sorry," George menyeringai sebelum ikut menenggak minumannya sendiri. Dengan tatapan tajam, Rhea melempar peringatan pada George untuk tak mengoceh macam-macam, dan hanya mendapat seringai menyebalkan dari pria itu. Dewa sendiri yang tak sadar dengan aksi dua orang itu justru sibuk dengan ponselnya yang mulai berisik. "Ck, kan, udah aku bilangin nggak usah sok-sokan mau ikut." Kesal Rhea yang melihat Dewa mulai diteror mamanya. Meringis canggung, Dewa memejamkan mata dan mengela napas, sebelum kemudian membuka kembali matanya dan menatap layar ponselnya yang lagi-lagi memperlihatkan nama sang mama. Dewa menggumamkan maaf dalam hati dan tanpa diduga menonaktifkan ponselnya. Tindakan yang meluruhkan kekesalan Rhea. Wanita itu mengerjap-ngerjap, tak percaya dengan tindakan yang baru saja dilakukan si anak baik kesayangan mama. Memeluk leher Dewa, Rhea terkekeh dan mencium kekasihnya, "mulai nakal ya sekarang," guraunya sambil memberi kecupan sekali lagi, "tapi aku suka," bisik Rhea sebelum bangkit berdiri, menarik tangan Dewa hingga pria itu ikut beranjak dari duduknya, "ayo kita rayakan debut pertama si anak nakal satu ini," godanya sembari menuntun Dewa ke arah dance floor. Mengabaikan tatapan tajam seseorang yang meneguk minumannya dengan kasar. ***  "Baru pulang?" Suara tegas itu menghentikan pergerakan Dewa yang nyaris menjejak anak tangga pertama menuju lantai atas, di mana kamarnya berada. Membalikan tubuh, pria berusia 28 tahun itu mengangguk kaku, saat mendapati sang mama yang entah sejak kapan berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengayunkan langkah, mendekat ke arah putra semata wayangnya yang akhir-akhir ini sering sekali pulang malam. Tapi kali ini lebih parah. Tak hanya pulang pukul satu dini hari, ponselnya juga tak aktif membuatnya kelimpungan karena tak bisa menghubungi. Ia tau putranya bukan lagi remaja, tapi pria dewasa yang bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Tapi tetap saja, sebagai seorang ibu, rasa khawatir selalu merongrongnya. Terlebih, dua tahun terakhir ini. Ketika Dewa menjalin hubungan dengan wanita yang ... Sejujurnya tak ia suka. Salma mengetatkan rahang saat mencium aroma yang kini menguar dari tubuh putranya, "kamu minum?" Dewa meneguk ludah kelu. "Kamu merokok?" Belum sempat menjawab pertanyaan pertama, sang Mama sudah memberondongnya dengan pertanyaan yang lain. "Bersihkan bekas lipstik di bibir dan leher kamu," ucap Salma yang membuat mata putranya terbelalak dan dengan kelimpungan mengusap-usap bibir serta lehernya. Bersedekap tangan, Salma memicingkan mata, menatap lekat putranya yang berdiri dengan resah, "lalu, kenapa ada aroma minuman keras dan asap rokok yang menempel di tubuh kamu?"  Dewa memutar otak, mencoba memilih jawaban terbaik yang bisa memuaskan mamanya, sekaligus melepaskannya dari interogasi tengah malam seperti sekarang. Sialnya, dia yang tak biasa berbohong, terlebih kepada sang mama membuat Dewa hanya bisa bungkam. "Kamu sudah muak mama perhatikan sampai berani mematikan ponsel?" Tembak Salma langsung. "Ma, maaf ... Aku—" "Setidaknya beritahu keberadaan kamu agar Mama bisa tidur tenang," potong Salma cepat, menginterupsi kata-kata Dewa yang terpatah-patah. Jelas dia tau putranya sedang tertekan. Ingin menyodorkan kebohongan tapi tak pandai melakukan. Jujur pun takut membuatnya murka. "Maaf Ma," lirih Dewa akhirnya. Dia benar-benar merasa bersalah, tidak seharusnya bersikap b******k terhadap orangtuanya sendiri. Bagaimana bisa kekhawatiran mamanya ia anggap sebagai gangguan kebersamaannya dengan Rhea. Mengela napas, Salma mencoba menekan emosinya, "bersihkan diri, lalu tidur. Masalah ini dilanjutkan besok." Ucapnya sebelum mendahului Dewa untuk naik ke lantai atas. Menuju kamarnya di mana sang suami sudah sibuk di alam mimpi. Berbeda dengannya yang kesulitan memejamkan mata sebelum melihat kepulangan anak semata wayangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD