Bab 3

1584 Words
Sesampainya di taman, Aksa meminta Sherly membawanya berkeliling. Seperti rencananya sebelumnya ia ingin tahu reaksi Sherly jika ada yang menatapnya sebelah mata karena pergi bersama orang cacat sepertinya. “Di samping kanan kita ada sebuah air mancur dengan bunga yang mengelilinginya, Aksa,” suara Sherly  terdengar malas dan seakan dipaksakan. Aksa juga dapat dengan jelas mendengar suara wanita itu sedikit bergetar. “Hn,” gumam Aksa. Sebenarnya Aksa tak begitu peduli terlebih ia tak dapat melihat keindahan taman ini. Yang ia pedulikan adalah sikap Sherly setelah ini. “Hei … coba lihat itu, ada seorang gadis cantik yang mendorong kursi roda, mungkinkah itu kekasihnya? Kasihan sekali padahal ia sangat cantik tapi harus memiliki kekasih yang cacat,” suara bisikan pengunjung taman dapat didengar jelas oleh Aksa maupun Sherly.  “Sepertinya lelaki itu juga buta. Nasib gadis itu benar-benar malang, cantik tapi memiliki kekasih yang buta dan cacat.” Lagi, bisikan dua pengunjung itu yang kini melewati mereka dapat didengar dengan sempurna. Sherly menunduk malu dengan wajah merah menahan marah. Ia mencoba setenang mungkin, ia tidak ingin Aksa curiga padanya. “Jangan dengarkan mereka Aksa,” kata Sherly lugas namun sedikit bergetar di setiap katanya. “Hn,” gumam Aksa seakan tak peduli. Semakin lama, semakin banyak orang yang berbisik tentangnya yang mendorong kursi roda Aksa. Tatapan kasihan selalu tertuju pada Sherly membuatnya tak dapat lagi membendung amarahnya, ia marah dan malu. “Sepertinya ini rencana yang buruk, keluar bersama Aksa yang cacat,” batinnya.  “Aksa, sepertinya aku ingin ke toilet. Bisakah kau menungguku disini? aku akan segera kembali,” kata Sherly dan segera bergegas meninggalkan Aksa sebelum ia mengatakan 'Iya'.  Sherly sudah muak mendengar orang-orang kasihan padanya. Ia meninggalkan Aksa di bawah pohon rindang di sebelah bangku taman. “Ck, sama saja,” gumam Aksa saat Sherly benar-benar pergi meninggalkannya. Aksa mencoba menunggu, jika Sherly terlalu lama ia akan menghubungi Bambang, ajudan setianya. Hingga hampir setengah jam namun Sherly tak juga kembali. Aksa mengambil ponsel qwerty dari dalam sakunya dan hendak memencet tombol yang sudah dihafalnya sampai seseorang tanpa sengaja menyenggolnya dan menjatuhkan ponselnya. “Ah! Maaf Tuan, aku tidak sengaja,” ucap si tersangka yang menjatuhkan ponsel Aksa. “Suara seorang gadis?” batin Aksa. “Sekali lagi maaf. Ini ponsel anda.” Gadis itu segera mengambil ponsel Aksa dan memberikannya namun Aksa mengulurkan tangannya ke arah berlawanan membuat gadis itu tahu bahwa Aksa tak bisa melihat.  “Maaf Tuan,” gumam gadis itu dan meletakkan ponsel Aksa di tangannya. “Apa anda akan menghubungi seseorang?” tanyanya kemudian. Mengetahui pria di depannya tak bisa melihat gadis itu ingin menolong jikalau ia ingin menghubungi seseorang. Tanpa menjawab Aksa menekan satu tombol dan langsung terhubung dengan Bambang. Gadis itu melihatnya dan mengerti, pasti pria di depannya ini sudah mensetting ponsel agar lebih mudah saat ingin menghubungi seseorang.  “Bambang jemput aku sekarang.” Setelah mengatakan itu Aksa mematikan sambungan telepon dan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Merasakan gadis itu masih disana Aksa menoleh ke arah si gadis dengan tatapan kosong. “Kenapa masih disini?” katanya. Ia memang tak  bisa melihat tapi bisa merasakan bahwa ada seseorang di sampingnya. “Eh?” Gadis itu tersadar dari lamunannya saat menatap Aksa dengan tatapan iba dan kagum disaat bersamaan. Ia kemudian duduk di bangku taman di samping Aksa. “Aku hanya ingin istirahat disini,” ucapnya dengan menatap arah lain. Meski tatapan Aksa kosong, namun mata hitamnya membuat gadis itu sedikit terpaku. Setelahnya Aksa dapat mendengar apa yang gadis itu tengah lakukan meski ia tidak tahu apa. “Apa kau mau?” Gadis itu menyodorkan kotak makannya pada Aksa. “Ah maaf, ini hanya salad buatanku sendiri. Mungkin anda ingin mencobanya?” tawarnya.  Namun Aksa hanya diam sebagai jawaban tidak. Ia tidak akan menerima apapun dari orang asing.  Gadis itu kembali menarik kotak bekalnya saat Aksa seperti tidak mendengarnya atau mungkin sengaja tidak  mendengarnya. “Jadi … anda bersama siapa kesini? Apakah anda sendirian?” tanyanya kemudian. “Bukan urusanmu,” jawab Aksa dingin.  Mendengar jawaban pedas dan dingin membuat gadis itu terkejut. “Ma-- maaf aku hanya heran bagaimana.…” “Orang cacat sepertiku ada disini?” suara Aksa lebih dulu menyela ucapan gadis itu.             “Apa? Ti-- tidak, aku tidak bermaksud….” Gadis itu tampak menyesal dan merasa bersalah mendengar apa yang Aksa katakan. “Kalian sama saja,” ucap Aksa dingin. Mendengar ucapan pria di sebelahnya, gadis itu merasa seperti orang jahat. “Maafkan aku Tuan, aku tak bermaksud demikian,” ujarnya penuh rasa bersalah. Ia sama sekali tak berniat menyinggung perasaan Aksa, sebaliknya, ia hanya ingin berbicara dengannya karena merasa iba melihat kondisinya dan sendirian di taman. “Tuan Aksa.” Akhirnya Bambang tiba dan segera menghampiri Aksa. “Maaf membuat anda menunggu,” kata Bambang yang hendak mendorong kursi roda Aksa. “Hn, pulang,” perintah Aksa.  Mendengar perintah tuannya Bambang segera mendorong kursi rodanya meninggalkan si gadis dengan rasa bersalah yang tersimpan di dadanya. “Naura ... kau telah menyakiti perasaan seseorang,” gumam gadis itu pada dirinya sendiri dan menatap kepergian Aksa dengan perasaan bersalah. ***           Keesokan harinya Sherly datang di waktu yang masih pagi.              “Aksa, maafkan aku. Kemarin saat aku kembali kau sudah tidak ada di taman, aku sangat khawatir,” kata Sherly dengan wajah diselimuti rasa bersalah. “Hn,” jawab Aksa singkat, ia memutar kursi rodanya dan berniat meninggalkan Sherly.  Saat Sherly datang, Yasmin segera membawa Aksa menemuinya kemudian meninggalkan keduanya di ruang tamu. Dan ia sekarang tengah di dapur membuatkan minuman untuk Sherly. “Kumohon Aksa maafkan aku. Kemarin aku membeli makanan dulu untuk kita tapi saat aku kembali kau sudah tidak ada. Maaf membuatmu menunggu lama,” kata Sherly kembali dengan wajah penuh rasa bersalah namun tetap, Aksa tak bergeming. Ia sudah malas meladeni Sherly. “Pergilah,” ucap Aksa dingin. “Aksa, Sherly sudah meminta maaf, maafkanlah dia.” Yasmin yang datang dari arah dapur meminta Aksa memaafkan Sherly dan kembali memutar kursi roda Aksa agar menghadap Sherly. Semalam Sherly telah menjelaskan semua padanya melalui telepon dan ia percaya Sherly sama sekali tak berniat meninggalkan Aksa. ”Hiks ... maafkan aku Aksa, maafkan aku, Bi, seharusnya aku tak perlu membeli makanan dan membuat Aksa menunggu lama. Maaf … hiks ... hiks ….” Sherly menangis, atau lebih tepatnya pura-pura menangis  berharap Aksa bisa memaafkannya. Yasmin memeluk Sherly, ia merasa iba melihat gadis yang di matanya baik sampai menangis. “Sudahlah Sherly, bibi tidak menyalahkanmu. Lagipula Aksa baik-baik saja bukan?” ucap Yasmin dengan mengusap air mata Sherly. “Tapi sepertinya Aksa sangat marah Bi,” kata Sherly dengan raut kesedihan dan menatap Aksa penuh harap. “Tidak, Sayang, Aksa sudah memaafkanmu, bukan begitu Aksa?” Yasmin menoleh pada Aksa yang terlihat sama sekali tak peduli dengan drama di depannya. “Lagipula sebentar lagi kalian akan bertunangan. Seharusnya kau bisa lebih memaafkan calon istrimu Aksa,” ucap Yasmin dengan tersenyum lembut pada Sherly dan mengusap surai blondenya penuh sayang. Aksa seketika terkejut mendengar penuturan sang Ibu. “Apa maksud Ibu?” “Kurasa kalian cocok, Sherly juga menyukaimu Aksa. Bukankah begitu, Sherly?” tanyanya dan mendapat anggukan oleh Sherly. “Tapi aku tidak,” kataAksa  tegas dan  dingin. “Aksa, Sherly ini gadis yang baik, ia juga menyukaimu dengan tulus dan bisa menerima keadaanmu,” ujar Yasmin dengan lembut. Baginya Sherly adalah wanita yang baik dan bisa menjadi pendamping Aksa nantinya. “Terserah Ibu.” Aksa meninggalkan ibunya dan Sherly. Memutar kembali kursi rodanya dan menuju kamar. Ia tak habis pikir bagaimana ibunya bisa menyukai Sherly. *** “Bukankah kau terlalu cepat, Istriku?” Bramono mencoba mengingatkan Yasmin perihal rencananya mengadakan acara pertunangan Aksa dan Sherly. Saat ini mereka tengah bersiap ke rumah Sherly untuk membicarakan semuanya. “Bukankah lebih cepat lebih baik, Suamiku? Sherly gadis yang baik.” Yasmin meyakinkan suaminya itu untuk percaya. “Meskipun kita mengenal orang tuanya tapi kita belum terlalu mengenal sifat anaknya.” Bramono kembali mengingatkan.  “Apa maksudmu, Suamiku? Aku sudah lama mengenal Sherly saat ia masih kecil. Meski baru beberapa waktu ini kami akrab tapi aku yakin dia gadis yang baik. Dan lagi, ia bisa menerima keadaan Aksa.” Yasmin masih berpegang teguh dengan pendapatnya.  “Tapi kita tidak pernah tahu jika ia memiliki niat yang lain,” kata Bramono. Ia belum bisa sepenuhnya percaya pada Sherly. “Lalu bagaimana dengan Aksa sendiri? Apa ia setuju?” tanyanya. “Percayalah padaku, Suamiku. Mungkin saat ini Aksa belum memiliki perasaan padanya, tapi cinta bisa datang seiring berjalannya waktu.” Yasmin tampaknya sangat bersemangat, berharap Aksa dan Sherly bisa segera menikah. Sementara saat ini, Aksa tengah menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Ia memainkan ponsel di tangannya sambil menunggu Bambang yang beberapa waktu telah ia hubungi. “Tuan Aksa.” Bambang datang dan segera menghampiri Aksa. “Apa ayah dan ibu sudah pergi?” tanyanya tanpa menoleh pada Bambang yang kini berdiri di belakangnya.             “Ya, tuan dan nyonya telah berangkat setengah jam yang lalu,” jawab Bambang dengan menunduk hormat.              “Kita berangkat,” perintah Aksa dan dengan segera Bambang mendorong kursi roda Aksa berangkat ke tempat tujuan.             Hampir satu jam dalam perjalanan kini Aksa telah berada di depan sebuah klinik. Bambang mendorong kursi roda Aksa sesuai perintah. Selama ini hanya Bambang yang tahu Aksa menjalani terapi, ayah dan ibunya sama sekali tidak tahu apapun tentang hal ini. Aksa sengaja merahasiakannya dari ayah dan ibunya, ia tidak ingin orang tuanya itu berharap lebih karena Aksa sendiri belum yakin 100 persen ia bisa sembuh menggunakan metode terapi ini.             “Aku bisa menghubungi temanku dari pasar gelap,” ujar seorang dokter bername tag Indra Labib. “Sudah ku katakan, aku tidak ingin memiliki mata dari jalur tidak sehat,” ucap Aksa tegas. Saat ini ia telah bertemu dengan dokter yang menangani terapinya.             “Ya kau benar, kita tidak tahu riwayat orang-orang itu dan bagaimana mereka mendapatkannya.” Dokter itu membenarkan letak kaca matanya dan menatap Aksa dengan serius. “Lagipula harus ada pemeriksaan terlebih dahulu dengan pendonor mengenai cocok atau tidaknya bukan?” ujar Aksa memperingatkan. “Tentu saja, jadi … apa sudah ada perubahan?” Dokter itu melambaikan tangan di depan wajah Aksa. Aksa menggeleng dan menutup sebelah matanya dengan tangan. “Masih sangat buram,” kata Aksa.             “Sudah hampir enam bulan kau melakukan terapi tapi belum ada kemajuan yang signifikan, apa kau yakin tetap ingin menjalani terapi ini? Meskipun aku yang menanganimu tapi kesembuhan dan kepuasan pasienku adalah yang paling utama,” kata dokter Indra yang kini berdiri dari duduknya dan mempersiapkan alat terapi untuk Aksa.               “Tidak apa, aku masih ingin mencoba sekaligus menunggu,” ucap Aksa penuh keyakinan.             Awalnya penglihatan Aksa benar-benar gelap, namun setelah menjalani terapi ia mulai bisa mendapatkan sedikit cahaya walau sangat-sangat buram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD