BAB 13_PERTEMUAN

1070 Words
Ttttiiiit! Dareen mengklakson motor yang membawa Dahlia. Gadis itu menoleh ke belakang. "Pak! Kenapa mobil itu ngejar-ngejar kita?!" "Masak, Mbak?" "Iya!" "Oawaduuuh!" Husen melajukan motornya makin kencang. Dareen pun terus mengikuti mereka. Husen memutuskan masuk gang yang berbelok-belok juga becek. Semalam hujan turun dengan sangat deras. Setelah merasa aman, mereka pun masuk gang komplek perumahan. "Mbak, kayaknya mobil itu sudah gak kelihatan lagi! Mbak turun di sini aja ya, soalnya saya ada orderan online!" seru Husen sedikit tegang. "Oooh ... gimana dong, Pak. Saya takut mobil tadi datang, Pak!" "Tenang aja, Mbak. Gak mungkin juga mobil bagus gitu ada urusannya sama kita. Mungkin Mbaknya aja yang kepedean mentang-mentang sedang cantik sekarang," seloroh Husen. Laki-laki paruh baya itu tak mengkhawatirkan tanggapan Dahlia karena gadis itu tetangganya. Dahlia hanya mencucut manyun, tapi ia mengeluarkan uang seratus ribu. "Ini buat Susanti, Pak. Kebetulan ada rezki hari ini," ujar Dahlia senang. "MasyaAllah. Terimakasih ya Mbak. Pasti dia senang sekali, ada pakai beli tas sekolah baru. Tenang saja, itu mobil gak ngejar kita. Mungkin mau nyalip tapi gak ahli. Kalau Mbak butuh ojek dimanapun, kapanpun, saya siap! Telpon aja." Gadis berkerudung merah jambu itu mengangguk-angguk dengan senyum manisnya. Ia melihat punggung Husen semakin jauh. Perlahan, Dahlia mengencangkan bawaannya. Gadis itu kembali melangkah santai. Tiba-tiba ... "Oooi! Berhenti!!" Dahlia menoleh. Melihat laki-laki asing sedang berlari mendekatinya, Dahlia refleks ikut berlari. "Kyaaa! Tolooooooong!!!" teriak Dahlia ketakutan. "Berhentiii! Cewek!! Berhenti kataku!! Itu barangku oiiii!!!" Keduanya saling kejar-kejaran melewati genangan air yang membuat pakaian mereka kotor. "Oooi! Cewek sialan!! Ini barangmu wooii!!!" teriak Daren terengah-engah semakin dekat dengan sasarannya. Mendengar itu, Dahlia langsung mengerem kakinya mendadak hingga ia sendiri hampir tersungkur. Habis basah dan kotor pakaiannya oleh air hujan sisa semalam. Bahkan wajahnya tak lekang oleh percikan air berwarna coklat. "Hossh! Hossh!! Wanita gila!!! Hampir mati aku mengejarmu. Kenapa larimu kencang sekali hah?!! Ini barangmu!" Ketimplaaaak! Plastik putih milik Dahlia dilemparkannya begitu saja di depan gadis itu. Tubuh Dahlia justru mundur, takut-takut laki-laki yang sedang membuka jaketnya itu akan menculiknya. Siapa yang tahu, bisa jadi pemuda gagah di depannya itu adalah oknum penjual organ manusia. "Heh! Kenapa mundur? Ambil lagi barangmu! Hossh! Hossh!" Dareen masih terengah-engah. Laki-laki itu mengipas-ngipas jaketnya agar mendapatkan tambahan udara. Dahlia maju meraih plastik putih di depannya lalu memeriksanya. Melotot kedua bola matanya melihat barang-barangnya justru di plastik itu. Dengan cepat, ia memeriksa plastik yang dibawanya tadi. Ada kotak kacamata, minuman bersoda juga aneka snack. "Anu ... anu Mas. Maaf." "Cepat. Kembalikan milikku!" sentak Dareen kesal. Dahlia maju, menyerahkan milik pemuda itu. Tangannya gemetar. Dareen memeriksa barangnya. Hal yang paling ia sesali hari ini adalah, mengapa tangannya memasukkan kotak kacamata yang sangat berarti di dalam plastik belanjaannya. "Kamu sudah banyak membuat kerugian hari ini. Aku terlambat dalam janji bisniss karena kamu. Mobilku jadi sangat kotor!" "Ma-maaf, Mas. Sa-saya tidak sengaja, Mas." "Aargghh!!!" berang Dareen mengusap wajahnya. "Sa-saya akan membersihkan mobilnya, Mas," ucap Dahlia masih ketakutan karena merasa bersalah. Cekreeeek! Wajah Dahlia sudah terekam kamera ponsel milik Dareen. Pemuda itu menyeringai. "Ini alamatku. Besok kamu harus ke sana mencuci mobilku. Awas saja kalau kamu mangkir! Kuviralkan kamu!" Dahlia meraih kartu nama dari tangan Dareen dengan tangan gemetar. Gadis itu hanya mengangguk lalu segera mundur. Tanpa mengucapkan apa-apa, Dareen pergi meninggalkannya yang masih nelangsa. "Ya Allah, ada saja ujianku," lirih Dahlia. Setelah menerima plastik berisi belanjaan, Marni keheranan melihat pakain anaknya yang penuh dengan percikan air kotor. "Kamu habis disuruh ngapain sama majikanmu, Nak?! Ya Allah, kok bisa cemong gini?!" Dahlia menggeleng. "Aku dah berhenti, Bu. Mas Aditya tadi jemput dan bawa aku ke klinik kecantikan. Tadi aku lumayan cantik, sekarang dah balik lagi aslinya," seloroh Dahlia mengusap lumpur yang kering di pipinya. Marni tersenyum. "Iya, pagi-pagi pemuda tampan itu datang cari kamu. Duuuh aroma parfumnya sampai sekarang bikin rumah ini wangi, Nak!" "Iya. Tapi mulutnya mengeluarkan bisa ular," ketus Dahlia. "Mana Bapak, Bu?" lanjutnya. "Dia lagi diajak Pak Dolah ikut kerja nebang pohon," jawab Marni sambil mengeluarkan belanjaan Dahlia. Ada tisu basah, bubur bayi, aneka snack, s**u formula dan perlengkapan mandi. Di matanya, semua terlihat mewah. "Kayaknya mahal-mahal semua, Nak," ujar Marni terperangah. "Belum semua itu, Bu. Tadi aku mau cepat pulang karena kebelet 'nyetor' tapi Ibu tahu kan, aku sulit pake WC umum." Marni tersenyum lebar sembari mengangguk-angguk. "Ini tadi uang yang dikasih sama Mas Aditya buat Nadia, Bu. Simpan ya. Kita akan pakai buat bawa Nadia ke rumah sakit. Aku ingin dia sembuh, Bu." Marni menunduk, mengelus lembut uang yang diberikan Dahlia. Wanita itu langsung meneteskan air mata mengingat adiknya yang diceraikan oleh suaminya karena melahirkan anak yang cacat. Nadia bayi menderita penyakit hidrosefalus dimana kondisi ukuran kepala bayi yang jauh lebih besar dari ukuran normal. Penyebabnya antara lain gangguan genetik dan masalah dalam perkembangan janin akibat malnutrisi atau infeksi selama kehamilan. Marni tidak kaget, karena memang adiknya bahkan lebih miskin dari dia. "Apa Nadia sudah bobo, Bu?!" Marni hanya mengangguk. Ia sedang mengatur hatinya agar ikhlas jika semua uang yang kemarin dia sembunyikan dan yang sekarang di tangannya itu untuk pengobatan keponakannya itu. Namun sesuatu dalam pikirannya muncul. "Apa boleh sebagian uang ini kita pakai bayar hutang di warung, Nak? Ibu sampai tak berani mengangkat wajah karena malu punya hutang." "Duuuh Ibu. Kenapa gak dibayar dari kemarin?!" "Ibu malu, Nak. Itu kan uangmu," timpal Marni sendu. Dahlia meraih tangan ibunya lalu menciumnya takzim. Rasa sayangnya pada wanita yang telah melahirkannya itu teramat dalam. "Uang itu, uang kita bersama, Bu. Bayar hutang-hutang itu. Apalagi sekarang, aku sudah gak bekerja lagi. Sementara kita hanya punya itu." "Semoga Nak Aditya beneran nikahin kamu, Nak," ucap Marni mengusap matanya. Pandangannya semakin buram karena ada cairan bening yang mengolam di sana. Dahlia hanya tersenyum. Ia memutuskan akan mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan berita penting yang sedang dibawanya. Setidaknya ketika ayahnya ada di rumah. "Oh ya, tadi kamu bilang habis dari klinik kecantikan, kok bisa pulang kayak habis bajak sawah?" "Itu tadi ada cowok nyebelin, pelit medit, Bu! Aku gak sengaja bawa barang belanjaannya. Dia mengejarku sampai kampung. Katanya, mobilnya sampai kotor. Tapi syukur juga sih, karena barang belanjaanku dia yang bawa. Ketukar, Bu. Aku benaran gak sengaja!" tutur Dahlia membuka jilbabnya. Rambut hitamnya terurai indah sampai sepinggang. Apalagi tadi sudah di-creambath, helaian rambutnya terasa sangat halus dan wangi. "Yah, kamu yang salah, Nak!" seru Marni. "Iya. Iya. Besok aku harus ke rumahnya buat bersihin mobilnya, Bu," keluh Dahlia dengan mulutnya yang mengerucut. Marni tersenyum "Sabar ya, Nak. Kamu harus terus belajar bertanggungjawab atas kesalahanmu." Dahlia mengangguk pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD