Prolog
Untuk membuktikan pada Revan jika aku bukan wanita malas, aku menerima tawaran pekerjaan dari kakak sepupuku di Bali. Dia pikir, aku akan menyerah begitu saja atas apa yang sudah dia ucapkan padaku? Aku bukan wanita lemah! Aku kuat. Aku akan buktikan padanya jika aku wanita pekerja keras dan tidak malas. Aku hanya tidak bekerja satu tahun karena masa kontrak kerja selesai dan aku belum mendapatkan ganti pekerjaan sampai saat ini. Tapi kali ini aku tidak akan membuang waktu untuk menerima pekerjaan dari Kak Sabrina.
Langkah kuayun untuk keluar dari kapal yang kunaiki. Aku sengaja naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Mas ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Sebenarnya, aku bisa saja naik pesawat karena Kak Sabrina menawari, tapi aku menolak karena ingin menikmati perjalanan melalui laut. Aku menyukai trip kecuali menaiki kapal kecil atau sampan karena takut dengan kedalaman air, karena aku tidak begitu bisa berenang. Salah satu alasanku setuju dengan tawaran Kak Sabrina adalah keindahan Bali. Sejak dulu, aku penasaran dengan Pulau Dewata ini, dan aku beruntung karena kali ini mendapat kesempatan ke pulau ini. Pulau ini terkenal dengan keindahan pantai dan alamnya eksotis.
Pandangan kuedarkan ketika tiba di tempat penjemputan. Aku kembali membuka pesan dari Kak Sabrina. Di parkiran belum ada mobil warna silver atau laki-laki memakai jaket warna coklat. Apa dia belum datang? Lebih baik aku kembali bertanya pada Kak Sabrina tentang kepastian orang yang menjemputku.
Matahari terasa sangat terik. Kulitku bisa gosong jika terus berdiri lama di sini. Sudah hampir satu jam aku menunggu jemputan, tapi orang itu masih belum datang. Benar-benar mengesalkan. Siapa sih Damian itu? Apa dia sengaja melambat-lambat? Atau dia mengalami masalah?
Pandanganku tertuju pada bule laki-laki mengenakan kaus putih dan celana levis hitam berjalan mendekatiku. Aku silau dengan pantulan cahaya dari kacamatanya. Tatapanku beralih ke arah lain untuk menghindari silau. Mendadak aku jadi takut ketika bule itu berada di dekatku. Tak ada siapapun yang kukenal di tempat ini. Aku hanya menunggu orang yang menjemputku. Hati-hati.
“Apa kamu Aisyah?” tanya bule yang berdiri di dekatku.
Dia tahu namaku? Dari mana? Apa dia orang suruhan Kak Sabrina untuk menjemputku?
“Hei. Aku berbicara denganmu.” Dia menegurku.
Tatapan kulempar ke arahnya. “Kamu siapa?” tanyaku acuh.
“Ikut denganku.” Dia membalikkan tubuh, lalu berjalan meninggalkanku.
Aku masih bergeming. “Aku nggak kenal kamu. Kenapa aku harus ikut kamu? Apa jangan-jangan kamu penculik?” tuduhku tanpa menatapnya. Waspada.
Dia menghentikan langkah, membalikkan tubuh, masih di tempatnya. Aku pun memasang wajah jutek padanya. Tak mau terbujuk oleh seseorang di sini. Aku harus hati-hati.
“Aku menjemput Aisyah, sepupu Sabrina. Apa Sabrina tidak menyebutkan namaku?” Dia kembali bersuara.
“Aku ingin lihat KTP kamu?” Aku butuh bukti darinya.
Kak Sabrina bilang jika akan ada orang yang menjemputku memakai jaket warna coklat, tapi kenapa dia memakai kaus warna putih? Aku jadi curiga. Apa aku salah?
“Itu privasiku. Jika kamu tak mau kujemput, maka tunggulah Sabrina yang akan menjemputmu, mungkin nanti malam.” Dia membalikkan tubuh setelah mengatakan hal itu, lalu berjalan meninggalkanku.
Aku menarik gagang koper, lalu berjalan mengikutinya. “Hei ...!!!” seruku.
Tak ada jawaban. Dia masih berjalan meninggalkan aku.
“Aku hanya berhati-hati. Aku masih baru di sini, jadi wajar dong kalau aku minta identitas kamu buat keamanan. Apa aku salah?” lanjutku sambil mengikutinya.
“Aw ...” Aku terkejut ketika menabarak tubuh laki-laki itu. Dia berhenti tanpa aba-aba sehingga aku menabrak punggungnya.
“Jika aku sudah menyebut nama Sabrina, seharusnya kamu berpikir, aku orang yang menjemputmu.” Dia tak menoleh ke arahku.
“Iya, maaf. Lagian kamu nggak bilang kalau kamu Damian,” gerutuku.
Lagi-lagi dia tak membalas.
“Bisa tolong bantuin aku?” Aku meminta bantuan.
“Kamu punya tangan, dan aku rasa kamu masih kuat membawa barang-barangmu sendiri.” Dia menolak, masih berjalan meningalkan aku.
Napas kuhela. Dia benar-benar tidak punya rasa peduli. Sudah terlambat menjemputku, tidak mau membantu, dan sekarang meninggalkan aku yang sedang kesusahan membawa koper. Dia benar-benar mengesalkan. Apes banget rasanya dijemput dia. Mana perutku lapar.
“Bisakah berjalan lebih cepat?” Dia protes.
“Kamu ini aneh! Sudah nggak mau bantu, malah suruh aku cepat-cepat jalan! Seharusnya kamu ngerti dan bantuin aku! Nggak peka banget jadi cowok! Malah marah-marah!” Aku menyindirnya dengan nada kesal. Laki-laki seperti dia harus diberi pelajaran.
Langkahnya kembali terhenti, membalikkan tubuh, lalu berjalan ke arahku. Dia meraih koperku dan menariknya. Aku tersenyum puas. Ternyata ucapanku berhasil membuatnya tersinggung.
Aku berdiri tak jauh dari mobil warna hitam. Laki-laki itu memasukkan koperku ke dalam mobil itu. Bukankah yang menjemputku memakai mobil warna silver, lalu kenapa mobil hitam yang sekarang menjemputku?
“Cepat masuk.” Dia menginstruksi.
“Mobil silvernya mana?” tanyaku sebelum masuk.
“Tinggal masuk saja jangan banyak protes.” Dia masuk ke dalam mobil.
Tubuhku bergeming. Aku masih ragu untuk masuk ke dalam mobil itu. Masih takut dan curiga jika dia bukan yang menjemputku. Aku sudah bertanya pada Kak Sabrina, tapi dia belum membalas pesanku. Perhatianku teralih ketika mendengar klakson mobil. Aku bergegas masuk ke dalam mobil itu setelah memaksa yakin dalam hati. Semoga dia benar yang menjemputku. Rasa takut masih menghantuiku mengenai bule itu. Aku hanya diam tanpa ingin bertanya atau membuka obrolan terlebih dahulu.
Tangan kugerakkan menyentuh perut karena terasa lapar. Cacing di perutku seakan memberontak ingin cepat dikasih makan. Tadi pagi, aku hanya makan roti dan air putih. Biasanya, jam segini aku sudah makan siang, tapi kali ini aku belum makan sama sekali.
“Bisa nggak kita berhenti dulu kalau ada orang jualan makanan? Aku laper. Tadi pagi aku cuma makan roti dan air putih,” Aku akhirnya angkat suara. Ini darurat. Aku tidak mau menunda lapar. Itu tidak baik untuk perutku.
Dia tak merespon ucapanku. Tatapannya masih fokus pada kemudi tanpa peduli pada kondisiku. Aku harus sabar menahan rasa lapar sampai tiba di rumah Kak Sabrina.
Mobil yang kunaiki tiba-tiba berjalan pelan. Aku menatap ke arah luar kaca. Bangunan di luar sana terlihat seperti restoran. Kenapa dia mengajak aku ke sini?
“Kenapa belum turun? Apa kamu tidak mau makan?” tanyanya.
Perhatianku teralih. Aku bergegas turun ketika dia menutup pintu mobil. Tatapanku mengitari restoran yang ada di hadapanku saat ini. Aku mengikuti langkah kaki laki-laki itu. Sudah kupastikan ini restoran mahal. Kenapa dia mengajakku ke sini? Aku harus cari makanan yang paling murah.
Kami duduk di kursi kosong. Suasana restoran ini cukup sepi. Pelayan menghampiri kami, memberikan buku menu pada kami. Aku langsung mencari menu makanan yang sesuai dengan kondisi keuanganku saat ini. Dugaanku benar. Ini restoran mahal. Menu makanan paling murah satu porsi limapuluh ribu. Itu hanya paket nasi, bebek goreng, sambal, dan sayuran. Tapi tidak apa-apa. Uangku masih cukup untuk memesan empat porsi.
Aku memberikan buku menu pada pelayan setelah mengajukan pesanan. Sekilas aku menatap laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Aku tertegun. Dia terlihat tampan jika tanpa. Ah, tetap saja walaupun dia tampan, tapi perlakuannya buruk. Ketampanannya kalah dengan sifatnya yang kurang sopan. Aku masih belum mengetahui identitas laki-laki itu. Entah dia suruhan Damian, atau dia Damian sendiri, aku tidak tahu.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya makanan pesananku tiba. Aku segera menyantap makanan yang kupesan karena sudah tak kuasa menahan lapar. Laki-laki itu tidak memesan makanan, tapi hanya memesan minuman. Dia hanya menungguiku yang sedang makan sambil bermain ponsel. Aku harus segera menghabiskan makanan ini agar dia tidak menungguku terlalu lama.
Deritaku akhirnya selesai. Perutku sudah terisi dengan makanan agar cacing di dalam sana tidak demo lagi. “Aku sudah selesai makan. Aku mau ke kasir,” kataku sambil beranjak dari kursi.
“Tidak perlu. Aku yang akan membayar makananmu.”
Langkahku terhenti. “Aku masih bisa bayar sendiri.” Aku menolak.
Dia beranjak dari kursi. “Aku yang menjemputmu, jadi aku bertanggungjawab atas apa yang terjadi selama dalam perjalanan menuju rumah,” balasnya sambil berjalan mendahuluiku.
Biarlah. Dia benar. Dan lagipula, aku beruntung karena uangku tidak keluar. Tahu begitu, lebih baik tadi aku pesan makanan yang lebih mahal.
Aku masuk ke dalam mobil setelah perutku terisi. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di rumah jika tadi masih menahan sakit perut karena lapar. Setidaknya, aku tak khawatir masalah makan karena perutku sudah kenyang.