Keluarga

1078 Words
Wijaya hanya diam ketika Vita berbicara demikian karena bukan suatu hal yang perlu di debatkan dan mereka berdua sepakat untuk menjalani pernikahan seperti pasangan pada umumnya entah itu pernikahan bisnis sekali pun, satu hal yang membuat Wijaya kagum dengan Vita adalah keputusannya untuk membuka usaha sendiri. Usaha yang di buka dengan Mira hanya usaha kecil awalnya yaitu usaha katering dan saat ini telah berkembang dengan membuka warung makan di salah satu tempat dengan pelanggan yang bisa dibilang tidak pernah berhenti, di samping itu Vita juga mempunyai sanggar kecil di sebelah rumah Mira di mana berisi pakaian traditional untuk disewakan jika ada yang menikah atau acara apa pun. Wijaya banyak belajar dari Vita tentang itu semua bahkan Regan dan Austin yang sudah sukses pun belajar pada Vita, terkadang Wijaya merasa malu karena Vita yang begitu punya kelebihan mau dengan dirinya dan menerima perjodohan ini sedangkan bagi Wijaya di mana dia bisa dapat yang melebihi Wijaya. Orang tua mereka berdua dari awal ingin menggabungkan perusahaan dan beberapa kerja sama yang selama ini terjadi adalah usaha mereka, menikahkan anak mereka adalah tujuan akhirnya. Wijaya tahu jika kedua orang tua mereka menginginkan dirinya menangani perusahaan tersebut suatu saat, Vita sendiri selain mempunyai kedua usaha tersebut juga bekerja di tempat orang tuanya. Mereka berdua sering bertemu ketika ada rapat satu sama lain bahkan saat ini sudah banyak yang tahu jika mereka akan menikah. “Besok aku ada rapat sama Bobby,” ucap Vita ketika mobil Wijaya berhenti di depan rumah “bisa kamu gantikan?.” Wijaya mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Vita “Bobby si tua bangka itu?,” Vita mengangguk “dia terobsesi denganmu meski tahu kita akan menikah.” Vita tersenyum “maka dari itu kamu yang gantikan,” memberikan tatapan memohon “meski kita belum resmi tapi setidaknya mereka semua tahu bahwa suatu saat perusahaan ini kamu yang pegang alih.” Wijaya menatap Vita datar “proyek besar ini dan kamu yakin aku yang gantikan?,” Vita mengangguk mantap membuat Wijaya hanya bisa pasrah “aku akan ke Yuta.” Vita mengerutkan keningnya “untuk apa? kamu tahu kan jika sudah di sana mereka akan minum tapi tersisa Regan dan Mira juga Yuta jadi tidak mungkin mereka sampai mabuk.” Wijaya tersenyum “Austin sudah pulang jadi otomatis gak ada acara mabuk – mabukan.” Austin dahulu bukan peminum karena Hera tidak menyukai pria perokok dan peminum jadi semua pria jika di depan Hera akan bersikap baik, kecuali Wijaya yang memang tidak merokok dan minum. Semua berubah ketika Hera meninggal dunia kehidupan Austin sangat berbeda dari sebelumnya, Mira dan Vita sudah berusaha untuk membuat Austin melupakan Hera tapi tetap tidak bisa. “Apa kamu akan turun berpamitan pada papa?,” Wijaya menggelengkan kepala “baik hati – hati dan jangan lupa untuk bertemu Bobby besok, mengenai jadwal aku sudah berikan pada Wira kemarin.” Wijaya menatap Vita yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah, perlahan menghembuskan nafas panjang dalam pikiran Wijaya berputar bagaimana rumah tangga mereka nantinya. Wijaya hanya bisa berdoa semoga rumah tangga mereka baik – baik saja karena dirinya hanya ingin pernikahan sekali dalam seumur hidupnya, jika pun dirinya menikah lagi berarti harus dengan persetujuan dari Vita dan itu tidak mungkin terjadi. Jalanan yang sepi karena memang sedikit warga yang memiliki kendaraan, mobil seperti dirinya miliki hanya bisa dimiliki oleh orang yang mempunyai uang dan Wijaya beruntung lahir dari keluarga yang berkecukupan tapi sayangnya pernikahan yang akan dia jalani adalah tanpa cinta dan harus bertahan seumur hidup. Kondisi rumah yang sepi dan hanya terdapat pembantu rumah membuat Wijaya hanya di asuh oleh pembantu bukan orang tua, meski sang ibu kerap meluangkan waktu tetap saja akan berasa kurang jika tidak sepenuhnya di rumah. Wijaya menatap tidak percaya atas kehadiran orang tuanya di meja makan, Eve sang ibu menatap Wijaya dengan tersenyum dan meminta bergabung bersama meski ragu dirinya tetap melangkah ke arah orang tuanya. Eve langsung mencium pipi Wijaya ketika sudah berada di dekatnya, seperti ibu pada umumnya yang langsung menata makanan di piring setelahnya diletakkan di depan dirinya. “Habis sama Vita?,” Wijaya mengangguk “pernikahan kalian tinggal tunggu waktu dan kamu gak ada niat untuk berubah bukan?,” Felix sang ayah menatap Wijaya tajam yang langsung dijawab dengan gelengan kepala yakin membuat Felix mengangguk sambil tersenyum “buat Vita bahagia jangan menderita, sekarang makan.” Wijaya hanya mengangguk mendengar perkataan ayahnya, dari kecil dirinya selalu mengidolakan ayahnya dan saat ini keputusan untuk masa depannya sudah ditentukan bahkan tidak bisa dicegah sama sekali. Beberapa bulan lagi pernikahan mereka akan terlaksana baik Wijaya maupun Vita tidak terlibat dalam rencana pernikahan atau lebih tepatnya Wijaya yang tidak terlibat, semua urusan pernikahan sudah ditangani Eve dan Melani ibu dari Vita. Memiliki usaha Wedding Organizer sendiri bukan hal susah untuk mendapatkan pelayanan utama dan itu yang terjadi dalam pernikahan mereka berdua. “Ayah dengar kamu akan bertemu dengan Bobby?,” Wijaya menatap Felix dan mengangguk “ayah beri tahu kelemahan dari Bobby.” Wijaya mendengarkan kelemahan Bobby dari sang ayah dan segera paham apa yang harus dilakukan besok ketika bertemu dengan pria tersebut. Felix berdiri setelah menjelaskan semuanya dan menepuk bahu Wijaya singkat agar bisa melaksanakan apa yang dikatakan baru saja. Wijaya menatap Eve yang masih setia duduk menatap dirinya membuat Wijaya menatap sang ibu dengan tanda tanya. “Tidak berasa kamu akan menikah, perasaan baru kemarin kamu sekecil ini,” sambil menggerakkan tangannya “Vita bilang sama ibu kalau kalian menikah akan menyerahkan perusahaan padamu.” Wijaya mengangguk “padahal aku masih perlu banyak bimbingan dari ayah.” Eve tersenyum dengan mendekati Wijaya “anak ibu hebat dan ibu yakin jika kamu bisa melebihi ayah atau Jonathan,” menggenggam tangan Wijaya “naluri orang tua itu gak pernah salah dan alasan Vita menyerahkan padamu agar bisa menjadi istri sepenuhnya karena Vita bilang ingin punya anak banyak dan tentu kami senang mendengarnya karena kalian berdua sama – sama anak tunggal.” Wijaya menatap Eve dengan menggenggam tangannya “itu juga yang dibicarakan Vita karena ingin segera memiliki anak maka dia memutuskan untuk berhenti padahal aku gak masalah jika tetap bekerja, Vita bilang akan membantu diriku dari belakang dan katanya itu tugas istri.” Eve tersenyum “memang seperti ibu yang selalu mendukung apa yang ayah lakukan.” “Dan kamu sudah mengganggu waktu kita berdua dengan memonopoli ibumu, haruskah aku berebutan dengan putra sendiri?,” Wijaya menatap Felix yang seolah cemburu dengan kedekatan dirinya dan Eve “ini pula alasan ayah ingin kamu segera menikah agar tidak mengambil waktu berduaan kami.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD