Plaaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Ayahku menamparku dengan sangat keras. Kumisnya yang menyatu dengan jenggotnya terlihat bergetar dengan matanya yang menyala karena marah. "Kenapa kamu mengambil keputusan tanpa persetujuanku?! Kamu melakukan sesuatu dengan emosimu. Apa itu sikap pemimpin?! Apa itu yang aku ajarkan padamu, Aditya?!" Aku hanya menunduk menikmati panas bekas tangan ayahku. Berdenging rasa di telingaku. Padahal ayahku tidak sehat sepenuhnya, tapi ia bisa membuat gigiku terasa nyut-nyutan. Aku menelan salivaku sedikit menetralisir nyerinya. "Kamu tak hanya menghancurkan nama keluarga ini, kamu juga menghancurkan kepercayaan Papa!" berang ayahku setelah mengetahui segala kebenaran yang kuceritakan dengan rinci. "Maafkan aku, Pa," lirihku masih menunduk sembari

