Pertama Kali Merasakan Ini

1011 Words
Terlihat gelap di atas sana, awan mulai menghitam dan menampakkan keseraman yang luar biasa, tak mudah untuk melewati hutan ini, hutan yang memperlihatkan bangunan nan jauh di sana, Evalinda merasa dingin. Tiba-tiba hujan turun dan membasahi bumi, hujan seakan menyambar kaca mobilnya dan membuat Ben susah untuk melihat kedepan. Evalinda mulai takut dan itu mengerikan jika harus ditembus. Hujannya deras sekali dan tidak bisa di tembus, jika terpaksa ditembus mereka tidak akan pernah bisa sampai dan malah akan celaka nantinya. Evalinda menoleh, mereka sudah basah kuyup, atap mobil belum di tutup karena Ben fokus pada jalanan didepan sana yang sudah makin sulit ditembus. "Kita berhenti dulu," kata Evalinda. "Aku bisa mengatasinya," jawab Ben terus melajukan mobilnya. Evalinda menyentuh lengan Ben dan mencoba menghentikan lelaki itu untuk menembus derasnya hujan. Tangan Evalinda seperti menyihirnya dan akhirnya Ben menghentikan mobilnya dan menutup atap mobilnya agar hujan tak lagi membasahi keduanya. Evalinda basah kuyup dan kedinginan, Ben lalu melihat tubuh Evalinda yang tembus pandang, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah, kulit putih bening itu membuat Ben mampu berdetak sejak tadi. Ben lalu mengaktifkan pemanas mobil agar lebih hangat didalam sini. Rambut Evalinda basah, membuat Ben berdeham dan mencoba menahan gairahnya, ia memang menginginkan tubuh Evalinda, namun tidak di sini tempatnya. Sama saja jika mereka melakukannya di sini, semuanya karena nafsu yang sudah sampai di ubun-ubun. "Jam berapa pemilihan model itu?" "Mulai besok," jawab Evalinda. "Kamu yakin akan di terima meski terlambat?" "Aku harus mencobanya agar aku tidak membawa hasil yang kosong." "Oke." Ben menoleh dan melihat Evalinda yang kini bergerak gelisah dan mengelus lengannya yang dingin. Ben menelan ludah karena merasakan jantungnya berdetak kencang, ia tidak pernah seantusias ini sebelumnya dan pada Evalinda ia sangat antusias. Evalinda menoleh dan menatap tatapan Ben yang begitu menggebu-gebu padanya. Takdir yang membawanya bertemu dengan lelaki yang kini duduk disampingnya. Tatapan mereka akhirnya menghujam lembut mengabaikan suara kilat yang menyambar-nyambar diluar sana dan hujan yang makin deras, bahkan mereka tak melihat jalan didepan sana karena kabut dan hujan yang deras. Ben mendekat dan wajah keduanya hanya ada beberapa centi saja, keduanya berdetak dan jantung keduanya berubah menjadi labil. Evalinda menutup matanya, ia harus membayar semua ini, jadi ia akan melakukan apa pun yang Ben minta. Mereka melakukan hal ini tanpa tahu nama masing-masing dan itu membingungkan. Ben menyelusupkan tangan kanannya keleher belakang Evalinda membuat wanita itu memekik, ini pertama kalinya buat dirinya, selama ini ia hanya batas mencumbu saja dan tidak sampai melakukan hal ini, namun harga diri dan seluruh hidupnya sudah tidak penting lagi, yang terpenting adalah menjaga nama keluarganya dan menafkahi keluarganya. Ben mengecup bibir ranum Evalinda beberapa kali, setelah itu … memagutnya penuh keinginan yang penuh, leher keduanya miring untuk memperdalam ciuman mereka, satu tangan Ben ada ditengkuk Evalinda dan satu tangannya menurunkan kursi hingga kursi itu berbaring. Hujan makin deras dan menjadi saksi pertama mereka yang melakukan hal ini, pertemuan pertama yang membuat keduanya merasakan jantung yang berdegup kencang. Keduanya terus bermain didalam mobil, tak ada satu pun kendaraan yang melintas, itu dikarenakan jalanan ini memang bukan jalan yang bisa ditempuh untuk ke kota, karena sepi dan tidak ada tanda kehidupan, hanya ada beberapa gunung yang memperlihatkan bangunan semacam kastil. Entah bagaimana keduanya berakhir di hotel Reksa dan bermain didalam sana, Ben memesan kamar suite room untuk bisa menginap dan bercinta dengan Evalinda, pertemuan yang aneh dan berakhir ditempat yang tak disangka. Harusnya di hotel ini Evalinda bisa menjadi salah satu kontestan model majalah yang akan dipilih dengan cara audisi, Evalinda tak menyangka bisa berakhir dengan lelaki ini sampai pagi. Semalam keduanya melakukannya di mobil, setelah hujan selesai, keduanya menuju Hotel Reksa dan kembali berakhir di kamar yang sama. Pagi menunjukkan pukul 11, Ben mengangkat tangannya dan mengelus Kasur dimana Evalinda tidur, namun ia tak mengelus apa pun disebelahnya, Ben membuka pejaman matanya dan melihat ranjangnya sudah kosong, tak ada lagi wanita yang memberikan kenikmatan padanya semalam hingga hampir pagi. "Kemana dia?" tanya Ben pada dirinya sendiri. Suara ponsel Ben terdengar, ia pun mengambil ponselnya dari atas nakas. Ben tak melihat siapa yang menelponnya. Dan langsung mengangkatnya. 'Halo?' ucap Ben. 'Tuan, Anda dimana?' tanya Jackie. 'Aku di Hotel Reksa. Ada apa?' 'Apa Anda lagi ada masalah?' 'Tidak ada.' 'Wanita yang kemarin menghilang, Tuan, apa mungkin ikut Anda?' 'Maksud kamu?' 'Wanita yang kemarin salah naik bus.' 'Iya dia bersamaku.' 'Wanita yang Anda inginkan semalam sudah menunggu Anda dan menelpon saya bahwa ia tidak bertemu dengan Anda di Hotel Ar. Dan … mengapa Anda berakhir di Hotel Reksa?' 'Ini pribadiku, Jack, jangan menanyakan hal yang ada sangkut pautnya dengan pribadiku. Kamu bisa melakukan apa pun yang aku minta tapi tidak untuk mengusikku dipagi hari. Urus semua staf di sana dan aku tetap di sini.' 'Maafkan saya, Tuan,' ucap Jackie. 'ya sudah. Jangan menelpon jika tidak ada masalah.' Ben mengakhiri telponnya dan memijat pelipis matanya. Lalu mengingat satu hal dan kembali menelpon Jackie. Ia lupa menanyakan sesuatu. 'Halo, Tuan?' 'Apa kamu bisa memeriksa sesuatu?' 'Apa, Tuan?' 'Pemilihan model yang dilakukan di Hotel, siapa yang menjadi penanggung jawab?' 'Zelic,' jawab Jackie. 'Berikan nomor telponnya padaku. Saya ingin memilih modelnya sendiri.' 'Anda tidak perlu melakukannya, semuanya sudah di atur.' 'Jangan mengaturku, Jack, kirimkan nomornya!' tegas Ben lalu memutuskan sambungan telpon. *** "Kamu terlambat dan baru datang hari ini?" tanya Zelic pada Evalinda yang kini menundukkan kepala. "Maafkan saya, Nona, saya ingin tetap ikut dalam pemilihan ini." "Kamu mau menjadi musuh semua orang? Mereka semua sudah di sini sejak kemarin, dan kamu baru datang, apa kamu tahu bahwa disiplin itu salah satu penilaian kami?" tanya Zelic memukul kepala Evalinda dengan kertas tipis. Meski tak sakit, sikapnya tetap tidak benar. "Saya mohon, Nona, saya ingin tetap ada di pemilihan ini. Saya akan melakukan apa pun untuk membuat Anda bisa menerima saya." "Mohon maaf. Kamu tetap tidak bisa menjadi bagian dari pemilihan ini. Jadi pergi saja dan jangan pernah kembali." "Nona, saya mohon," lirih Evalinda menggenggam lengan Zelic, membuat wanita itu menghempaskan tangannya. "Jauhkan tangan kotormu dari lenganku!" bentak Zelic. "Aku sudah katakan, kamu tidak bisa bergabung dengan kami. Pergi dan jangan pernah kembali." "Tapi, Nona—" "Apa kamu aku panggilkan satpam?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD