Bab 4

1609 Words
Hari demi hari berlalu dan tak ada niatan bagi Yasmin untuk membatalkan rencana pertunangan Aksa dan Sherly. Meski Aksa sama sekali tak peduli namun gadis itu tampak menunjukkan niat baiknya akan rencana Yasmin. Gadis itu semakin sering berkunjung dan kini sebaliknya, Aksa berinisiatif pergi ke apartemen wanita itu dengan maksud dan tujuan lain tentunya. “Halo, aku ingin ke tempatmu,” kata Aksa pada Sherly lewat sambungan telepon. “Benarkah? Kapan kau akan berkunjung?” suara Sherly terdengar halus dan lembut. “Aku sudah di depan apartemenmu,” kata Aksa dan hendak mematikan sambungan telepon. “Apa?! Ta-- tapi … Aku sedang....” suara Sherly terdengar terbata-bata. Tanpa menunggu Aksa segera mematikan sambungan telepon. Ia memasukkan ponselnya ke saku celana kemudian menyuruh Bambang menekan bel apartemen Sherly. Cukup lama menunggu, pintu bercat putih itu pun terbuka. Sherly menyembulkan kepalanya guna melihat apakah benar itu Aksa atau tidak. Tidak seperti biasanya, Sherly kali ini terlihat berantakan. “Aksa?  Kau ... sudah ada disini?” Sherly merapikan rambutnya yang sedikit kusut dan berantakan menggunakan jari. “Hn. Kau tidak menyuruhku masuk?” ucap Aksa seketika. “Ah! Maaf.” Sherly pun membuka lebar pintu dan mempersilahkan Aksa masuk ke dalam apartemennya. Bambang mendorong kursi roda Aksa masuk ke dalam hingga ruang tamu. “Kau boleh pergi Bambang, aku ingin berbicara dengan Sherly,” perintah Aksa dan Bambang segera pergi sesuai perintahnya. “Ada apa Aksa, mendadak sekali berkunjung ke apartemenku?” Sherly mendorong kursi roda Aksa hingga samping sofa ruang tamu. “Kau tak suka? Baiklah, aku akan pergi.” Aksa hendak memutar kursi rodanya sampai Sherly menahannya. “Tidak, bukan begitu maksudku, aku hanya tidak menyangka, selama ini kau sepertinya tidak menyukaiku,” kata Sherly dengan suaranya yang seakan menahan kesedihan. “Bukankah  ibuku menyuruh kita segera bertunangan?” “I-- iya, tapi….” Klontang ... prang ... Suara benda jatuh terdengar oleh Aksa. “Ada apa? Apa ada seseorang?” tanyanya. “Ah ... ti-- tidak ada, mungkin itu Pearly, kucingku. Aku akan melihatnya sebentar dan membuatkanmu minum, tunggu sebentar.” Sherly pun meninggalkan Aksa dan berjalan ke arah pantry yang berada di depan sisi kanan bersebelahan dengan ruang tamu. “Apa yang kau lakukan?” Sherly tampak berbisik pada seseorang. “Seharusnya aku yang tanya padamu siapa pria cacat itu.” Menunjuk Aksa dengan tatapan tak senang. “St ... pelankan suaramu, nanti dia dengar. Kau bersembunyilah dulu sampai dia pergi.” Sherly menyuruh pria yang ada di hadapannya bersembunyi. “Aku tidak mau, lagi pula aku merindukanmu, Sayang ....” Pria itu memeluk dan mencium Sherly penuh hasrat. “Alex, sudah hentikan. Dia pria cacat yang kuceritakan padamu. Jika aku berhasil menikah dengannya, aku bisa menggunakannya untuk membantu keuangan perusahaan ayahku, kau tahu kan perusahaan ayahku sedang dalam masa sulit?” Sherly mencoba melepaskan pelukan kekasihnya dan menjelaskan rencananya. “Apa kau lebih memilih pria cacat itu dibanding pacarmu yang sempurna ini? Dimana matamu?” nada bicara Alex cukup kasar dan keras. “Pelankan suaramu, sudah kubilang ini untuk perusahaan ayah. Lagipula dia itu cacat dan buta, kita masih bisa bersenang-senang di belakangnya. Keluarganya orang terpandang dan kaya, aku tinggal mengambil hati mereka dan suatu saat pasti mendapat tempat di perusahaan besar mereka.” Sherly berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa ini hanya tipu muslihatnya saja. “Apa kau masih disana Sherly?” suara Aksa terdengar cukup keras memanggil Sherly. “I … iya … tunggu sebentar, aku baru menghangatkan air untuk membuatkanmu kopi. Tunggu sebentar,” teriaknya dengan suara kecil  dari arah pantry membuat tatapan kosong Aksa mengarah kesana. “Mau coba permainan menarik, Sayang?” Alex kembali memeluk Sherly dan menjilat telinganya sensual. “Ugh ... Alex ... apa yang kau lakukan?” bisik Sherly dengan mencoba melepas kukuhan Alex. Tanpa aba-aba Alex mengangkat Sherly ke atas pantry dan membuka lebar kaki wanita itu.  “Alex, hentikan masih ada Aksa disini!” Sherly berusaha menghentikan aksi Alex. “Kenapa? Lagipula dia buta bukan? Dan kau harus terbiasa jika kau menikah dengannya, aku dengan senang hati akan memuaskanmu.” Dengan sekali gerakan Alex melesakkan miliknya dan memulai gerakan. “Lihatlah, Sayang, bayangkan disana calon suamimu tengah melihat kita bermain.” Alex membalik tubuh Sherly, hingga ia memunggunginya dan menghadap ke arah Aksa. Rasanya berbeda, meski Aksa buta tetap saja ia sedang bermain di hadapan seseorang. Ini justru membuat gairahnya makin tinggi.  Hingga terlalu menikmati permainannya, mereka tak sadar jika Aksa telah pergi dari tempatnya. Aksa mengambil ponselnya dan menghubungi anak buah setianya. “Bambang, jemput aku sekarang,” ucapnya dengan cepat. Sedari tadi Bambang memang masih menunggu Aksa diluar apartemen Sherly. Ia segera menyusul Aksa dan membawa tuannya pergi dari sana sesuai perintah. Melihat wajah Aksa yang tak biasa, ia mencoba bertanya, “Apakah ada sesuatu, Tuan?” Aksa hanya diam kemudian menyeringai kejam, ia menutup wajahnya dengan sebelah tangan. “Tidak ada. Ayo pulang,” ucapnya. “Baik Tuan Aksa.” Bambang mendorong kursi roda Aksa masuk ke dalam lift dan menghilang setelah lift tertutup. Sesampainya di rumah, Aksa telah disambut Yasmin dengan hati gembira. “Aksa, kau sudah pulang? Kenapa cepat sekali? Bagaimana dengan Sherly? Apakah dia ikut kesini?” Yasmin dengan antusias bertanya pada Aksa saat Aksa baru memasuki rumah. “Tidak, dia sibuk. Aku ingin ke kamar,” jawab Aksa singkat dan meminta Bambang segera mengantarnya ke kamar. *** Keesokan harinya Sherly datang ke rumah Aksa berniat meminta maaf.  “Selamat siang, Bi.” Sherly tersenyum manis dan memberi salam dengan sopan pada Yasmin yang telah menyambutnya. “Selamat siang Sherly, ayo masuk. Bibi akan memanggil Aksa. Tunggu sebentar,” kata Yasmin yang berjalan menuju kamar Aksa. “Baik Bi.” Sherly tersenyum manis. Ia duduk dan menunggu di ruang tamu sambil memainkan smartphone di tangannya. “Aksa, keluarlah dan temui Sherly.” Yasmin masuk ke kamar Aksa dan mendapati putranya itu hanya diam di atas kursi rodanya. Tanpa menunggu tanggapan Aksa, Yasmin mendorong kursi rodanya menuju ruang tamu untuk menemui Sherly. “Aksa.” Sherly segera memasukkan smartphone miliknya ke dalam tas dan menyambut Aksa dengan senyuman manis. “Bibi akan membuatkanmu minum, kalian silahkan mengobrol.” Yasmin meninggalkan Aksa dan Sherly untuk menuju dapur. “Aksa, kenapa kemarin kau pulang? Maaf jika aku terlalu lama, Pearly membuat ulah dan aku harus membereskan kekacauan yang ia buat. Saat aku kembali kau sudah tidak ada, maafkan aku Aksa.” Sherly mencoba menjelaskan kenapa ia terlalu lama di dapur kemarin. Namun hanya ekspresi datar yang terlihat di wajah tampan Aksa. “Apa kau marah? Aksa maafkan aku,” Sherly berpura-pura sangat menyesal dan mencoba menggenggam tangan Aksa. Dengan sekali gerakan Aksa menyingkirkan tangan Sherly. “Jangan pernah menyentuhku.” Aksa berucap dengan tegas dan kasar. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Bambang. “Bambang, aku ingin keluar.” Setelah mengatakan itu Aksa mematikan sambungan telepon dan tak lama kemudian Bambang datang.  “Aksa, kau mau kemana?” Sherly bertanya pada Aksa yang pergi meninggalkannya, tanpa menjawab Aksa keluar rumah dengan ditemani Bambang. Saat Yasmin kembali dengan secangkir teh diatas nampan, ia tak lagi mendapati Aksa disana. “Sherly, dimana Aksa?” Ia meletakkan secangkir teh itu ke atas meja dan berniat mencari Aksa yang mungkin kembali ke kamar. “Tadi Aksa bilang ingin keluar sebentar, Bi,” ucap Sherly dengan masih mempertahankan senyum di bibirnya. “Soal pertunangan kalian, kami orang tua akan menyiapkannya, bibi sudah membicarakannya dengan orang tuamu.” kata Yasmin yang kini duduk di samping Sherly. “I-- iya Bi, tapi apakah Aksa setuju? Ia sepertinya tidak menyukaiku Bi.” Sherly kini memasang wajah sedihnya mencari simpati Yasmin. “Kau tenang saja, bagaimana mungkin ia tak setuju menikah dengan gadis cantik dan baik sepertimu? Ia pasti menyukaimu.” Yasmin memeluk Sherly dan berusaha meyakinkannya. Dan tanpa diketahuinya, Sherly tersenyum penuh kemenangan di balik punggungnya. *** Kini Aksa telah berada di taman. Ia duduk dan bersandar pada pohon Trembesi di belakangnya. Pohon ini begitu rindang membawa kesejukan, angin berhembus sepoi-sepoi menyibak rambut Aksa yang sudah mulai sedikit memanjang, rasanya begitu tenang dan nyaman. Tatapan kosongnya terarah ke langit biru berhiaskan awan. Krasak ... krasak... “Siapa disana?” Merasa ada seseorang mendekat Aksa mengalihkan tatapannya ke arah sumber suara. “Maaf, apakah aku mengganggumu?” Suara seorang gadis yang sepertinya pernah Aksa dengar. “Hn,” gumam Aksa tak jelas. “Hn? Ah! Kau yang waktu itu kan? Ini aku, untung kita bertemu lagi, aku ingin minta maaf padamu sepertinya waktu itu kau marah padaku.” Ini adalah suara gadis yang waktu itu menjatuhkan ponsel Aksa. “Aku lupa,” ucap Aksa singkat, meskipun sebenarnya ia ingat dengan suara gadis ini. “Perkenalkan namaku Khaila Naura.” Gadis itu meraih tangan Aksa dan menjabat tangannya. “Sudah? Pergilah.” Aksa menarik kembali tangannya dan menyuruhnya segera pergi. “Eh? Kau serakah sekali, taman ini kan tempat umum, bagaimana bisa kau mengusir orang lain?” Gadis itu menggembungkan pipi kesal mendengar ucapan Aksa. “Baiklah. Aku yang pergi.” Aksa meraba dan mencari kursi roda di sampingnya, ia mencoba meraih kursi rodanya. “Tunggu! Baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Lagipula kau juga belum perkenalkan namamu.” Gadis itu mencegah Aksa sebelum Aksa benar-benar kembali duduk ke kursi rodanya. “Bukan urusanmu,” jawab Aksa ketus membuat gadis itu menghela nafas berat.             “Maaf, tapi izinkan aku disini. Aku tidak akan mengganggumu, aku hanya akan menggambar. Aku biasa menggambar atau melukis sesuatu disini, disini begitu tenang dan damai.”               Aksa dapat mendengar gadis bernama Naura itu membuka resleting tas dan mengeluarkan beberapa benda dari dalamnya. Diam-diam Aksa mengamati yang dilakukan gadis itu lewat pendengarannya. Tak ada suara dari gadis itu kecuali suara pensil yang tengah bergesekan dengan kertas.             Cukup lama akhirnya sketsa yang di gambarnya mulai terlihat. Sketsa itu bergambar seorang anak kecil tengah menatap pada tiga orang yang berada jauh dari jangkauannya, seakan menyampaikan makna yang dalam saat anak kecil itu seakan ingin menggapai ketiganya namun tak dapat diraihnya. “Apa kau punya keluarga?” cukup lama diam akhirnya ia membuka suara, namun tak ada jawaban dari Aksa. “Ya Tuhan … Naura kau benar-benar tak bisa diam, kau berjanji tak akan mengganggu orang di sampingmu.” Ia mengetuk kepalanya dengan pensil berbicara pada dirinya sendiri namun tentu dapat didengar Aksa. Aksa mencoba bangun dan meraih kursi roda di sampingnya. Menggunakan kekuatan tangannya guna menopang tubuh bawahnya saat akan duduk ke kursi rodanya. Melihat itu, Naura reflek ingin menolong. Ia memegangi kursi roda Aksa agar tak bergeser dan membantu Aksa kembali duduk di kursi rodanya.  “Aku bisa sendiri,” kata Aksa kasar.  Setelah mengatakan itu, Aksa menghubungi Bambang memintanya segera menjemput. “Maafkan aku, tadi reflek aku ingin membantumu. Maaf jika itu membuatmu marah.” Naura kembali merasa bersalah mendapat ucapan kasar dari Aksa. Tak berselang lama Bambang datang dan tanpa menunggu segera mendorong kursi roda Aksa menuju mobil. “Sekali lagi kau membuatnya marah, Naura ....” Naura berbicara dengan dirinya sendiri, merasa kembali bersalah atas tindakannya yang disalah artikan pria yang dua kali ia temui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD