6. | Insiden Kecil

1763 Words
“Gue enggak ikut campur, ya, bodoh amat. Terserah kalian ketimbang gue ikutan pusing!” Randa berpindah duduk di kursi seberang, menyingkir dari perseteruan Bagas dan Karel. Sebagai yang tertua, terkadang ia juga lelah jika kedua sahabatnya beradu mulut tanpa henti. “Image gue buruk, enggak tenang seumur hidup lo sampai anak cucu, Rel!” Bagas terus mengomel, menghardik Karel yang ogah-ogahan menguap di kursinya. Lihatlah, bahkan setelah ia melempar map yang dijadikan objek kemarahannya, Karel tetap tak acuh. “Rel, tanggung jawab, dong!” “Salah lo nurutin gue!” “Bukan waktunya bercanda, malah bikin runyam persoalan. Nilai sikap gue turun, gue tebas kepala lo.” Karel memutar bola mata, jengah dengan Bagas yang selalu parno di berbagai situasi tanpa memikirkan cara selain mengoceh panjang kali lebar. “Enggak usah lebay. Mr. Mark enggak se-scary itu.” “Because your idea was so scary, Karel Abraham. Kalau Mr. Mark anggap gue enggak sopan, gimana?” “Ya Tuhan, Gas. Lo cuma bilang enggak bisa ambil data sekarang di ruangan dia dan minta kalau bisa tolong suruh orang lain yang antar. Lagi pula, lo enggak suruh beliau yang kemari,” ujar Karel geregetan. “Tapi, kan—” “Tunggu lima menit, pasti ada yang bakal ke kelas kita.” “Yakin lo?” Bagas memberut jengkel, persis anak perawan yang ditinggal kawin sang pacar. Ia bak kerasukan, di mana ekspresinya meniru Chindai menggembungkan pipi. Mendadak Bagas meringis karena lagi-lagi membayangkan gadis itu. Kemudian, secara mendadak Randa memekik, diikuti raut terpukau Karel tatkala sama-sama menangkap sesuatu di ambang pintu. “Seyakin lihat jodoh di depan mata,” gumam Randa, tak absen mengirim penilaian baik ke sosok manis nan cantik tersebut. “Ini yang gue bilang rezeki pagi menuju siang!” Karel lanjut berselebrasi bersama Randa. “Fix, kita bersaing sehat, Ran. Masyaallah banget!” “b**o, Chelsea lo taruh di mana?!” “Anjir, lupa!” Karel menggebrak meja, sedangkan seseorang yang diperhatikan tengah berbincang dengan ketua kelas. “Itu Chindai, woi! Temannya Chelsea!” Randa kembali bersorak dengan heboh, lalu iseng menyenggol Bagas yang kontan memukul kepalanya. Ia sengaja melempar kesukaannya pada kehadiran Chindai karena suka melihat Bagas yang kini tampak siap memakannya bulat-bulat. “Rel, lo fokus ke Chelsea aja. Gue gebet Chindai.” “Awalnya gue suka Chindai, tapi doi cuek banget,” gumam Karel mulai bercerita. Alhamdulillah, batin Bagas tiba-tiba mendapat pencerahan. Randa menyeringai lebar. “Ya sudah, buat gue aja.” “Lihat, Ran. Chindai datang sama Chelsea!” Karel balik berseru, mengabaikan jitakan yang terus diberikan Bagas. “Satu lokal, satu aenggak bule. Pahala gue semalam besar, makanya Tuhan kasih hadiah.” Eskpresi tak terbaca Bagas jangan ditanya, apalagi Karel dan Randa yang terus tak mengacuhkan. Tatapannya menusuk siapa pun, bergantian menelusuri kekaguman yang terang-terangan ditunjukkan kedua rekannya. Setelah itu, Bagas mengamati Chindai—gadis yang dibicarakan di depan sana. “Cantik banget, Rel, demi Tuhan!” “Harus sering-sering shalawat kalau begini, tuh!” “Jaga mata kalian!” Kali ini, Bagas benar-benar tidak tahan lagi. Ia mendatarkan rautnya selagi Karel meliriknya curiga. “Gimana, Gas?” “Gue enggak suka kalian lihat Chindai gitu amat,” pungkas Bagas lugas. Randa tersenyum jail, sementara Karel terlihat sudah tergelak puas sejak tadi. “Ceritanya, lo menandai Chindai, nih?” “Apa?” “Jawaban lo begitu, gue bertindak,” ujar Karel mengancam dan terkesan tak main-main. Namun, ia juga tak terlampau niat mendekati Chindai yang baru dua kali bertemu biarpun betul-betul menawan. “Memang Chindai bakal suka sama lo?” “Lo pengen kita bersaing?” “Bukannya lo suka Chelsea?” Bagas balik bertanya, menyudutkan Karel—yang entah serius atau hanya perasaannya. “Jiwa playboy lo enggak mendukung.” “Kenapa enggak?” “Mine. She is.” “Ah, lo—” “Dek, lantainya licin!” Bodoh, Chindai rupanya telah berlari begitu bersemangat. Telinganya seakan tuli akan teriakan peringatan Zaki. Gadis dengan ciri khas rambut poni itu terpampang melotot dan tidak mampu bertahan lagi. Di pihak lain, Bagas blank di per sekian detik. Kemudian, ia lantas keblangsakan dan nyaris tidak bernapas ketika kakinya tertanam di tempat—bingung berbuat. “Ndai!” “Manis!” Tidak menghiraukan teriakan prihatin Karel dan Randa, Bagas cekatan berlari kencang semampunya. Meski diyakini percuma, ia berusaha maksimal mencabau jemari lentik yang melayang di udara enam meter di depannya. Bagas berhasil menggapai Chindai, tetapi tak sanggup menahan diri. Sudah pasti terjatuh tragis bersama. Sungguh drama teranyar di kelas XI IPA 4. Namun, Bagas masih bersyukur Chindai tak menunjukkan tanda-tanda pingsan, sekadar meringis kecil. Bagas kembali bangkit, tidak lupa memungut file-file yang tergeletak sebelum menenangkan Chindai. “Are you okay?” “Kak!” “Apa yang sakit?” Selanjutnya, Chindai hanya sanggup menelaah kekhawatiran Bagas ketimbang meratapi tatapan penuh makna seluruh pasang mata di sekitarnya. Sekali lagi Chindai meringis, kali ini bukan karena kesakitan. “Kak, Chindai minta maaf.” “Lo enggak punya salah, Ndai,” tutur Bagas tak sabaran. “Gue tanya keadaan lo. Ada yang sakit?” titahnya kembali. “I’m fine.” “Alhamdulillah.” “Kak.” “Iya?” Mendapati gadis di hadapannya mengerkah kelingking, Bagas menarik paksa lengan Chindai sambil menggeleng—melarang hobi tudak bagus itu. Pun Bagas sadar keberadaan Chelsea termenung di belakang Chindai. “Kalian kenapa ke sini?” Dilimpahi kekuatan mendadak, Chindai melepas perlahan genggaman Bagas dan memicu keduanya salah tingkah di posisi tegak masing-masing. Pada akhirnya, Chindai berdeham singkat. “Kak, ada titipan Mr. Mark.” “Titipan?” Chindai melirik tumpukan map yang sejak awal bersulih di pegangan Bagas. “I-iya, Kak, beliau minta antar ke Kakak.” “Terima kasih,” ucap Bagas lembut bersama senyumannya yang menenangkan. Salah kalau Karel dan Randa percaya diri, melainkan Bagas-lah yang dihadiahi rezeki nomplok. Ia akan berterima kasih pada Mr. Mark setelah ini. “Sama-sama, Kak.” Tak sanggup berlama-lama, Chindai menekuk jari kakinya di dalam sepatu untuk bersiap berbalik. “Chindai ke kelas dulu.” “Lo enggak apa-apa … benaran, kan?” Bagas khawatir, bayang-bayang Chindai terjatuh bergelayut di otaknya. Itu juga membuat Bagas bingung dengan reaksi alami yang datang dari hatinya. “Gue antar ke kelas, ya?” Spontan Chindai menggeleng. Tambah bahaya, pikirnya saklek. Bagaimanapun, omongan orang masih menjadi momok menakutkan baginya, terlebih Chindai adalah siswa baru. “Chindai sama Chelsea, kok, Kak.” Chelsea mengernyih, merasa rugi terlibat di tengah-tengah Bagas serta Chindai. Selain itu, ia malu diteliti tajam oleh Karel di depan sana. “Kak.” Chelsea menegur Bagas sopan. “Janji, Chelsea dan Chindai bakal sampai kelas dengan selamat.” Tanpa diduga, Bagas mengangguk paham. “Gue titip Chindai.” “Siap, Kak!” Chindai makin sulit bernapas, tersenyum masam sambil menggapai Chelsea yang tak henti menyengir. “Kita pamit, Kak. Maaf, mengganggu.” Dalam hitungan ketiga setelah kepergian Chindai, seisi ruangan langsung misuh-misuh tak terkendali. Semuanya meneriaki dan bersorak seolah tak ada hari esok. Bagas sendiri menulikan kupingnya agar tidak gila. “Gas, mending mundur alon-alon, gih!” pekik Zaki, mewakili kaum Adam yang tidak menutupi fakta menyukai Chindai—gadis dengan sejuta pesona—meski tergolong baru berjumpa. “Sekali suka cewek, saingan berat banget!” “Kalau gue mundur, memang kalian yang bakal diterima dia?” Bagas tersimpul miring selepas mengeluarkan jurus kata-kata menohok. “Enggak begitu konsepnya, Bambang!” Randa memukul meja, terbawa emosi. Siapa pun akan kesal mendengar ucapan Bagas yang membuat harga dirinya jatuh. “Lo terlalu percaya diri atau gimana, sih, Gas?” “Gue tanya baik-baik.” “Tapi omongan lo kayak sudah pasti diterima Chindai, sedangkan kita enggak. Itu namanya percaya diri tingkat akut!” “Memang iya, kan?” “Anjir banget teman kalian ini, demi apa pun!” Karel menendang kursi kayu yang didudukinya, juga menatap berang Bagas yang tetap saja acuh tak acuh kembali ke posisinya semula. “Lo benaran suka Chindai, Gas?” “Kenapa?” Masyaallah, berhenti bertanya pada Bagas. *** Bel pulang berbunyi, Bagas segera menuruni gedung kelas sebelas dan mengawas di pagar utama SMA Rajawali. Sapaan siswa-siswi yang mengenalnya hanya dibalas senyum tipis, sementara ia telah memantapkan hati mengikuti saran Karel. Guna mempunyai teman yang pengertian walaupun terkadang mengesalkan. Lima belas menit berlalu, sosok yang ditunggu akhirnya muncul. Bagas bersorak gembira, tak peduli malu karena akan menjerit sekuat yang dirinya bisa, “Chindai!” “Cie, Bagas!” Bagas sama sekali tak menggubris tatapan heran, menggoda, cemburu, iri, dan lain-lain. Ada juga makhluk dari kelasnya. Akan tetapi, makin banyak godaan memicu kepala Bagas siap pecah. “Gas terus sampai dapat, Bos!” “Bacod pakai d!” sewot Bagas. Di sisi lain, ia tidak berani menghampiri Chindai dan kawan-kawan terlebih dulu. Gengsi nomor satu di hidupnya. Sekali lagi Bagas melambai, berharap Chindai mendekat. Mario Aditya | Kafe Cendana. | Lo duluan aja. | Gue rapat bentar sama OSIS SMA Garuda. Bagas membaca sekilas pesan Rio, sengaja tidak dibalas. Membuang waktu. Melongok ekspresi bingung Chindai berjalan menujunya lebih menarik. Sungging Bagas melebar menyambut gadis itu. “Halo, Ndai!” “Chindai, Kak?” tanya Chindai di hadapan Bagas. “Gue dengar-dengar lo jual jasa ketik.” “Kakak tahu dari mana?” “Tebak-tebak berhadiah.” Bagas ngawur, padahal Karel tersangkanya. Sebuah keuntungan sahabat Bagas serta Chindai ... penolong terselubung yang pas. “Untuk mengisi waktu luang di hari Minggu doang, Kak,” ungkap Chindai malu-malu. “Sekarang lo sibuk?” “Enggak, Kak.” “Tolong selesaikan proposal ini,” ujar Bagas to the point. “Gue bayar, tenang aja.” “Kapan deadline?” “Tanggal enam belas, bisa?” Bagas kehilangan akal berpikir lebih lanjut. Jerih payah serta waktu yang diluangkannya sia-sia. Alih-alih direspons baik, dua kali membetulkan kemarin diapresiasi omelan panjang lebar guru Bahasa Indonesia yang memeriksa. Chindai menganggut, senang atas permintaan Bagas. Belum apa-apa, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan Bagas. “Kalau Chindai enggak banyak tugas, entar dikerjakan, ya. Enggak apa-apa, kan, Kak?” “Sebisanya lo aja, yang penting tepat waktu.” Bagas menyerahkan berkas-berkas yang semula diambil di tas, lega sebab ada yang menolong. “Terima kasih, Ndai. Gue harap enggak salah mengandalkan lo.” “Oke, Kak.” Chindai menggaruk pipinya yang gatal, saksama tersipu. “Hem. Kak, Chindai duluan.” Bagas mendongak, menyipit ketika langit mulai menjatuhkan rintiknya. Sekuat hati ia memendam rasa khawatir dan keinginannya membawa Chindai bersamanya. “Pulang sama siapa?” “Mereka.” Detik berikutnya, Bagas menganggut bersamaan Chindai condong ke Chelsea serta Marsha yang setia menunggu. “Hati-hati. Kelihatannya bakal hujan, utamakan istirahat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD