Bukan Batu Karang

1480 Words
Aku bernafas lega saat melihat istriku sedang berdiri menghadap langit di pintu dapur. Langit memang nampak cerah malam ini. Bintang berkilauan tanpa terhalang awan sedikit pun. Sungguh, jika aku boleh jujur, selama kebersamaanku dengan Indah, baru kali ini aku melihat istriku nampak sangat cantik. Anggun dan penuh pesona. Memang, usia Indah masih sangat muda. Bulan depan, Indah menginjak usia ke 22 tahun. Dan hanya menunggu satu tahun lagi, Indah akan selesai merampungkan studi S1-nya. "Sayang, kukira kamu di mana," ujarku menegurnya. Ia tak bergeming. Masih anteng menatap langit yang penuh bintang. Lima menit berlalu, Indah masih diam. Entahlah, aku merasa dia sedang berusaha berdamai dengan keadaan. Seperti telah terjadi pergolakan dalam jiwanya, dan berusaha keluar dari semua itu sendirian. Kubiarkan dia tetap dalam ketenangannya. "Langit nampak sangat indah malam ini," ucapnya tiba-tiba, memecah keheningan di antara kami. "Ya, dan malam semakin larut. Apa kamu tidak ngantuk?" Indah menggeliat pelan, lalu menguap. Bibirnya membentuk senyuman yang selalu menenangkan jiwaku. Mengobati dahaga jiwaku akan cintanya, bak oase di padang pasir yang tandus. "Aku ngantuk, Mas." Kami berjalan beriringan menuju kamar. "Kenapa jilbabmu tidak dilepas?" Ya, tak biasanya. Dia memang memakai jilbab lagi saat keluar dapur tadi, dan biasanya saat di kamar, dia akan menanggalkan jilbabnya. Memakai piyama karakter kesukaannya yang nampak pas pada tubuh mungilnya. "Malam ini terlalu dingin. Jadi aku gak mau lepas jilbabku." Aku hanya mengangkat bahu, "jika itu membuatmu nyaman, tak apa." "Mas, gak terganggu kan?" "Ah, ya. Tentu saja tidak." Aku meraih pinggangnya dan membawanya dalam pelukan. Jujur, sebenarnya aku ingin b******a dengannya malam ini. Tapi entah kenapa, aku merasa Indah seperti membuat jarak di antara kami. Membuatku tak berani meminta hakku padanya. Selang beberapa menit, nafasnya mulai teratur. Mungkin dia sudah tidur. Dan kuputuskan untuk menyusulnya ke alam mimpi. *** Indah POV : Setelah memastikan dia tertidur pulas, dengan gerakan pelan, aku beringsut keluar dari kamar. Melihatnya tidur dengan tenang, membuat hatiku tersayat. Ya, aku wanita normal. Siapa pun yang menjadi aku pasti akan merasakan luka dan amarah. Sesak, dan seperti tanpa ujung. Layaknya anak manusia yang kehilangan oksigen. Mundur salah, maju pun membuat gundah. Ya, sebelum aku benar-benar mengizinkan Ayyas menikah, terlebih dahulu aku mencari tahu tentang Kinansya itu. Bahkan aku menghubunginya tanpa sepengetahuan Ayyas. Kenyataan yang tadi sore membuatku terpukul adalah bahwa Kinan memang pernah tidur dengan suamiku. Bahkan jauh sebelum Ayyas mengenalku. Ternyata mereka teman semasa SMA. Pernah melakukan one night stand saat perpisahan kelas dua belas. Lalu mereka berpisah. Hingga Kinan menjadi pengusaha dan Ayyas telah berstatus sebagai suamiku. Hal yang paling membuatku sakit adalah kebohongan Ayyas bahwa dia tidak pernah berhubungan dengan Kinan. Hanya sebatas rekan kerja. Itu saja yang selalu ia katakan saat kutanya mengenai Kinan. Seharusnya ia jujur bahwa mereka dulu pernah menjalin hubungan. Yah, setidaknya dengan kejujuran, lukaku tak akan bertambah parah. Kenyataan pahit macam apa ini? Tiba-tiba saja suami yang sangat kucintai, punya anak dari wanita lain tanpa sepengetahuanku. Ya Tuhan, meski aku berusaha menguatkan diri, tetap saja aku hanya manusia biasa. Aku juga bisa terluka. Aku mengambil wudlu dan menggelar sajadah. Kuizinkan air mataku mengalir deras malam ini. Biarlah, malam ini menjadi saksi bahwa aku, Indah Suci, tak sekuat batu karang. Dan aku yakinkan diriku, hanya malam ini kuizinkan air mata ini keluar. Selanjutnya, aku memohon pada Dzat Yang Menguasai jiwaku, agar aku diberi kekuatan lebih untuk menghadapi hari esok dan seterusnya. Dua rakaat pun kulakukan dengan derai air mata yang tak kunjung berhenti. Aku tergugu dalam sujud panjangku. Tuhan, jika ini baik bagi semuanya, maka kuizinkan Ayyas menduakanku. Rela berbagi kasih dan cintanya dengan wanita lain yang sedang mengandung buah hati mereka. Tangisku pilu, namun suaranya lenyap tertelan sunyinya malam. Hingga mataku lelah dan mulai terlelap. *** Riuh suara hadirin mengucap syukur terdengar bersahutan saat ijab kobul telah selesai dilaksanakan. Ya, hari ini Ayyas resmi menikah dengan Kinan. Dihadiri oleh sebagian keluarga besar Ayyas dan keluarga Kinan. Bahkan Indah juga nampak hadir menyaksikan ijab kabul pernikahan suaminya. Kinan tampil sangat cantik, gaun putihnya nampak pas dengan kulitnya yang kuning langsat. Bibirnya juga tak berhenti tersenyum. Kebahagiaan sangat kentara dari sorot matanya yang dihias dengan bulu mata yang lentik. Namun, yang menjadi pusat perhatian semua orang bukanlah Kinan, tapi wanita berjubah ungu muda senada dengan kerudung yang dia kenakan. Wanita itu duduk menunduk di antara para hadirin yang hadir. Dia mengenakan cadar di wajahnya. Sorot matanya sangat teduh. Meski wajahnya tertutup kain, tapi sorot mata wanita itu jelas tak bisa menyembunyikan kecantikan di balik kain penutup wajahnya. Ya, dia Indah Suci. Istri pertama Ayyas. Demi menjaga perasaan semua orang, Indah memilih untuk memakai cadar. Ia tidak munafik, saat ijab kabul itu terucap lantang dari mulut suaminya, hatinya tersayat. Tapi dia hanya punya dua pilihan. Menentang dengan konsekuensi rumah tangganya hancur, atau menerima, rumah tangganya terselamatkan walau hatinya tercabik. Dan dia memilih opsi kedua. Memilih menerima. Ya, cerai adalah perkara halal yang dibenci Tuhan. Yang dia butuhkan saat ini adalah kekuatan. Ya, kekuatan hatinya untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Dan Indah sangat sadar bahwa Ayyas adalah pria normal. Ayolah, sebesar apapun kesetiaan pria, jauh dilubuk hati mereka, jika ada kesempatan, hasrat mendua itu pasti ada. Demikian juga dengan Ayyas. Meski awalnya pria itu menolak menikahi Kinan, tapi saat ijab telah terucap, Ayyas malah tampak sangat bahagia. Wajahnya lebih bercahaya. Bahkan Ayyas tak mencari dirinya yang tertunduk pilu di balik cadar. Melihat kondisi seperti ini, Indah memilih pulang lebih dulu. Biarlah, Ayyas dan Kinan menikmati kebersamaan mereka tanpa terganggu hadirnya Indah di antara mereka. "Dah, kamu mau kemana?" Indah menoleh ke sumber suara. Halwa, sahabat baiknya yang dia undang dalam acara ini. Ya, Indah butuh Halwa sebagai penguat. Dia tak mungkin terlihat rapuh di hari bahagia suaminya bukan? Jadi dia ajak Halwa untuk menjadi teman berbagi. "Kita pulang, acaranya sudah selesai." Halwa menghela nafas, "kamu gak apa-apa kan?" "Aku gak baik-baik saja, Wa." "Em, gak pamit sama Ayyas?" "Tidak perlu. Aku takut nanti malah bikin mereka canggung." Halwa menepuk pundak Indah. Entah terbuat dari apa hati sahabatnya ini, sampai mau datang ke pernikahan kedua suaminya. Kalau Halwa sih, sudah pasti mending pilih pisah. Udah ketahuan selingkuh, sampai hamil pula, mana punya ayah yang kaya raya begitu, buat apa mempertahankan Ayyas yang jelas-jelas berkhianat. "Ya sudah. Langsung pulang?" "Boleh gak, aku nginep di apartementmu?" "Apa? Ayyas tahu?" Indah menghela nafas untuk kesekian kalinya. Seakan faham apa yang dirasakan Indah, Halwa langsung mengiyakan, "baiklah, kita ke apartemenku." Indah meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Ayyas. Mas aku nginep di rumah Halwa ya, mau mengerjakan tugas. Selama Halwa menyetir mobil, Indah menunggu jawaban dari Ayyas. Dia juga tahu kalau Halwa berkali-kali melirik dirinya. Sampai sepuluh menit berlalu, mereka sampai ke apartemen Halwa. Indah tersenyum kecut. Bodoh, apa yang dia harapkan dari orang yang sedang bermalam pertama? Pesan itu masih centang satu. Menandakan mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu. "Dah, kamu mau makan?" "Aku gak lapar." "Jangan menyiksa diri, Indah. Kamu harus makan. Bagaimana pun, ini pilihan kamu kan?" Saat Halwa berucap seperti itu, tumpahlah semua air mata yang Indah tahan sejak satu jam yang lalu. Halwa menghela nafas, diraihnya kepala Indah. Membiarkan sahabatnya menangis dalam pelukan. "Wa, aku harap, hiks, hanya kamu yang tahu aku nangis kayak gini." Halwa mengangguk, "ya, tapi kamu jangan lemah gini dong, buktikan kamu wanita kuat, ingat Indah, di sini kamu istri pertama. Jangan kalah sama istri kedua. Apalagi Kinan menikahi suamimu dengan paksaan." "Sudah, jangan dibahas, aku udah rela kok, hiks." "Tapi kamu harus makan. Aku gak mau kamu sakit, oke?" Indah akhirnya menurut. Dia makan walau hanya sedikit. "Dengar indah, aku tahu kamu gadis kuat. Tapi kamu juga gak sekuat batu karang yang tak makan kan?" Indah hanya mengulas senyum sambil berusaha menelan nasi yang terasa seret di tenggorokan. *** Bohong kalau ada yang bilang, pria setia tak mau mendua. Tetap saja, jika ada ijin dari istri pertama, pasti mau saja menikah lagi. Ayyas hanya berharap Indah memang baik-baik saja seperti apa yang gadis itu ucapkan. Lagi pula, anak di kandungan Kinan memang butuh ayah. Ayyas memang masih ingat kejadian dulu. Saat dirinya dan Kinan masih berseragam putih abu, mereka merayakan perpisahan dengan hal gila. One night stand. Entah setan macam apa yang mendorong mereka melakukan semua itu. Kinan juga nampaknya tak merasa terganggu. Hingga beberapa tahun kemudian, Ayyas bertemu Indah dalam perjodohan. Ah, gadis itu. Ayyas masih memikirkan Indah bahkan saat Kinan sedang membuka aurat di depan matanya. "Mas, gak apa-apa ya, aku ganti baju di sini. Kamu kan suamiku." Ayyas mengangguk pelan. Ingatannya melayang saat dirinya bermalam pertama bersama Indah. Gadis itu sangat pemalu. Bahkan saat akan berganti pakaian saja, Indah melakukannya di kamar mandi. Bibir Ayyas melengkungan senyum mengingat itu semua. "Mas, kenapa senyum? Lihat, bajuku bagus tidak?" "Apa? Ah iya. Bagus sekali." Ayyas mengusap hidungnya. Saat melihat baju Kinan, Ayyas menyadari sesuatu. "Kamu... dapat darimana baju itu?" "Dari Indah. Dapat dua lho, Mas. Makasih ya, kata Indah dia sempat nanya sama kamu. Baju yang bagus buat aku yang mana, kamu bilang dua-duanya. Ya udah dia kasih ke aku. Makasih sekali lagi, Mas. Aku seneng banget." Kinan memeluk Ayyas dan menghujaninya dengan ciuman. Ayyas mengingat percakapan terakhir dengan istrinya. Sedikit menjauh dari wajah Kinan, keningnya berkerut. "Apa kamu bilang? Indah bilang gitu? Apa artinya dia juga menginginkan satu dari baju itu?" "Iya, tentu saja. Bahannya bagus, Mas. Harganya juga mahal. Tapi Indah bilang kata kamu baju ini dua-duanya bagus buatku." Ayyas diam. Rasa bersalah menelusuk dalam hatinya. Indah bahkan tak dia cari saat resepsi tadi. Di mana istrinya itu? Ayyas terlalu lebur dengan suasana pengantin baru yang membuainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD