Kembar Tapi Beda - 1

2127 Words
Ranu mengayunkan langkah, keluar dari lift yang membawanya ke lantai atas, di mana unit Apartemen kekasihnya berada. Sudah pukul setengah sepuluh malam, bajunya yang berupa kaus lengan pendek bertuliskan salah satu nama warung makan tempatnya bekerja dengan bawahan celana jeans hitam, tampak kuyup terkena hujan yang tiba-tiba mengguyur. Surai hitam panjangnya yang dibentuk sanggul sederhana terlihat lepek. Penampilan yang sebenarnya tak layak untuk diperlihatkan di depan kekasihnya yang hari ini berulang tahun. Tapi Ranu tak punya pilihan, karena besok, Panca, pria yang berstatus sebagai kekasihnya selama tiga tahun itu akan kembali pergi keluar kota. Menundukkan pandangan, bibir Ranu merekahkan senyuman, ketika kedua tangannya memegangi sebuah kotak putih berukuran sedang. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar. Padahal, yang berada di depannya kini adalah pintu Apartemen Panca yang masih tertutup rapat. Ranu berjongkok, ia meletakkan kotak yang sedari tadi di bawanya ke atas lantai. Merogoh tas selempang untuk mengambil sebuah lilin berbentuk angka tiga dan nol. Tak lupa dengan korek gas yang juga sudah ia persiapkan. Setelahnya, ia membuka kotak berisi cheese cake yang di atasnya tertulis 'Happy Birthday Panca Tamawijaya' dengan lambang hati di bawahnya. Ranu menancapkan lilin angka tiga dan nol di atas kue, kemudian memantik korek gas untuk menyalakan lilin tersebut. Setelah berhasil menyala, ia segera memasukkan kembali korek ke dalam tas selempang, sebelum kemudian, dengan gerakan perlahan, mengangkat kotak berisi cheese cake yang sudah berhias lilin angka tiga dan nol yang menyala. Meski agak kepayahan, Ranu memegangi kotak kue dengan satu tangan, karena tangan yang lainnya ia gunakan untuk menekan bel apartemen Panca.  Dengan rasa antusias dan jantung berdebar. Ranu memberi senyuman terbaiknya saat terdengar suara pintu Apartemen yang perlahan terbuka. Sayangnya, senyuman Ranu perlahan meluruh hingga lenyap sepenuhnya, ketika mendapati sosok yang kini bersedekap tangan dan berdiri berhadapan dengannya bukanlah Panca, kekasihnya. "Lo siapa?" Ranu seperti terkena kutukan, hingga tubuhnya kesulitan untuk digerakkan. Bahkan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh sesosok wanita asing yang membuka pintu Apartemen yang ia yakini milik kekasihnya pun, ia kepayahan. Hal lainnya, yang membuat Ranu gemetar dihantam rasa takut, adalah saat netranya memindai penampilan wanita di depannya yang hanya mengenakan kemeja putih tanpa bawahan, hingga mengekspos kedua tungkai kakinya yang jenjang. Tiga kancing teratas kemejanya pun dibiarkan terbuka. Belum lagi, aroma parfum yang menguar dan mengusik penciuman Ranu karena ia begitu hafal pemilik aroma tersebut. "Ap—Apa—benar, ini ... Ap—Apartemen Panca Tamawijaya?" Mengeratkan genggaman pada kotak kue yang Ranu jadikan pegangan agar tubuhnya tak terhuyung jatuh, ia akhirnya berhasil mengeluarkan suara. Bibir wanita itu nyaris terbuka saat suara pria di belakangnya sudah lebih dulu menginterupsi. "Sayang, siapa yang datang?" Sepasang lengan kekar melingkupi pinggang ramping wanita itu. Membuatnya mengalihkan atensi dari Ranu yang hanya diam dengan perasaan yang remuk redam. Netra coklat yang sebelumnya terfokus pada wanita dalam pelukannya itu terbelalak, saat tau siapa tamu yang mendatangi Apartemennya malam-malam. "Ranu?" Panggil Panca gugup. Berdeham, pria itu menatap lembut wanita di pelukannya, "aku ada urusan sebentar, kamu tunggu di dalam ya?" Wanita itu hanya mengedikkan bahu tak acuh. Memberi kecupan pada bibir Panca di depan mata Ranu yang kian berkabut karena cairan bening yang sudah menyesaki pelupuk matanya. Hanya dengan satu kedipan mata, maka semuanya akan meluncur jatuh membasahi kedua pipinya.  Setelah kepergian wanita asing yang tak Ranu tau siapa. Meski dikepalanya sudah bercokol dugaan yang menyakitkan hati. Ia memaksakan senyuman yang sialnya justru meloloskan isakan. Berbarengan dengan satu persatu air mata yang akhirnya meluncur jatuh, karena tak sanggup lagi ia bendung. "Maaf," ucap Ranu ditengah isakannya. Sembari sibuk menghapus air matanya yang tak juga bisa berhenti. Justru kian deras seperti hujan di luar sana. Entah untuk apa ia mengucapkan permintaan maaf, bukankah pria di depannya yang hanya bungkam dengan tatapan yang tak bisa ia artikan yang seharusnya meminta maaf? Buk! Kotak berisi cheese cake dengan lilin yang menyala itu jatuh ketika Ranu melepas pegangannya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang sudah basah karena air mata. Tak peduli dengan keadaan kue yang hancur dengan lilin yang sudah padam. Kue yang ia beli dengan sisa uang yang dimilikinya, bahkan meminjam sebagian dari teman sekaligus rekan kerjanya yang berbaik hati menolong Ranu. Karena sebagian besar uangnya sudah dirampas Ayahnya untuk berjudi. Ranu terkejut, saat tiba-tiba lengan kanannya di tarik hingga tubuhnya terhuyung ke depan dan menabrak d**a telanjang yang ia tau pemiliknya. Ya, siapa lagi jika bukan Panca. Pria itu hanya mengenakan boxer. Satu-satunya kain yang melekat ditubuh. "Maaf," gumam Panca ditelinga Ranu yang masih tersedu dipelukannya, "dia Clara, wanita yang dijodohkan denganku. Aku tidak bisa menolak karena tidak ingin melawan keputusan orangtuaku." Mendengar penjelasan Panca, Ranu berontak dari dekapan pria itu. Mata basahnya menatap kekasihnya yang entah, status itu masih berlaku atau tidak, mengingat Panca baru saja berkata jika wanita yang kini berada di dalam Apartemennya adalah sosok yang dijodohkan dengannya. "La—Lalu, bagaimana de—dengan kita?" Menundukkan kepala, Panca menyugar rambutnya dengan frustasi, sebelum kembali mengangkat wajah dan menatap Ranu penuh sesal, "maaf, seharusnya aku lebih cepat membicarakan tentang hubungan kita yang seharusnya berakhir. Tapi banyaknya pekerjaan, terpaksa aku harus menunda, untuk bilang putus sama kamu." Ranu menatap tak percaya pria yang selama tiga tahun mengisi hatinya. Menjadi satu-satunya sosok yang ia syukuri hadir di tengah kerumitan dan kesulitan hidupnya. Tapi saat ini, begitu mudah berkata putus. Tapi ia bisa apa, selain menelan kenyataan pahit ini bulat-bulat? Ranu terkekeh, kenapa ia harus terkejut? Bukankah hidupnya memang sudah sering mendapat ketidak adilan dan rasa sakit? "Sejak kapan?" Tanya Ranu yang kini sepertinya sudah mati rasa. "Apa?" Tanya Panca kebingungan. "Sejak kapan, kalian menjalin hubungan?" Ulang Ranu yang kali ini memperjelas pertanyaannya. Meneguk ludah, Panca mengela napas sebelum akhirnya membuka suara, "lima bulan," akunya kemudian. Tersenyum miris, Ranu mengangguk-anggukkan kepalanya, menundukkan pandangan, ia menarik kuat liontin dengan bandul huruf P pemberian Panca yang selalu ia sembunyikan di balik baju karena takut dirampas Ayahnya untuk dijual agar bisa bermain judi. Meraih tangan Panca, Ranu menjejalkannya ke dalam genggaman pria itu, "selamat atas hubungan barumu," ucapnya sebelum kemudian beranjak pergi. Mengabaikan Panca yang meneriakkan namanya di balik punggung. Dalam hati, Ranu bertekad tak akan lagi menoleh ke belakang. Seperti hubungannya yang kini hanya menjadi kenangan. ***  "Sudah berani kelayapan ya sekarang?!" Ranu baru saja mengunci pintu, tapi ketika berbalik, dia sudah disuguhkan wajah murka sang Ibu. Wanita paruh baya dengan beberapa gulungan roll yang bergelantungan di atas kepalanya itu berkacak pinggang sembari mendelik ke arah Ranu yang hanya diam dengan tubuh menggigil. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup karena di tengah jalan, tiba-tiba hujan kembali menderas. Ia yang mengendarai motor hanya bisa pasrah. Apalagi, jas hujan yang biasanya berada di jok motor lupa terbawa. Jaketnya pun tertinggal di tempat kerja karena terburu-buru pergi ke tempat Panca, yang sialnya hanya memberikannya luka. Ranu bisa saja berhenti sejenak untuk berteduh. Tapi malam yang kian larut membuatnya enggan dan memilih melanjutkan perjalanan meski harus kehujanan. Bersyukur karena helm yang dikenakan cukup melindungi kepalanya, meski tetap basah tapi tak sampai kuyup. "Maaf Bu, tadi hujannya makin deras, jadi berhenti sebentar." Ranu terpaksa berbohong, ia tak mungkin bilang jika alasan keterlambatannya pulang, tak hanya karena hujan. Tapi juga memberi kejutan ulang tahun Panca di Apartemen pria itu. Ibunya bisa semakin murka. "Terserah!" Mira mengibaskan tangan di depan wajah, "lo sekarang, naik ke atas," tunjuknya pada langit-langit ruangan. Ranu mengernyitkan kening karena tak memahami maksud Ibunya, "ke atas?" tanyanya memastikan. "Ck! Itu kuping dipake yang benar makanya! Dodol banget jadi orang, masa gitu aja nggak paham," omelnya kesal, "lo naik ke atas genting, benerin atap rumah dibagian kamar gue, kayaknya kucing tetangga mulai lagi suka naik-naik, sampai gentingnya ke geser. Jadinya pas hujan bocor. Buruan, sana! Gue ngantuk dari tadi nungguin lo nggak balik-balik." Mengibaskan tangan, Mira berjalan menuju sofa usang yang beberapa busanya sudah mencuat keluar. Mendudukkan diri sebelum kemudian meraih toples berisi keripik singkong. Sementara matanya tertancap pada tv tabung 24 inch yang tengah menayangkan sinetron kegemarannya. "Bu, gimana kalau besok saja? Ranu janji, pagi-pagi sekali akan langsung diperbaiki." Mira menghentikan kunyahannya, matanya menatap garang Ranu yang berdiri dengan takut-takut, "berani lo tawar menawar perintah gue?" "Bu—Bukan begitu Bu," Ranu menyesal sudah mengatakan hal seperti tadi. Tapi saat ini, tubuhnya sudah benar-benar lelah. Ingin segera membersihkan diri dan beristirahat. Belum lagi keadaan hatinya yang tengah babak belur. "Kalau besok, gue tidur di mana, hah? Masa di sofa buluk ini? Bisa sakit badan gue!" "Ibu bisa tidur di kamar aku?" Tanya Ranu, tapi kemudian segera mengatupkan bibir melihat delikan Ibunya. "Gue—Nggak—Mau!" Mira yang kesal melempar remot tv hingga mengenai kening Ranu, "buruan benerin gentingnya, sialan!" Teriaknya yang membuat Ranu bergegas pergi untuk menjalankan titah sang Ibu. Ranu tampak kepayahan mengangkat tangga dari kayu, yang kemudian ia pastikan tak akan goyah saat nanti dinaiki. Dengan jas hujan yang sudah melekat ditubuh, Ranu membaca do'a sebelum kemudian kakinya menaiki satu demi satu undakan tangga. Beruntung, hujan sudah mulai reda, meski masih menyisakan gerimis kecil. Tapi bisa sedikit membantunya memperlancar tugas memperbaiki letak genting yang tergeser di kamar Ibunya. Jika keadaan hujan deras, ia tak yakin bisa, karena tak hanya berjibaku dengan hujan, tapi penglihatannya yang terbatas bisa sangat berbahaya. Apalagi keadaan genting yang di injaknya cukup licin. Teledor sedikit saja, tubuh mungilnya bisa-bisa tergelincir jatuh. Membayangkannya saja, Ranu sudah bergidik ngeri. Ranu merutuki dirinya sendiri yang lupa membawa senter. Ia jadi kesulitan mencari letak genting yang posisinya tergeser. Setelah mencari-cari beberapa lama, ia akhirnya bisa mengembuskan napas lega saat melihat salah satu genting yang posisinya bergeser, seperti yang Ibunya katakan. Tak ingin membuang waktu, Ranu segera memperbaiki letak posisi genting tersebut hingga kamar sang Ibu tak lagi kebocoran. Usai menyelesaikan tugasnya, ia kembali berjalan, bahkan sesekali berjongkok dan berpegangan pada genting yang dijejaknya ketika dirasa sedikit goyah.  Menuruni satu persatu anak tangga, Ranu mengucap syukur ketika akhirnya bisa berhasil menjejak tanah. Ia segera mengangkat tangga kayu berat itu untuk dikembalikan ke tempatnya. Jika Ibunya tau ia biarkan begitu saja. Bisa lagi-lagi kena omelan. Ranu melihat telapak tangannya yang sudah sangat pucat bahkan mengkerut. Belum lagi terasa begitu dingin. Saat memasuki rumah sembari melepas jas hujan, ia dikejutkan sang Ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri tak jauh darinya dengan tangan berkacak pinggang. "Udah beres belum?" Tanya Mira langsung. "Sudah Bu," balas Ranu yang tak dibalas Mira karena wanita paruh baya itu sudah melenggang pergi menuju kamarnya. Mengela napas, Ranu beranjak ke kamar untuk mengambil handuk, sebelum kemudian keluar lagi dan pergi menuju kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Setelah mandi tubuhnya terasa lebih ringan. Dengan pakaian yang sudah diganti di dalam, karena ia memang memiliki kebiasaan mengganti pakaian di dalam kamar mandi. Ranu keluar dengan tangan sibuk menggosok-gosok rambut yang masih setengah basah dengan handuk kecil. Keadaan rumah begitu sepi, Ibunya pasti sudah terlelap di kamar. Sementara sang Ayah, mungkin sekarang tengah memeras otak, berusaha keras agar bisa memenangkan perjudian yang bukannya membuat kaya, justru kian tercekik hutang. Ujung-ujungnya, Ranu yang menjadi kambing hitam dengan mencicil hutang sang Ayah. Ranu menyandarkan tubuh di kepala ranjang, rambutnya masih setengah basah, membuatnya urung untuk segera membaringkan tubuh. Menjatuhkan pandangan ke atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya, Ranu memandang kosong sebuah bingkai foto berisi sejoli yang tengah saling merangkul dengan senyuman manis ke arah kamera. Mengulurkan tangan, ia meraih bingkai foto yang tak lagi mendatangkan senyuman saat melihatnya. Karena kini, justru air matanya yang meluruh jatuh.  Panca Tamawijaya, sosok yang sudah menemaninya selama tiga tahun. Pria yang pada awalnya ia kenal karena rencana perjodohan yang dirancang orangtuanya juga orangtua Panca. Ya, dulu, keluarganya termasuk sebagai keluarga berada. Ayahnya seorang pengusaha sukses, tapi karena sifat tamaknya, perusahaan keluarga yang diwariskan dari sang Kakek hancur. Diam-diam, Ayahnya sering menyelewengkan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Tak hanya sang Ibu yang suka berbelanja barang mewah dan berlibur ke berbagai negara, Ayahnya pun sama, meski selain berlibur, pria paruh baya itu ternyata berjudi menggunakan uang perusahaan. Sementara Ranu, ia ditinggal di rumah besar yang selalu terasa dingin dan sepi. Sampai kemudian petaka itu datang. Perusahaan Ayahnya bankrut. Pria paruh baya itu juga sempat dipenjara karena masalah penggelapan dana. Tapi entah bagaimana akhirnya berhasil bebas. Sang Ibu sempat stres karena perubahan hidupnya yang begitu drastis. Membuatnya mudah marah dan tak jarang menjadikan Ranu sebagai pelampiasan. Masalah sekecil apa pun, bahkan sebenarnya tak ada masalah, tapi seolah-olah dibuat ada, hanya agar bisa menjadikan Ranu sebagai samsak hidup. Di semua kegelapan hidupnya, Panca menjadi satu-satunya penerang, sumber kebahagiaan yang Ranu miliki. Keluarga pria itu yang sebelumnya begitu ramah dan memperlakukannya hangat, seketika berubah setelah tau keluarganya bankrut. Mereka memutuskan untuk membatalkan rencana perjodohan Ranu dan Panca secara sepihak.  Tak ada yang bisa Ranu lakukan selain pasrah. Tapi, siapa yang menduga jika Panca menginginkan hubungan mereka tetap terjalin meski harus secara sembunyi-sembunyi. Ya, mereka harus backstreet karena keluarga Panca menentang keras. Semua berjalan dengan baik hingga tak terasa sudah menginjak tahun ketiga. Tapi hari ini, Ranu mendapat tamparan tak kasat mata secara telak. Tamparan yang terasa lebih menyakitkan dari yang biasa Ayah atau Ibunya lakukan padanya. Panca yang ia percayai sepenuh hati, ternyata mengkhianati. Meletakan kembali bingkai foto itu ke tempatnya, Ranu berbaring sembari menatap nyalang langit-langit kamarnya yang tampak temaram. Suara hujan di luar sana seolah menjadi musik pengantar tidur yang membuat Ranu mulai terlelap. Membiarkan tubuh lelahnya beristirahat sejenak. Sebelum esok, kembali dihadapkan dengan kerasnya kehidupan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD