FOUR

1711 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad Nita kembali terisak sambil menggelengkan kepalanya. Akhirnya Bu Nita juga terisak melihat nasib Nita yang malang. Bu Dina dengan cepat mendekati Nita lalu melayangkan satu tamparan di pipi Nita. Plak! Bu Dina menampar Nita, sesuatu yang belum pernah beliau lakukan selama umur hidupnya mengasuh Nita. “Ibu ... ibu kecewa sama kamu, Nita!” ucap Bu Dina sambil terisak. Meski tengah dirundung kekecewaan yang mendalam pada putirnya itu, Bu Dina tetap berprasangka baik. “Bilang sama ibu, Nita. Kenapa kamu bisa hamil? Ada lelaki jahat yang perkosa kamu, iya? Benar begitu? Kamu jadi korban p*******n?” Bu Dina sangat berharap Nita menganggukkan kepalanya. Dengan begitu, rasa kecewa yang sempat menderanya akan sedikit terobati. Nita hamil karena menjadi korban p*******n bukan karena ia melakukan hubungan yang terlarang dengan sadar sepenuhnya. Meski keduanya menghasilkan kenyataan yang amat pahit, tapi Bu Dina lebih memilih Nita mengalami hal yang pertama sehingga ia menatap putrinya sebagai korban yang tak berdaya dan tak bersalah. Nita yang masih tergugu dalam tangisnya menggelengkan kepala. “Ng ... nggak, Bu. Nita nggak diperkosa,” jawab Nita dengan terbata. Mata Bu Dina terbelalak karena kenyataan pahit kembali menyambarnya bagai petir. Jika Nita tidak menjadi korban p*******n, artinya Nita dan lelaki itu melakukan hubungan terlarang itu dengan sadar sepenuhnya bukan? Anggapan seperti itulah yang muncul di pikiran Bu Dina. Bu Dina menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan tingkah Nita yang melenceng dari norma-norma yang beliau ajarkan selama ini. Plak! Bu Dina kembali melayangkan tamparan pada Nita. Nita diam terpaku, ia pasrah. Jika memang tamparan dari ibunya bisa membuat ibunya memaafkan dirinya, Nita rela memberikan wajahnya untuk ditampar oleh Bu Dina sampai perempuan paruh baya itu puas. Nita masih memegangi pipinya yang baru saja ditampar oleh beliau. Nita tak berniat membela dirinya, karena ia sadar ia berada dalam posisi yang salah. Sehingga, membela diri pun akan sia-sia, pikir Nita. “Kamu, ibu izinkan untuk tinggal di sini sendiri, jauh dari pengawasan ibu karena ibu percaya kamu bisa jaga diri, Nita.” Nita semakin merasa bersalah pada perempuan yang telah banyak berjasa di hidupnya itu. “Tapi, apa?! Sekarang kamu malah buat ibu kecewa dengan hamil di luar nikah! Otak dan pikiran kamu di mana, Nita?!” Bu Dina mendekati Nita lalu memegang kedua bahunya sambil terus memaksa Nita memberitahu lelaki yang telah menghamilinya. “Bilang sama ibu, Nita! Siapa yang sudah menghamili kamu?!” bentak Bu Dina. Nita malah semakin terisak dalam tangisnya. Ia menunduk tak berani menatap wajah Bu Nita. Mulutnya masih bungkam, menolak memberi tahu identitas lelaki yang dimaksud. “Sekarang ibu tanya, apa dia sudah tahu kalau kamu hamil? Nita menganggukkan kepalanya. “Lalu, apa dia mau bertanggungjawab dengan menikahi kamu?” Nita diam, tapi ia memberanikan diri untuk menatap wajah Bu Dina. Seakan-akan, Nita menjawab lewat isyarat pandangannya. Bu Dina paham, dengan diamnya Nita dan pandangan yang diisyaratkan padanya. “Ah, jadi lelaki itu gak mau tanggung jawab?” Nita kembali menunduk dan meneteskan air mata. “Bagus, Nita! Bagus! Kamu hamil, gak mau kasih tahu ibu siapa lelaki itu dan ... yang lebih hebat, lelaki itu gak mau tanggung jawab.” Nita bersimpuh di hadapan Bu Nita. “Maaf, Bu. Maafin Nita. Nita salah, Nita akuin Nita salah. Maafin Nita, Bu.” Nita terus menggumamkan kata maaf di depan Bu Dina sambil bersimpuh memeluk lututnya. Bu Dina tersenyum samar dalam tangisnya. Beliau tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padanya. Anak yang sudah ia besarkan dengan susah payah, harus hancur karena hamil di luar nikah. Bu Dina mencoba mengendalikan emosinya dengan terus mengucap istighfar. Beliau berharap, Allah mau mengampuninya karena telah lalai dalam mendidik Nita. Tadinya, Bu Dina membayangkan akan menyaksikan pernikahan sakral Nita dengan jodohnya. Beliau akan luar biasa senang ketika hari itu tiba, saat Nita menemukan lelaki pendamping hidupnya dan membangun sebuah keluarga. Cita-cita terakhir Bu Dina hanya satu, mengantarkan Nita ke gerbang pernikahan dan melihatnya berbahagia. Namun, semua itu kini musnah sudah. Padahal, semua anak yang berada di panti asuhan selalu beliau bekali dengan ilmu agama. Bu Dina beserta beberapa pengurus panti yang lain selalu mengajarkan tentang norma-norma Islam, semua perintah dan larangan Allah, agar kelak anak—anaknya nanti bisa menjalani hidup di muka bumi dengan baik tanpa mendurhakai Allah, Sang Maha Pencipta yang telah memberikan mereka kehidupan. Nita memang anak yang baik dan pintar. Bu Dina selalu mengingatkannya untuk mengenakan jilbab dari mulai baligh dan tidak pacaran. Namun, Nita selalu memberi alasan menolak dua permintaan ibunya itu. Belum siaplah, masih harus memantaskan hati, dan dulu ia juga berdalih bahwa pacarannya masih tergolong sehat dan aman. Meski begitu, Bu Dina selalu mendoakan Nita dalam setiap salatnya agar hidayah Allah segera menyapanya dan Nita bisa berhijrah menjadi muslimah seutuhnya. “Kenapa kamu minta maaf sama ibu, Nita? Kenapa?!” “Maaf, Bu. Maaf Nita udah buat ibu kecewa dan sedih.” “Tobat kamu, Nita. Minta maaf sama Allah karena sudah terjerumus pada zina.” Posisi mereka masih seperti semula, Nita masih bersimpuh sambil memeluk lutut Bu Dina yang berdiri. “Lalu, kalau lelaki itu gak mau tanggung jawab, kamu mau apa, Nita?” Suara Bu Dina sudah mulai melunak. Entah, mungkin energinya sudah habis untuk memarahi Nita. Nita berusaha meredakan tangisnya sejenak agar bisa menjawab pertanyaan ibunya. “Nita, Nita akan jaga, rawat dan besarin anak ini sendiri, Bu,” jawab Nita dengan yakin dan mantap. Bu Dina menertawakan jawaban putrinya itu. “Lalu, kamu mau anak kamu merasakan nasib yang sama seperti kamu? Tidak kenal siapa ayahnya sejak kecil? Hidup tanpa kasih sayang orang tuanya yang lengkap?” sindir Bu Dina tajam. Jleb! Ucapan Bu Dina bagai belati yang merobek-robek hati Nita. Nita memang tak pernah tahu identitas orang tua kandungnya dan ia tidak pernah merasakan kasih sayang langsung dari mereka. Nanti, apabila Revan menolak untuk menikahinya, anaknya pun akan merasakan nasib yang sama dengannya. Tumbuh tanpa cinta dan kasih sayang orang tua yang utuh. Seketika, Nita diliputi rasa bersalah pada calon bayi dalam kandungannya. “Ibu gak mau tahu, Nita. Kamu harus bisa buat lelaki itu bertanggungjawab, atau ... “ Bu Dina menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya yang menurutnya akan terasa pahit jika terdengar oleh Nita, “ ... atau, kamu bukan anak ibu lagi!” Setelah mengucapkan hal itu, Bu Dina melepaskan pelukan Nita di kakinya dan berjalan meninggalkan apartemen. Panggilan Nita sungguh tak beliau pedulikan sama sekali. Bu Dina menulikan telinganya dari panggilan Nita sedangkan Nita hanya bisa menatap kepergian ibunya dari pintu apartemen dengan linangan air mata. === Beberapa hari telah berlalu sejak kedatangan ibunya ke apartemen. Nita sudah berpikir dengan matang rencana hidup untuk ke depannya. Hari ini ia akan kembali mendatangi Revan untuk meminta pertanggungjawaban yang terakhir kalinya. Jika Revan masih menolak, maka Nita akan berusaha untuk ikhlas jika takdirnya harus membesarkan anaknya seorang diri.   Sama seperti sebelumnya, Nita mengunjungi vila milik Revan di Bandung. Saat ia hendak turun dari mobil, ia melihat seorang perempuan berjilbab ke luar dari vila milik Revan. Nita menajamkan pandangannya. Awalnya ia mengira itu adalah Lisa, tapi setelah ia teliti lagi, perempuan berjilbab itu bukanlah Lisa. Nita turun dari mobil. Ia dan perempuan berjilbab tadi berpapasan. Keduanya saling melempar senyum dan menganggukkan kepala. “Assalamu’alaikum, maaf teteh cari siapa?” tanya Annisa heran. Ya, perempuan berjilbab yang dilihat Nita adalah Annisa. Annisa baru pertama kali bertemu dengan Nita. “Wa’alaikumussalam. Saya cari Revan, ada?” “Oh, ada. Revan ada di vilanya, sok atuh langsung masuk aja.” “Oh, iya. Terima kasih. Hmm, kalau boleh tahu, kamu siapanya Revan ya?” “Saya?” tunjuk Annisa pada dirinya sendiri. “Kenalin, saya Annisa, Teh. Saya kerja sama Revan. Saya bantuin dia ngurus perkebunan dan supermarket ibunya yang ada di kota,” jawab Nita sambil mengulurkan tangannya pada Annisa. “Hmm, begitu. Saya Nita, teman Revan dari Jakarta,” ucap Nita sambil menjabat tangan Annisa. “Ya sudah, saya tinggal dulu ke kebun ya, Teh. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Nita kembali melangkahkan kaki menuju vila Revan usai kepergian Annisa. Tepat saat Nita akan masuk melalui pintu yang terbuka, Revan muncul. Revan menatap Nita dengan enggan. Meski begitu, ia tetap mempersilakan Nita untuk bicara berdua dengannya di teras belakang. Saat ini, mereka berdua sama-sama diam sambil menikmati pemandangan kebun yang menghijau. “Jadi, gimana keputusan kamu, Van?” tanya Nita hati-hati. “Kamu, mau nikah sama aku demi anak ini, kan?” Nita harap-harap cemas dengan jawaban Revan. Revan menghela napas panjang. Lelaki itu kemudian menoleh pada Nita, perempuan yang ia jadikan pelarian sesaatnya. Sepasang anak Adam itu saling bertatapan. Tatapan Nita menyiratkan permohonan pada lelaki di depannya agar mau menikahinya, sedangkan tatapan Revan menyiratkan permohonan maaf karena tidak bisa menikahi Nita. Hatinya masih tertawan oleh rasa cinta untuk Lisa. “Maaf, Nita. Aku gak bisa.” Nita mengerjapkan matanya berusaha menghalau air matanya agar tidak jatuh. Namun, sia-sia, bulir-bulir air bening iitu tetap saja meluncur bebas dari matanya. Meski dirinya sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan terpahit dan terburuk, tetap saja hatinya merasa sakit dengan penolakan Revan. Tapi, kali ini Nita tidak mau merengek pada Revan. Nita menghormati keputusan Revan sekalipun itu menyakitinya. Nita menghapus air matanya lalu tersenyum tipis pada Revan lalu mengangguk. “Oke, baiklah kalau itu keputusan kamu.” Nita berhenti sejenak, mengumpulkan kekuatan agar ia bisa mengucapkan salam perpisahan pada Revan. Nita memang sudah berencana akan pergi dari kehidupan Revan untuk selamanya jika lelaki itu menolak menikahinya. Nita akan melupakan Revan dan hidup berdua saja dengan anaknya. “Terima kasih atas perhatian kamu selama ini ya, Van. Terima kasih untuk hubungan sesaat kita, yang meski salah ... ah, pokoknya aku tetap berterima kasih. Semoga kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu dan bahagia dengan hidup kamu nanti. Selamat tinggal.” Nita langsung pergi meninggalkan Revan usai mengucapkan salam perpisahan. Revan dengan bodohnya hanya diam terpaku sambil menatap kepergian Nita dari vilanya. Saat akan kembali menuju mobilnya, Nita kembali berpapasan dengan Annisa. Annisa menatap heran wajah Nita yang basah oleh air mata. Tapi, karena baru pertama kali bertemu dan tidak dekat, Annisa hanya tersenyum tanpa bertanya lebih lanjut. “Annisa?” “Iya?” “Hmm, apa kamu tahu di mana rumah Lisa?” tanya Nita. Nita memutuskan untuk meminta maaf pada Lisa sebelum ia memulai hidup baru berdua saja dengan anaknya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD