5. | Pujian

1704 Words
“Gue tim lo sama Difa aja, deh, Chels.” Marsha mengajukan pendapat demi memecahkan kegalauan Chelsea yang berjibun doi. Meskipun ia malas-malasan karena salah satu sahabatnya itu selalu memiliki masalah yang nyaris menjengkelkan untuk kelompok mereka. “Mending sama ketua OSIS, bisa membimbing kekanak-kanakannya lo.” Salma tidak setuju terhadap pendapat Marsha, padahal semua orang berhak beropini. Ia beranggapan, Chelsea—yang kekakak-kanakan—membutuhkan laki-laki lebih tua. “Auto terkenal seantero sekolah.” “Difa juga calon ketua MPK.” “Itu baru katanya. Ya kali ..., satu bulan sekolah aja belum.” “Gue masih butuh satu suara.” Chelsea merebut novel yang fokus dibaca Chindai, tidak mengacuhkan teriakannya gadis itu akan terdengar di mana-mana--mengingat tidak sukanya diganggu. “Chels—” “Kak Karel atau Difa?” “Kak Bagas.” Marsha dan Salma tertawa, sedangkan Chelsea mendengus sebal. Namanya Chindai, belum menjadi siapa-siapa … sudah bucin walau harapan tidak tampak. “Lo salah tanya Chindai, Chels,” kata Marsha eksplisit. “Gue serius, Cendol Basi!” Chelsea tidak menyerah. Ia sangat memerlukan perbandingan guna masa depan yang cerah. “Lo setuju gue sama Kak Karel atau Difa? Lo tim ketua OSIS atau calon ketua MPK?” “OSIS perwakilan ekstrakurikuler musik.” “Bucin ingat posisi!” Detik berikutnya, getaran di alat komunikasinya menyebabkan Chindai terkejut, sementara Chelsea, Marsha, dan Salma tergelak mengejek. Tidak menunggu lama, Chindai memencet notifikasi yang masuk tanpa melihat sang pengirim sebelum bel pulang berbunyi karena dirinya sedang malas berkegiatan. Nathaniel Bagas S. | Gue enggak kumpul ekstrakurikuler musik hari ini. | Baik-baik, ya. Chindai seakan habis dibawa berlari keliling Gelora Bung Karno. Sama sekali tak percaya jika sebuah pesan bisa membuat jantungnya berdebar-debar. Chindai menggigit bibir bawahnya hingga hingga nyaris terluka. “Enggak kuat,” lirihnya seraya mengoper ponsel pada Salma. “Gue enggak kumpul ekstrakurikuler musik hari ini. Baik-baik, ya.” Mata Marsha berkedip-kedip sesudahnya mengeja hal yang tentu mengejutkan. “Tunggu. Handphone doi dibajak?” Chindai menggeleng tak karuan, keringat panas dingin menjalar di tubuhnya. “Kak Bagas kayaknya niat buat gue ke rumah sakit.” “Jawab, Ndai,” saran Chelsea semangat empat puluh lima. “Tapi—” “Buruan, kita kepo,” tuntut Salma. “Gue atau lo?” lanjutnya memberi pilihan—mendesak, dan Chindai tahu apa yang mesti diputuskan. Berbekal jari-jari yang disyukuri bisa diajak kerja sama, Chindai mengetik balasan kendati berkali-kali mengalami kesalahan. Ia menjerit sesaat pesan Bagas kembali masuk, menyusul yang belum dibalasnya. Nathaniel Bagas S. | Gue pikir enggak bakal dibuka. Gloria Pandanayu Chindai Maaf, Kak. | Nathaniel Bagas S. | Cuma itu doang? Gloria Pandanayu Chindai Kakak kenapa enggak kumpul? | Nathaniel Bagas S. | Gue dan Michelle kumpul OSIS. Gloria Pandanayu Chindai Iya, Kak. | Semangat. | Nathaniel Bagas S. | Inai. Gloria Pandanayu Chindai Iya, Kak? | Nathaniel Bagas S. | Dua hari, dong, kita enggak ketemu. | See you. Gloria Pandanayu Chindai Iya, enggak apa-apa. | See you too, Kak^^. | “Gila, sih!” Marsha meratapi layar alat komunikasi Chindai yang sempat mustahil baginya. “Doi lo habis didatangi dedemit, ayan, atau apa?” sambung Marsha dengan sudut mulut hampir mencecerkan air liur. “Pacar gue, si Fattah, enggak pernah begitu.” Salma nelangsa, iri dan dengki menguasainya. “Ramalan zodiak lo berbanding terbalik.” “Lah, iya. Bukannya Cancer lagi patah hati karena penolakan orang yang disuka?” seru Marsha, teringat hasil kegiatan mingguan yang selalu dibagikannya pada Chindai, Chelsea, dan Salma tanpa diminta.. “Lo pelet Kak Bagas, Ndai?” cecar Chelsea bersama cengiran jailnya yang khas, membuat Chindai tergabas menjitak keningnya. “Mulut lo!” “Obrolan kalian seintim itu?” “Gue juga enggak tahu.” “Jahat, sih, kalau Kak Bagas cuma pengen Chindai yang minim cinta ini … baper,” ucap Salma blak-blakan. “Berjibun cowok lo tolak terus, Ndai. Gue takut lo suka Kak Bagas, malah mendatangkan karma setelah sekian lama.” Chindai bergeming sejenak, menyetujui anggapan-anggapan yang diberikan. Mau tak mau, ia harus siap dengan patah hati maupun hal menyakitkan lainnya. Bagaimanapun, Chindai paham bahwa perasaan tidak pernah bisa dipaksakan. “I know.” “Wait!” jerit Chelsea serta Marsha kompak. Beradu pandang selama bel nyaring pertanda jam pelajaran berakhir memekakkan telinga. “Berarti Kak Bagas kasih kode kalau kita kumpul?” lanjut Chelsea, mendesah putus asa. “Ya Allah, iya!” *** “Lo jelasin, Yo, gue capek.” Saking familiernya aksen bahasa Palembang yang melekat, apalagi senggolan Chelsea di pergelangannya, angan-angan Chindai terpecah. Kalau Rio mengagumi lemah lembut Ify, berbeda dengan Chindai yang lahir dan batin memuja wibawanya Bagas. “Doi lo, Ndai.” Marsha melongok Chindai yang tak bersuara sejak memasuki ruang musik, bertahan duduk sendiri di kursi belakang sambil memandang sosok yang tak perlu dipertanyakan. “Dia kumpul … kok bisa?” Tenggorokan Chindai bergelombang, teringat pengakuan Bagas yang konstan menyisakan bukti di ponsel. Kata Bagas, tak akan hadir. Nyatanya, tampil di muka umum. Chindai menelaah gerak-gerik Bagas bersalaman ala ekstrakurikuler musik dengan beberapa petinggi. Kemudian, pipi Chindai memanas—pertanda sinyal bahaya. Bisa-bisa apa yang dikatakan Chelsea benar, dan Bagas tidak boleh mengetahui perasaannya sedikit pun. Pastilah tak sanggup. Namun, tunggu … tak salah lihat, kan, Bagas menuju ke pojokan ruang musik—di mana Chindai saat ini berada? “Chindai …,” gumam Marsha turut gemetar. “Kalian wajib nonton Girls in the Dark, diangkat dari novel karya Akiyoshi Rikako. Gila, keren banget!” seru Chindai heboh, tidak peduli tatapan cengo Chelsea dan Marsha yang seolah berkata, “Lo kesambet, Ndai?” “Boleh gabung?” Tamatlah riwayat Chindai. Di posisi menunduk, ia memejam canggung sekaligus tak fokus. Di sisi lain, Bagas terasa mendominasinya lahir dan batin. Chindai tanpa mengatakan apa-apa bergeser ke kursi sebelahnya agar Bagas menetap. “Gue enggak duduk bareng patung, kan?” “Maksud lo … maksud Kakak, saya?” Chindai menutup wajahnya menggunakan jemari kendati gagal. Keceplosan adalah kekurangannya sejak dahulu, apalagi melirik senyum samar di bibir tebal laki-laki di hadapannya.. “Kentara banget gugup, padahal gue enggak gigit manusia, Ndai.” Bagas menyengir meski tak sekalipun gadis di jangkauannya itu bereaksi. Jadi, ia terpancing untuk menyudutkan Chindai ketimbang mendengarkan Rio ceramah. “Jangan-jangan, lo takut sama gue, ya?” “Enggak, Kak.” “Kenapa mojok di sini?” tanya Bagas penasaran. “Gabung aja sama Chelsea dan Marsha, tinggal pindahin kursi doang.” “Ada orang, kok,” ujar Chindai pelan, mendapat keberanian dengan membual abal-abal. “Siapa?” “Kakak.” “Emang lucu, tebakan gue benar.” Sekadar mencairkan suasana, tetapi gumaman Bagas membuktikan keakrabannya. Chindai melengos, berpikir negatif tentang bagaimana sosok Nathaniel Bagas Saputra meladeni lawan jenis lainnya. Tak terelakkan perasaan gamang lebih mendominasinya kini. “Kak, Chin—” “Oke, lengkap. Kita bakal bahas hal pertama dalam minggu ini.” Diskusi yang dipimpin Rio menyebabkan gadis di sampingnya bungkam, sehingga Bagas terkekeh. “Entar ngobrol lagi, ya.” “Iya, Kak.” Di sisi lain, Chindai mengangguk sebagai bentuk apresiasi terhadap calon pacar suatu saat— mengingat Bagas tidak tahu ikatan antaranya dan Rio. “I love you, Baby, and if it’s quite alright. I need you, Baby, to warm a lonely night. I love you, Baby, trust in me when I say.” Lantunan syahdu Bagas berlanjut, sukses mencuri perhatian Chindai. “Oh, pretty baby. Don’t bring me down, I pray. Oh, pretty baby. Now that I found you, stay. And let me love you, baby. Let me love you.” Tampaknya, Bagas sengaja Chindai mendengarkan nyanyian abal-abalnya yang entah juga dicipatakan untuk siapa dan kenapa. “Seminggu lagi, perlombaan band di SMA Garuda. Kita perlu bersiap-siap. Sesuai arahan Pak Adi dan menambah pengalaman, kelas sepuluh mewakilkan walau kalian di sini belum genap satu bulan,” ucap Rio menjelaskan. “Fattah dan Fitra gitar, piano Dave, drum Rafli. Pak Adi juga titip pesan, Chindai vokalis serta ikut lomba individu alat musik, yaitu violin.” “Siap, Kak!” Chindai tidak membantah meski ingin, begitu pun anggota lain yang ditunjuk ketua umum ekstrakurikuler musik tersebut. Bagaimanapun, angkatan Chindai belum terlalu matang untuk bertarung. Pulang nanti, ia mesti membujuk Rio. Siapa tahu berhasil dengan persentase kecil. “Gue enggak setuju!” Sontak Chindai kesenangan. Di bayangannya, Bagas akan menolong menolak tawaran Rio biar Chindai tak susah payah. Akan tetapi, ia refleks menepuk kaki Bagas yang terangkat ke atas meja. “Enggak sopan. Bicara benar-benar, Kak.” Bagas mengerjap, tertohok perintah Chindai yang tampak serius mengomentari tingkah kurang ajarnya. “Maaf, gue ulang,” tuturnya refleks. “Yo, lo jangan aneh-aneh, ya.” “Apa, Gas?” Rio menggoda, kerlingan matanya penuh makna. Ia sulit menahan tawa selagi apa yang diperbuat Chindai pada Bagas. Adiknya itu memang terkadang begitu barbar terhadap beberapa situasi dan kondisi. “Kasihan Chindai, lo teriak-teriak.” Kak Rio! Chindai memekik tanpa suara, sedangkan Bagas tidak berkedip meliriknya. Ketidakpedulian umat manusia di sekeliling untungnya tidak memperkeruh keadaan. Arkian, Bagas tergelak dan selaras kinerja sistem tubuh Chindai tak berfungsi. “Kak, kenapa?” “Enggak, Chindai.” “Gas, kenapa lo bantah gue?” Rio menyahut, sengaja memprovokasi Bagas dan Chindai yang tampaknya sama-sama salah tingkah. “Jangan biarin kelas sepuluh semua, gue pengen juga.” Runtuh berkeping-keping ingin Chindai bahwa Bagas akan membantu, justru semata-mata mengutarakan kekecewaan. Gadis itu menghela napas kecewa di beberapa detik berselang. Mungkin inilah definisi dinaikkan oleh angan-angan, lalu dijatuhkan ke dasar jurang. “Awalnya iya, tapi Selasa biasanya lo kumpul OSIS, Gas,” titah Rio tegas. “Gue percaya sama siapa yang diutus Pak Adi. Kecuali lo ngomong sendiri sama beliau.” “Ogah banget!” tolak Bagas mentah-mentah. “Nah, ya sudah.” Bagas melenggut terpaksa sebelum mengabaikan Rio, lalu adik temannya juga menengok gesit airnya dan bermaksud memicu kekagetan Chindai yang tertangkap basah menatapnya. Ia hanya tidak tahu jika Rio menyipit guna menilai bagaimana cara Bagas menatap Chindai sedemikian rupa. “Chindai.” “I-iya, Kak?” Sejenak Bagas menahan pergerakan netra Chindai yang terlihat gelisah. Ia tidak dapat menahan bibirnya yang kenyir berkata lugas, “Lo ... cantik.” Benar saja, sementara matanya membelalak ... Chindai mengadudombakan kuku-kukunya, terpampang amat sangat gugup di bawah tilikan intens Bagas. “T-terima kasih, Kak.” “Your welcome, Inai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD