7. | Special Part for RiFy

1155 Words
Ify Sabillah tidak menyangka jika keputusannya mengikuti ekstrakurikuler musik membawanya bertemu Mario Aditya, sang ketua umum yang sejak pertama sudah menghadirkan percikan kagum. Ify terpana akan pembawaan santai nan wibawa Rio. Laki-laki itu begitu memukau baginya. Seperti saat ini, Ify gelisah sebab ditarik Rio ke pojokan kanan tanpa diketahui siapa pun, kecuali sepasang mata yang selalu mengekor keduanya. Ify tahu Rio gugup, apalagi lirikan Chindai di seberang sana kian menajam. Untunglah ketidakpekaan Bagas membuat gadis itu berhasil menyingkirkan keponya sementara. “Kak Bagas sama Chindai dekat, ya?” Ify memecah keheningan, di sisi lain takut seluruh yang ada di ruangan tertuju pada mereka. “Kayaknya, sih, lebih dari dekat.” Rio berdeham kecil. Ia antara geli dan kesal sebab Ify membahas hal di luar kemauannya. “Cemburu?” “Suuzan Kakak hilangkan. Seganteng apa pun Kak Bagas, belum tentu Ify suka.” “Terus Ify suka siapa? Kakak?” Sunyi. Seketika suasana berubah canggung. Omong-omong tentang Rio serta Ify. Keduanya betul-betul baru bertemu dua minggu lalu, di pertemuan awal ekstrakurikuler musik. Kebetulan yang tak sedikit pun direncanakan. Bagaimana mungkin dua insan yang sama-sama kaku … dipertemukan, terjerat perasaan cinta dan sulit mengutarakannya? Nyatanya, Rio bukanlah Bagas yang sejurus telak melancarkan aksi. Ify berbeda dengan Chindai yang pintar memanipulasi keadaan walaupun paham betul bahwa Rio menyukainya. Sudah dikatakan, Ify tidak memiliki kepercayaan diri yang menunjang. “Hem, maaf.” Dengan keberanian penuh, Rio mengacak rambut panjang sebahu Ify yang hitam lebat. “Mungkin Bagas lagi pendekatan …, biarin aja, sih. Yang penting kita jangan kecolongan start.” “Maksudnya?” “Kakak enggak mau kalah dari Bagas dan Chindai. Ngerti, Fy?” Iya. “Enggak,” ucap Ify ganar. Rio terkekeh, tak menutup-nutupi raut senangnya. Arkian, pandangannya jatuh ke ponsel Ify yang terkapar di atas meja, serta melihat jelas notifikasi yang masuk. Gadis itu juga tidak menunggu lama untuk meladeninya. Ardian P | Sayang, pulang jam berapa? Lantas Rio menelan salivanya susah payah, sesaat mengalami patah hati dan tidak menyanggah sekalipun. Ia merana. Raut berseri-seri Ify saat membalas pesan membuat Rio senderut di tempat. “Fy,” gumamnya serak. “Iya, Kak?” “Siapa?” “Maksud Kakak … ini?” Ify menengok Rio sebentar yang tidak berekspresi, lalu fokus kembali ke ponselnya. Selanjutnya, ia terkejut oleh pergerakan Rio yang merebut alat komunikasinya itu. “Pengen Ify jadiin pacar, tapi enggak mungkin.” “Siapa?” tanya Rio menuntut. “Kakak kandung Ify.” Damn. Setelahnya, Ify memusatkan perhatian pada Rio lagi yang kali ini terpampang melotot sempurna. Ia tersenyum santai, tetapi diam-diam menahan tawa. “Apa Kak Rio yang ternyata ... cemburu?” “Iya.” *** “Kak!” “Apa?” Rio berseru ogah-ogahan. Nyatanya, ia sedang tidak berminat menanggapi Chindai yang menyerobot kursi di posisi Ify tadi, sementara sang empu tengah menemui pembina sesuai arahan Bagas. Sungguh sebuah kebetulan. Hanya saja, Rio memaastikan untuk tidak memudahkan jalan Bagas. “Kok lo enggak cerita kalau dekat sama Ify, Kak?” sembur Chindai meski tidak tenang—takut ketahuan Bagas yang bisa saja memasuki ruangan tiba-tiba. Menghampiri kakaknya perlu pertimbangan baik-baik. “Baru dekat, Dek, bukan jadian.” Rio mengusap sayang puncak kepala Chindai. Sekesal apa pun dirinya, ia tetap tak dapat mengabaikan adiknya begitu saja. “Lo juga gimana sama Bagas?” “Enggak ada apa-apa.” Rio berdecak, memang sulit bagi Chindai mengaku. “Tuh, kayaknya Michelle suka sama doi lo, Dek. Ancaman lo banget karena dia paling punya kesempatan buat ketemu terus sama Bagas. Gue baru sadar beberapa hari ini, pas Bagas datangin lo terus. She is jealous.” “Yeah, I know that. Lagi pula, siapa yang enggak suka Kak Bagas, sih?” “Gue enggak.” Chindai memutar bola matanya jengah. Sering kali kakaknya itu juga memiliki selera humor rendahan. “Lo niat jadi gay?” “Mulutnya, Dek!” “Ya ... ya ... ya. Kakak gue kepincut Ify, artinya normal.” Rio mengerang kesal. Beginilah keadaan yang selalu terjadi bila berdebat dengan Chindai; terkalahkan tanpa perlawanan berarti. Rio berharap Bagas cepat-cepat datang agar dirinya tidak ikut diganggu. “Sana pergi!” “Dih, ngusir.” “Tempatnya Ify.” Kemudian, Chindai menjulurkan lidahnya. Ia merasa senang, tetapi menunjukkan secara terang-terangan. “Bucin!” “Ngaca, Dek!” “Mentang-mentang ada doi, gue enggak dianggap lagi.” Sesuai dugaan Chindai. Ia yang mulai merucutkan bibirnya akan selalu berhasil membuat Rio gelagapan. “Jahat!” “Bukan begitu, Dek. Lo sendiri yang tadi minta sok-sosk enggak kenal kalau di sekolah. Katanya takut Bagas tahu. Jangan ngambek, dong, Dek.” “Auah, kita memang enggak kenal!” Chindai berdiri setelahnya. Masih memasang mimik muka sebal, ia sukses kabur dan tak mampu ditahan Rio. Chindai kembali ke asal dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Di tempat yang sama, Rio menggeleng dramatis. Sebenanrya, ia mengerti betul trik jitu dan kelakuan ajaib Chindai. yang takut dirinya berubah setelah memiliki--pacar, misalnya--padahal tidaklah seperti itu. Chindai bagi Rio adalah wanita nomor dua yang sangat berarti baginya untuk sementara. Detik berikutnya, Rio tersenyum sumringah kala Ify memasuki ruangan dan berjalan ke arahnya. “Kak Michelle kenapa enggak kumpul, sih, Kak?” Ify menempatkan diri di posisi awal tanpa tahu fragmen sebelumnya. “Masa Ify disuruh isi absensi pertemuan, padahal Ify masih belum paham.” “Oleh Pak Adi?” Ify lanjut mengangguk kecil, sementara dilihatnya Rio tersenyum penuh makna. Sejenak keduanya tenggelam di netra lawannya berbicara, lalu saling berujar tanpa kata yang terucap oleh lisan. “Ya sudah, enggak apa-apa. Anggap aja latihan sebelum jadi perangkat.” “Eh?” “Kemaren Kakak ngobrol sama Bagas … dan, ya, kita sudah mulai menentukan perangkat ekstrakurikuler ke depannya. Pak Adi juga yang kasih saran karena Michelle enggak cocok lagi pegang jabatan, dia juga lebih fokus ke jurnalis.” “Jadi, Ify?” “Sebenarnya, kamu dan Chindai dibagi jadi sekretaris atau bendahara kayaknya.” Rio mesem elusif setelahnya. “Kalau enggak mau, jadi masa depan Kakak aja.” Salah tingkah, Ify memilih mengedarkan pandangannya tanpa berkata-kata yang justru memicunya gugup. Baru tadi mereka dilanda canggung, bahkan sekarang Rio telah berani menggoda dan tergelak tak bersalah. “Kak Rio, ih!” “Ify.” Rio kembali memanggil dengan syahdu. “Iya, Kak?” sahut Ify, lalu berdeham agar sedikit tenang. Ia hampir berpaling jika Rio tidak memaksa agar mereka tetap bertatapan. “Pulang bareng, yuk?” “Bukannya Kakak sama Chindai?” “Eng—” Giliran Ify yang terbahak-bahak, tetapi tak sampai mengagetkan semua orang di sekitar. Tampak Rio yang mengumpat tanpa suara, membuat Ify geli sendiri. Ia mesem menenangkan. “Lain kali aja.” “Dijemput siapa?” Sesudah ini, tolong selalu ingatkan Rio untuk mendekatkan Bagas dan Chindai segera agar hubungannya bersama Ify terkena imbas baik. “Kak Ardian.” “Si pacar jadi-jadian Ify itu?” Ify tertawa kecil dan tak ayal mengangguk. “Iya. Kakak rasa pacar.” “Kita ... senior-junior rasa pacar. Mau, Fy?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD