3. Selamat Ulang Tahun Om Damian!

3174 Words
Berkas yang kupelajari dari beberapa hari yang lalu belum selesai sampai sekarang. Damian tidak mengizinkan aku untuk membawa tugas itu ke rumah. Jika saja dia mengizinkan aku untuk mengerjakan tugas itu di rumah, maka akan lebih cepat selesai dan semua laporan kantor pun bisa dia ketahui. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya sehingga melarangku untuk membawa tugas ke rumah. Sekarang, lihatlah pekerjaan yang kembali menunmpuk karenanya. Berkas-berkas baru datang di atas mejaku untuk kukoreksi. Aku pusing dengan semua ini. Belum lagi berkas baru yang harus kukerjakan untuk rapat sebentar lagi. Kenapa Damian tidak mau mengerti dengan maksud dan tujuanku? Padahal ini demi kebaikan kantornya. Aku terkesiap ketika deringan telepon menggema. Kuraih benda itu dan menempelkannya di telinga. “Apa berkas untuk rapat sudah selesai? Apa kamu sudah cek ruangan rapat?” tanyanya. Mulai keluar nada diktenya. Mata kujulingkan. “Sudah, Pak.” Aku membalasnya. “Bawa berkas itu ke mari, aku ingin melihatnya.” Damian menyuruhku. Aku menghela napas. “Iya,” balasku singkat. Malas meladeninya. Jika saja, jika saja, jika saja. Ah, sudahlah. Aku malas mengulang-ulang lagi. Bosan rasanya membahas dia. Tubuhku beranjak dari tempat duduk, meraih map berisi berkas untuk rapat, lalu membawanya menuju ruangan Damian. Kuketuk pintu ruangannya ketika tiba di depan ruangan atasanku yang dingin. “Masuk!” Damian berseru. Patuh. Aku pun masuk. Langkah kuayun mendekati meja, lalu kuletakkan map itu di atas meja. “Ini berkasnya.” Aku bersuara. Damian meraih berkas itu, lalu meneliti isinya. Dia menutup map itu. “Kamu ke ruang rapat sekarang, nanti aku menyusul,” katanya. Siapa juga yang mau ke ruang rapat denganmu? Lebih bagus aku ke sana sendiri. Aku mengangguk, berbalik badan, lalu pergi meninggalkan ruangan ini. Syukurlah jika dia tidak kembali protes seperti hari sebelumnya ketika aku salah membuat laporan. Semoga saja seperti ini terus. Semenjak kerja di sini, aku jadi sering terlambat makan. Bukan karena tidak mau makan, tapi karena tugas memaksaku untuk menunda makan. Seperti siang ini. Aku belum makan siang karena harus mengerjakan tugas dadakan. “Aisyah.” Terdengar seseorang memanggilku. Aku menoleh. Terlihat Bili menghampiriku. Dia teman baruku di kantor ini. Aku senang bisa berteman dengannya. “Hai, Kak.” Aku membalasnya dengan sapaan. “Bagaimana?” tanyanya. “Bagaimana apanya?” tanyaku balik. “Berkas presentasi rapat?” Bili menatapku sekilas. Kami masih berjalan menuju ruang rapat. “Aman. Aku harus lebih teliti lagi. Om Damian nggak komentar apa-apa. Dia malah menyuruh aku ke sini duluan. Semoga saja seperti ini terus selanjutnya. Terima kasih untuk bantuannya.” Aku tersenyum. Dengar dari Bili, sekretaris Damian tidak pernah bekerja lama di sini. Tidak sampai satu bulan mereka keluar karena sifat otoriter Damian pada sekretarisnya. Banyak tugas yang dia berikan sehingga sekretarisnya merasa keberatan dengan pekerjaan yang dia diberikan. Damian terkenal tegas. Dia tidak segan untuk memecat jika ada karyawan yang tidak disiplin dan membangkang. Apa itu alasan dia sulit dapat jodoh? Bagaimana ada wanita yang kuat dengannya jika sifatnya saja seperti ini pada karyawan? Semoga saja aku kuat menghadapinya. “Kamu pernah dengar Pak Damian memiliki calon?” tanyaku pada Bili. “Memangnya ada apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu padaku?” Suara Bili terdengar takut. “Tenang saja, Kak. Aku hanya ingin tahu saja. Aku merasa, bukan hanya sekretarisnya saja yang tidak betah denganya. Mungkin kekasihnya juga tak betah karena sifat dia yang seperti itu.” Aku menjelaskan. “Aku pernah tahu sekali kalau Pak Damian pernah dekat dengan wanita. Dengar-dengar wanita itu yang meninggalkan Pak Damian,” jelasnya. Kami berdiri di sisi pintu masuk ruangan rapat. “Apa kamu ...” Aku menggantungkan. Kulihat Damian berjalan ke arah kami. “Kita masuk saja.” Aku menarik tangan Bili agar melangkah masuk. Bili pun mengikutiku. Dia ke kursinya, aku masih berdiri sambil menunggu Damian tiba di ruangan ini. Orang yang ditunggu pun masuk dan semua orang sudah berkumpul di ruangan ini. Damian duduk di kursinya, dan kami semua duduk setelah dia duduk. Aku mengedipkan mata pada Bili. Beberapa hari kerja di sini, perlahan aku mendapat teman. Teman yang selalu membantuku adalah dia, Bili. Dia yang membantuku memberi masukan atau hal lain di saat aku membutuhkan bantuan. Beberapa hari di sini membuat aku dan dia dekat. Dia baik dan sopan, bahkan dia sering menawariku tumpangan pulang, tapi aku menolak. Aku menolak karena khawatir kekasihnya tahu jika dia dekat denganku dan sering mengantarku pulang. Dia bercerita sendiri jika sudah memiliki kekasih. Bukan aku jika tidak detail kepo dengan orang yang dekat denganku, terlebih laki-laki. Jadi aku bisa jaga batasan selama berkomunikasi dengannya. Lagipula aku juga sudah punya pacar, jadi aku juga harus jaga perasaan Revan. Lebih baik aku fokus pada rapat siang ini. Aku mencatat apa saja materi yang dijelaskan. Walaupun hal itu bukan perintah dari Damian, tapi aku suka dengan hal itu. Bukankah ini tugas sekretaris? Rapat selesai. Pembahasan rapat kali ini adalah mengenai cabang hotel yang akan Damian bangun di Jakarta. Aku hanya menyimak penjelasan dari setiap usulan yang masuk. Ada yang diterima Damian, ada pula yang tak direspon olehnya. Aku tidak mau ikut campur karena tidak berhak dalam hal itu. Langkah kuayun untuk keluar dari ruang rapat. Perutku terasa lapar. Aku harus segera makan. Jika tidak, aku bisa pingsan. “Ke ruanganku sekarang.” Aku menoleh ke sumber suara. Damian berjalan mendahuluiku. Aku masih memegang perut yang terasa perih sambil mengikuti langkah Damian. Deringan ponsel terdengar. Kulihat Damian meraih ponselnya di saku jas. Dia berbicara dengan Kak Jordan. Aku menghentikan langkah. Perutku terasa sakit. Aku hanya bisa menahan rasa sakit ini. “Aisyah!” Tak peduli dia marah. Perutku sakit. Kulihat dia menghampiriku. “Ada apa denganmu?” tanyanya. “Aku sakit perut, Pak. Sejak pagi belum makan.” Aku masih menahan sakit. “Kenapa kamu tidak makan?!” Nadanya meninggi. “Bagaimana aku mau makan? Bapak menyuruh datang lebih awal, lalu menyuruhku untuk menyelesaikan materi presentasi di saat waktu makan siang. Beberapa hari ini Bapak menyuruhku di waktu makan siang sehingga aku harus menunda-nunda waktu makan siangku.” Aku protes. “Kamu bisa pesan makanan. Kamu bisa makan di sela-sela mengerjakan tugas.” Damian menimpali. “Bagaimana aku bisa fokus kerja sambil makan sedangkan Bapak selalu menyuruhku agar cepat menyelesaikan tugas yang Bapak berikan.” Aku tak mau kalah. Rasa sakit semakin kurasa. Kulihat Damian menghubungi seseorang. Dia memesan makanan untukku. Haruskah aku seperti ini dulu supaya dia peka? Menyebalkan. “Aku sudah pesankan makanan untukmu. Kamu makan saja, dan kembali bekerja setelah selesai makan.” Damian berlalu pergi setelah mengatakan hal itu. Aku duduk di kursi kerja. Jika lama-lama terus seperti ini, aku bisa mati kelaparan karena setiap hari menunda makan. Dan semua ini karena dia. Bos paling menyebalkan. “Mbak, ada driver makanan buat Mbak.” OB kantor ini memberitahuku. Aku mengangguk, menerima kantong berisi makanan yang tak asing bagiku. Kudapati OB itu masih berdiri di depan meja ruanganku. “Makanannya belum dibayar.” OB itu tersenyum padaku. Ternyata Damian hanya memesankan saja, tidak membayarnya? Bos pelit! OB itu pergi setelah menerima uang dariku. Jika tahu belum dibayar, lebih baik aku makan di kantin. Deringan telepon memecah konsentrasi makanku. Aku meraih benda itu dan menempelkan pada telinga. “Iya,” sapaku singkat. “Kamu lembur malam ini. Aku butuh laporan Hotel Nusantara. Bawa ke sini segera setelah selesai,” perintahnya. Lembur lagi, lembur lagi. Sudah seperti robot. “Iya, Pak.” Panggilan telepon putus. Gaagang telepon kembali kuletakkan di tempatnya. Aku bergegas menyelesaikan makan siang, lalu mencari berkas Hotel Nudantara dan segera mengerjakan tugas dari Damian sebelum dia menghubungiku lagi dan banyak protes. Aku stres. Aku tenggelam mengerjakan tugas-tugas dari Damian. Di saat orang-orang harus pulang, aku masih di sini mengerjakan tugas. Napas kuembuskan. Tubuhku terasa lelah karena terlalu lama duduk dan menatap layar komputer. “Apa sudah selesai?” Aku terkesiap. Dia mengagetkanku. “Belum,” balasku singkat. “Selesaikan nanti saja. Kamu pulang bersamaku,” katanya. “Selesaikan nanti saja? Bukankah ini penting dan harus sudah selesai sebelum besok pagi?” Aku menatapnya. “Ikuti saja perintahku.” Dia mulai mengatur. “Aku nggak mau. Nanti Bapak marah-marah lagi karena aku lambat menyelesaikan tugas ini.” Aku menolak. “Ini perintah dari atasanmu, Aisyah!” Damian menegaskan suara. Aku menghela napas. “Janji dulu kalau Bapak tidak akan memarahiku jika tugas ini belum selesai.” Aku mengulurkan tangan untuk perjanjian. “Cepat rapikan mejamu dan ikut denganku.” Damian berlalu pergi tanpa merespon permintaanku. Dia mengesalkan. Aku sudah berusaha agar tugas itu selesai, tapi dia justru menghentikan pekerjaanku. Perhatianku teralih ketika mendengar deringan ponsel. Kuraih benda pipih itu, lalu menggesernya ke warna hijau karena Kak Sabrina menghubungiku. “Iya, Kak.” Aku menyapanya. “Kamu di mana, Syah? Kakak telepon kamu dari tadi nggak diangkat? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Kak Sabrina. “Aku baik, Kak. Aku masih di kantor. Ada apa, Kak?” tanyaku. “Nanti kamu ke sini sama Damian. Tadi Kakak sudah telepon Damian agar ajak kamu ke sini. Kakak sekarang di vila. Kita bikin kejutan buat Damian. Dia ulang tahun hari ini. Jangan bilang Damian kalau Kakak buat kejutan,” kata Kak Sabrina. Jadi Damian ulang tahun hari ini? Dia terlihat biasa saja seperti tidak ingat dengan hari ulang tahunnya. Apa dia lupa atau memang sengaja tidak merayakannya? Langkah segera kuayun untuk keluar dari kantor karena Damian pasti menungguku. Dia akan mengomel jika menungguku terlalu lama. Kulihat dia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Aku menghampirinya. Dia memutuskan sambungan telepon, lalu memasukkan benda itu ke dalam saku celana. “Masuk,” perintahnya. Tanganku bergerak membuka pintu mobil. “Aku bukan sopirmu, jadi duduk di depan, jangan di belakang.” Damian menginstruksiku. Aku menghela napas, menutup pintu mobil, lalu berjalan menuju pintu depan. Aku pun masuk dan duduk di samping Damian. Dia menyalakan mobilnya dan melajukan menuju vila milik Kak Jordan. Tak ada percakapan di antara kami setelah mpbil ini meninggalkan kantor. Aku memikirkan kado apa Damian. Dia sudah punya segalanya, jadi kurasa dia tidak butuh barang-barang yang biasa saja karena dia pun bisa beli dengan harga yang lebih mahal. Aku masih bingung untuk memberikan kado yang tepat untuknya. “Ini untukmu karena sudah sepekan lembur.” Perhatianku teralih, lalu menoleh ke arahnya. Kulihat Damian menyodorkan amplop coklat padaku. “Ini apa?” tanyaku tak mengerti. “Bonus untukmu,” jelasnya. Pandangan Damian masih fokus pada kemudi. “Bonus? Apa nggak salah?” Aku memastikan. “Jika tidak mau, maka aku akan berikan pada orang yang-“ “Tidak. Aku hanya memastikan jika kamu tidak salah memberiku bonus, Om.” Aku memotong ucapannya, meraih amplop coklat di tangannya. Damian terlihat menahan senyum. Aku menghela napas karena merasa digoda olehnya. Tapi aku senang. Setidaknya dia menghargai pekerjaanku. Bahagia dapat bonus dari usahaku sampai malam menyelesaikan tugas-tugas kantor. Ada yang aku lupa. Aku menatap Damian. “Ini nggak dipotong gaji pokok, kan?” tanyaku padanya. “Itu bo-nus. Gaji pokok aman.” Damian membalas. Napas lega kuembuskan. Bonus ini akan menjadi penolong di saat aku sedang krisis keuangan. Aku harus teliti mengatur uang untuk kebutuhan penting. Target menikah dengan Revan adalah prioritasku. Aku harus mulai menabung dari sekarang. Mobil ini tiba di halaman vila milik Jordan. Aku turun dari mobil. Deburan ombak bisa terdengar dari tempatku berpijak saat ini. Di sepanjang jalan pun aku disuguhi pemandangan pantai di malam hari. Sepertinya malam ini akan seru. Aku melangkah menuju teras. Damian menekan bel. Udara malam ini pun terasa sejuk menerpa pori-pori kulitku. Pintu terbuka. Kulihat Kak Jordan berdiri di depan pintu. Aku tersenyum padanya. “Selamat malam, Kak.” Aku menyapanya. “Ayo, masuk.” Kak Jordan membuka pintu lebar. Aku dan Damian pun masuk. “Kak Sabrina mana, Kak?” tanyaku pada Kak Jordan. “Ada di dalam.” Kak Jordan membalasku. “Aku ke dalam dulu.” Aku meninggalkan Kak Jordan dan Damian. Langkah kuayun menuju ruang tengah. Tak ada siapapun. Terdengar suara dari arah dapur. Aku bergegas menuju dapur. “Kak.” Aku menyapa Kak Sabrina yang sedang merapikan piring. “Aisyah.” Kak Sabrina menatapku lalu tersenyum. “Bagaimana?” tanyaku sambil meletakkan tas di kursi. “Semuanya sudah siap. Tinggal ini yang belum dibawa ke sana.” Kak Sabrina menatap piring-piring yang sudah ia bersihkan, lalu menunjuk ke arah dinding kaca. “Aku bantuin. Kakak ke depan saja supaya Damian nggak curiga.” Aku mendekatinya. Kak Sabrina mengangguk. Dia berlalu menuju ruang tengah. Tanganu bergerak membawa piring-piring ke teras belakang. Aku harus bekerja cepat sebelum Damian ke sana. Sebuah ide terlintas di pikiranku untuk membuat kejutan pada Damian. Kapan lagi aku bisa mengerjainya. Dia wajib mendapat kejutan ini. Aku meraih bahan-bahan untuk membuat kejutan. Semua sudah siap. Kulihat Kak Sabrina, Kak Jordan dan Damian sudah beranjak ke sini. Kak Sabrina mengacungkan jempol. Aku harus siap-siap, merapatkan tubuh ke dinding. Kunyalakan lampion yang sudah dihias oleh Kak Sabrina. “Selamat ulang tahun, Om Damian!” Aku mengejutkan Damian, melempar bubuk tepung padanya. Ini kejutan yang biasa kulakukan ketika ada sahabat yang ulang tahun. Dan sasaranku kali ini adalah Damian. “Apa-apaan ini?!” Damian mengibas pakaiannya yang kotor karena tepung yang kulempar ke pakaiannya. “Kejutan, Dong! Kamu wajib dapat itu.” Aku membalasnya. “Aku tidak suka dengan semua ini,” ketus Damian. “Baiklah. Aku tambahin.” Aku meraih sesuatu di atas meja, lalu melemparkannya pada tubuh Damian. Sempurna. Aku melempar telur pada tubuh Damian. Pakaiannya terlihat kotor. Aku tertawa puas karena tubuhnya kotor dengan tepung dan telur. “STOP!” Damian terdengar marah. Tawaku mereda ketika mendengar Damian berkata keras. Dia meraih telur di atas meja. Sepertinya dia kesal dan marah padaku. “Kamu pun harus merasakannya.” Damian mengancamku. Aku pun kabur, berlari ke arah pantai. Damian mengejarku. Kurasakan lemparan telur tepat di punggung. Cairan lengket itu meresap ke kulitku. Aku menghentikan langkah. Kuusap punggung yang basah karena cairan telur. Aku membalikkan tubuh, menatap Damian kesal. “Seharusnya kamu nggak balas aku karena kamu yang ulang tahun,” kataku kesal. “Ini tidak adil.” Damian protes. Langkah kuayun mendekatinya. Damian menatapku kesal. Napasnya naik turun. Kuremuk telur yang masih kugenggam, lalu bergegas kuusap ke rambutnya. Aku bergegas lari setelah melakukan hal itu. “AISYAH!!” Damian terdengar murka. Aku bergegas lari menuju teras rumah. Kulihat Kak Sabrina menghampiriku. “Kamu bau amis banget, Syah.” Kak Sabrina menutup hidungnya. “Om Damian tuh, yang bikin aku seperti ini.” Aku membalasnya. Damian tiba. Aku berlindung di balik tubuh Kak Sabrina untuk menghindari kemurkaannya. “Kamu yang mendahului. Kalau saja kamu tidak melakukannya, mungkin aku tidak melakukan hal yang sama padamu.” Damian lalu merebahkan tubuh di atas lantai. “Lebih baik kalian cepat mandi. Makanannya keburu dingin.” Kak Sabrina mengingatkan. “Iya, Kak.” Aku berlalu masuk. “Ayo Damian. Jangan lama-lama mandinya.” Terdengar Kak Sabrina menegur Damian. Aku menaiki anak tangga untuk menuju kamar di lantai atas. Tubuhku terasa lengket dan bau amis karena ulah Damian. Aku bergegas memasuki sebuah kamar. Pandangan kuedarkan. Terdengar pintu kmar ini terbuka. Aku bergegas menoleh ke sumber suara. Kulihat Damian masuk ke dalam kamar ini. “Kamu ngapain di sini? Ini kamarku.” Aku menatapnya tajam. “Ini kamarku. Kamarmu di sana.” Damian menunjuk ke arah kanan. Mata kujulingkan, bergegas pergi dari kamar ini. Aku membuka pintu kamar lain. Terlihat Dania ada di kamar ini sedang tidur. Malam ini aku tidur bersama Dania. Baiklah. Lebih baik sekarang aku mandi. Kak Sabrina pasti menungguku untuk makan malam bersama. Aku pun memasuki kamar mandi dan secepat mungkin membersihkan tubuh. Setelah selesai, aku bergegas keluar dari kamar mandi, lalu mencari pakaian. Aku tak bawa pakaian ke sini, jadi aku harus pakai apa? Tidak mungkin aku telanjang. Pandangan kuedarkan. Terlihat koperku ada di sisi lemari. Napas lega kuhela karena Kak Sabrina sudah menyiapkannya. Aku bergegas membuka koper. Kak Sabrina memang terbaik. Dia membawakan pakaianku. Aku bergegas keluar dari kamar setelah pakaian dan rambutku rapi. Sepertinya semua sudah berkumpul di teras belakang. Aku mempercepat langkah. “Tolong jangan bahas itu di sini. Ini bukan masalah yang harus diketahui banyak orang.” Kak Sabrina menatap Damian. “Baiklah. Aku minta maaf karena sudah ikut campur dengan masalah kalian.” Damian membalas ucapan Kak Sabrina. “Ada apa ini? Apa ada masalah?” tanyaku menyela. Kak Sabrina menatapku. “Nggak ada apa-apa, Syah. Duduklah. Lebih baik kita makan malam sekarang.” Kak Sabrina menginstruksiku. Dia seperti menutupi sesuatu dariku. Bukan Kak Sabrina saja, tapi sepertinya semua orang. Aku beranjak duduk di samping Damian. terlihat kue ulang tahun masih belum disentuh. “Jangan lupa, potong kue ulang tahun dulu, Om.” Aku mengingatkan Damian. Kak Sabrina tersenyum, menggeser kue ulang tahun ke arah Damian. “Doa dalam hati untuk harapan di umur baru Om saat ini.” Aku kembali mengingatkan. Tak ada balasan. Sepertinya dia berdoa dalam hati. “Doa yang terakhir, semoga Dania cepat memiliki adik.” Damian menggumam, masih bisa terdengar. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Harapan kita sama. Kenapa aku jadi mengikutinya? “Ada-ada saja,” ucap Kak Sabrina. “Wajar dong, Kak. Aku juga berharap seperti itu.” Aku menyambar. “Aminkan saja, semoga ada keajaiban.” Kak Jordan menimpali. “Aamiin.” Aku dan Damian kompak mengaminkan. “Potong kuenya, Om Damian.” Aku memberikan pisau pada Damian. “Dan doaku selanjutnya adalah kamu berhenti memanggilku 'Om'. Aku merasa seperti sudah tua dipanggil seperti itu olehmu.” Damian protes sambil menerima pisau dariku. Aku hanya terkikik. Entah kenapa aku suka dengan panggilan itu. Dia memang sudah tua dan pantas kupanggil 'om'. Kenapa dia marah? Aku dan dia selisih sepuluh tahun. Dia berusia 32 tahun, dan aku berusia 22 tahun. Wajar bukan? Damian menyuapi Kak Jordan untuk potongan kue pertama. “Ini untukmu,” ucapnya. “Semoga Tuhan selalu melindungimu,” balas Kak Jordan. “Aamiin.” Damian membalas. Lalu Damian menyuapi Kak Sabrina setelah dia menyuapi Kak Jordan. “Semoga Allah selalu memberkahi setiap usia barumu. Dan semoga kamu cepat dapat istri yang baik, yang bisa menaklukan hatimu,” ucap Kak Sabrina tulus. “Aamiin.” Damian membalasnya. Dia tersenyum. Damian memotong kue, lalu diletakkan di atas piringku. “Ini untukmu. Jangan protes, dan jangan mengomel,” ucapnya cepat. “Kamu nggak suapi aku?” Aku menggodanya. “Kamu punya tangan. Kamu bisa makan sendiri.” Damian menyingkirkan kue ulang tahun dari hadapannya. “Doaku untukmu, semoga kamu nggak mudah marah dan jutekmu hilang. Semoga tetap tampan, dan cepat dapat istri sebelum terlambat. Kamu sudah tua, Om.” Aku menyantap kue yang diberikan Damian setelah mengatakan hal itu. “Jadi kamu mengakui kalau aku tampan?” Damian menatapku. Tatapan kualihkan padanya. “Kamu mau aku bilang jelek? Oke. Aku doa-“ Damian membekap mulutku. “Jangan bicara lagi. Lebih baik kita makan. Jangan merusak suasana indah ini dengan ocehanmu yang tidak jelas.” Damian melepas tangannya dari mulutku setelah selesai berkata. Aku menatap Damian kesal. “Sudah, sudah. Kalian selalu saja bertengkar. Bisakah menikmati malam ini tanpa kalian ribut?” Jordan angkat suara. Tatapan kulempar ke arah lain. Sepertinya kondisi hati Kak Jordan sedang tidak baik. Lebih baik aku tidak mencari masalah dengan Damian. Aku fokus pada makan malam ini. Tunggu waktu yang tepat untuk membalas apa yang sudah Damian lakukan tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD